Sabtu, 11 Februari 2023

Ini yang Dianggap Sesat dalam Mazhab Syiah

Perkara yang menjadi sasaran tembak dari orang-orang yang tidak paham dengan ajaran Islam mazhab Syiah adalah nikah mut’ah, Al-Quran yang berbeda, taqiyah, dan dianggap agen zionis Israel dan Amerika. Untuk yang terakhir ini, kalau dilihat dari fakta justru yang menentang Amerika dan Israel adalah orang-orang Syiah dari Lebanon, Iran, dan Irak. Sangat tidak mungkin kalau agen menentang komando dari yang dijadikan sandaran dalam kegiatannya. Dibandingkan negeri-negeri Arab yang mayoritas mazhab Sunni, justru negeri-negeri yang dihuni Muslim Syiah yang berani melawan Israel dan Amerika. Negeri-negeri Arab malah mendukung Israel atau Amerika dengan membiarkan warga Palestina diusir dari negerinya. 

Seorang jurnalis, Dina Y. Sulaeman menyebutkan bahwa Muslim Sunni Iran tinggal di Provinsi Shiraz dan Sanandaj. Mereka mayoritas di sana dan punya masjid-masjid yang besar. Pada dua provinsi itu sering terjadi Muslim Sunni melakukan pernikahan dengan Muslim Syiah.[1] 

Di negeri yang mayoritas Syiah tersebut jelas bahwa kaum Sunni dapat hidup layak dan terjadi pembaruan di antara keduanya. Di Bahrain, Muslim Syiah justru yang kini tertindas dan tidak mendapatkan penghidupan yang layak dari pemerintah Bahrain yang dipegang orang-orang Sunni. Karena itu, berita atau isu-isu yang mencitrakan Muslim Syiah sebagai orang-orang yang haus darah dan membenci Sunni perlu dikaji ulang. 

Mengenai Al-Quran yang berbeda, tampaknya hanya sebagai taktik untuk menunjukkan Syiah bukan bagian dari Islam. Sampai sekarang ini, Al-Quran yang ada di Iran, Irak, dan Arab Saudi sama. Bedanya dari desain dan corak serta warna dalam cetakannya. Tafsir Al-Mizan karya Allamah Muhammad Husain Thabathabai, seorang ulama Syiah modern, menafsirkan Al-Quran Mushaf Utsmani yang tiga puluh juz. Nabhan Husen dari Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Indonesia mengakui kalau Al-Quran yang digunakan Muslim Syiah sama dengan Al-Quran yang beredar dan digunakan umat Islam Indonesia. 

Ada yang beranggapan bahwa Syiah memiliki Al-Quran sendiri yang disebut Mushaf Fathimah atau Mushaf Imam. Mushaf Fathimah bukanlah Al-Quran, tetapi kumpulan hadis yang diterima Fathimah Azzahra dari ayahnya, Rasulullah saw. 

Salah seorang pengikut Syiah di Jakarta yang juga penulis ternama, Idrus Shahab menyebutkan bahwa Iran yang mayoritas Muslim Syiah sering mengambil Al-Quran dari Beirut (Lebanon) dan Kairo (Mesir). Karena itu, Al-Quran yang digunakan sama dengan Quran yang dipakai pengikut Sunni atau Wahabi. Iran juga sering mengadakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) internasional yang dihadiri negara-negara Timur Tengah, bahkan Indonesia pernah mengirim wakilnya. 

Menurut Shahab, perbedaan antara Al-Quran Syiah dan Ahlus Sunnah hanya terletak pada jenis kertas dan desain. Kalau orang Sunni mencetak Al-Quran dengan kertas berbeda-beda dan umumnya murah serta seadanya, umat Islam Syiah (Iran) mencetaknya dengan jenis kertas yang paling mahal dan desain dengan indah serta tinta emas (sebagai bentuk penghormatan terhadap kalam Ilahi). 

Mungkin sudah tersiar kabar bahwa seorang anak kecil dari Iran, Thabathabai, mampu menghafal dan memahami isi Quran dengan baik sehingga mendapat gelar doktor honoris causa. Dari lantunan ayat yang dilafalkan Thabathabai sama persis dengan ayat-ayat yang terdapat pada Quran yang dipegang umat Islam Sunni atau yang digunakan di Indonesia.[2] 

Kemudian tentang Muslim Syiah yang mengkafirkan sahabat. Dalam pergaulan saya dengan para pengikut Ahlulbait atau Syiah, belum ada yang melakukannya. Malahan yang sering didengar malah sebaliknya dari Wahabiyah yang mengabarkan yang tidak benar berkaitan dengan Syiah dan Ahlulbait. 

KH Said Aqil Siradj dari NU menyampaikan bahwa dalam pertemuan Sunni-Syiah di Doha, Qatar, bahwa Syaikh Yusuf Qardhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Syabuni yang mewakili Sunni meminta ulama-ulama Iran yang hadir untuk mengucapkan radhiyallahu anhu dan radhiyallahu anha  kepada para sahabat dan istri-istri Nabi. Ayatullah Ali Tashkiri dari Iran melakukannya bersama sejumlah ulama Syiah. Mereka juga meminta balik kepada ulama Sunni untuk memuliakan Ahlulbait dengan mengucapkan pujian-pujian. Tampaknya kabar yang tidak seimbang telah menyebar pada kalangan umat Islam Indonesia sehingga citra Syiah tidak muncul sesuai dengan kenyataannya. 

Kemudian masalah nikah kontrak (mut’ah). Dalam fikih Syiah yang saya baca bahwa pernikahan ada dua: nikah permanen (daim) dan nikah temporer berdasarkan waktu atau mut’ah. Yang temporer ini merujuk pada Al-Quran surah Annisa ayat 24 dan Rasulullah saw membolehkannya. Kemudian diharamkan oleh Umar bin Khathathab yang mengatakan bahwa ada dua mut’ah yang dulu halal sekarang diharamkan, yaitu nikah dan haji. Mungkin karena posisi Umar menjadi penguasa jadi bisa membuat kebijakan baru dengan mengharamkan yang halal secara nash. 

Dina dalam buku Pelangi di Persia menyebutkan, di Iran praktik menikah cukup sulit karena harus membayar mahar yang jumlahnya besar dan ditentukan pemerintah sekitar 12-14 koin emas. Apalagi harga koin emas pastinya mahal. Mungkin hanya mereka yang mampu secara finansial semata yang dapat melakukannya. Bahkan, dalam nikah mut’ah rukun-rukunnya hanya sedikit berbeda dengan nikah daim, yaitu berkaitan masa nikahnya. Pelaku nikah mut`ah di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh orang-orang Arab yang tinggal di Bogor, dan Puncak. 

Almarhum O.Hashem mengatakan bahwa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun. Ia juga bercerita tentang kawannya yang keturunan Arab diberi uang lima juta rupiah oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut'ah ala Wahabi. Dia mencari seorang pelacur dan menasihatinya agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya. Setelah beberapa bulan dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur yang lain untuk dikawinkontrakkan kepadanya selama tiga bulan. 

Mungkin sudah rahasia lagi kalau saudari-saudari kita yang menjadi TKW di Arab banyak diperkosa; mungkin dalihnya bisa “nikah kontrak” karena dibayar untuk kerja atau mungkin dianggap budak sehingga dengan sewenang-wenang dapat dipakai dan lainnya. 

Berkaitan dengan taqiyah, bukanlah kemunafikan yang seringkali dituduhkan orang-orang. Menurut O.Hashem bahwa taqiyah adalah suatu permissibility, suatu kebolehan dalam Islam berdasarkan nash. Seorang Muslim yang lemah dan tertindas boleh menyangkal keimanannya kalau nyawanya terancam seperti yang dialami oleh Ammar bin Yasir. Rasulullah saw memerintahkan Ammar untuk menyembunyikan imannya ketika dicambuk dan dihajar oleh Kafir Quraisy. 

Selain kasus Ammar, juga ada seorang anggota keluarga Fir'aun yang menyembunyikan imannya yang dimuat dalam surah Al-Mukmin ayat 28. Dalam surah An-Nahl ayat 106, Allah berfirman, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (Dia tidak berdosa).” Ayat ini secara tidak langsung menyebutkan makna taqiyah yang diperbolehkan dalam Islam dan bukan sebuah kemunafikan. *** 



[1] Lihat Dina Y. Sulaeman, Pelangi Di Persia: Menyusuri Eksotisme Iran (Jakarta: IIman, 2007) h.149-150.

[2] Silakan baca buku Doktor Cilik Hafal dan Paham Al-Quran karya Dina Y.Sulaiman (Jakarta: IIMan, 2008).