Setelah KH.Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid wafat, Jalaluddin Rakhmat disebut sebagai tokoh Islam terakhir pada era reformasi yang mengusung pluralisme dan ukhuwah Islamiyah di Indonesia.
Ulama kelahiran Bandung, 29 Agustus 1948 ini pernah nyantri di sebuah pesantren Cicalengka-Bandung (Jawa Barat) dan doktor komunikasi jebolan Iowa State University, Amerika Serikat, ini memiliki karier intelektual yang luar biasa.
Selain turut
melahirkan Islamic Cultural Center Jakarta, Universitas Paramadina Jakarta,
ICAS Jakarta, dan mendirikan SD, SMP, SMU yang berada di bawah Yayasan
Muthahhari Bandung, Kang Jalal—sapaan Jalaluddin Rakhmat—juga berhasil
mendirikan sebuah organisasi masyarakat keagamaan Ikatan Jamaah Ahlulbait
Indonesia (IJABI) yang dideklarasikan oleh Presiden Republik Indonesia
KH.Abdurrahman Wahid.
IJABI yang berdiri
pada 1 Juli 2000 di Gedung Merdeka Bandung ini berasaskan Pancasila, tidak
menggunakan Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah. Besar kemungkinan ini sebagai
strategi agar dapat diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia karena Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak berasaskan agama. Dengan itu, IJABI
resmi terdaftar di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia melalui
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat nomor: 127
Tahun 2000/D.I. tanggal 11 Agustus 2000.
Jalaluddin Rakhmat atau Kang Jalal yang kini
menjabat selaku Ketua Dewan Syuro IJABI menegaskan bahwa ormas IJABI didirikan
untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang haus pencerahan dan pemikiran Islam
serta membantu meringankan beban mustadh`afin dengan program pemberdayaan
serta pendidikan.
Melalui IJABI ini pula Kang Jalal menggelar
kegiatan keagamaan seperti asyura (mengenang kejadian pembantaian terhadap cucu
Rasulullah saw, Imam Husain bin Abi Thalib), maulid Nabi Muhammad saw, tawasul,
dan doa kumayl.
Kemudian pada Jumat, 20 Mei 2011 (17 Jumadits Tsani
1432 H.) di Masjid Akbar Kebayoran Jakarta, Kang Jalal dihadapan tokoh Islam
dan umat Islam mendeklarasikan persatuan Sunni Syiah yang digagas ormas IJABI
dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) dengan nama Majelis Ukhuwah Sunni Syiah
Indonesia (MUHSIN).
Lahirnya MUHSIN, menurut Kang Jalal, dilatarbelakangi karena isu dua mazhab besar Islam tidak menampakkan sesuatu yang positif. Kasus penyerangan terhadap pesantren yang bermazhab Syiah di Bangil, Sampang, Bondowoso, dan Pekalongan menjadi kekhawatiran retaknya persatuan umat Islam Indonesia.
Masihkah
efektif hadirnya MUHSIN ini? Kita lihat terus dinamika umat Islam di negeri kita ini! ***