Minggu, 26 Februari 2023

Nurcholish Madjid dan Kontribusinya

Nurcholish Madjid lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga santri. Ayahnya, K.H Abdul Madjid dikenal pendukung Masyumi. Cak Nur—begitu biasanya sosok Nurcholish Madjid disapamenempuh pendidikan Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore). Belajar di Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang, dan Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah di Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo. 

Selanjutnya mengambil program sarjana Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan program doktoral di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat (Ph.D., Islamic Thought, 1984) dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. 

Selama menjadi mahasiswa, Cak Nur aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Cak Nur pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 1966 - 1969 dan 1969 – 1971, menjadi Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara) periode 1967-1969, dan Wakil Sekretaris Jenderal IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations) pada 1969-1971.

Selesai kuliah doktor, Cak Nur mengajar untuk program sarjana IAIN Syarif Hidayatullah pada 1972-1976, menjadi peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mulai 1978-1984 dan Peneliti Senior LIPI Jakarta 1984-2005, Guru Besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada pada 1991-1992, juga mendapatkan penghargaan Fellow dalam Eisenhower Fellowship bersama istrinya pada 1990, Anggota MPR-RI periode 1987-1992 dan 1992-1997, Anggota Dewan Pers Nasional sejak 1990-1998, Anggota Dewan Penasehat ICMI pada 1996, penerima Cultural Award ICMI pada 1995, penerima Bintang Mahaputra Jakarta pada 1998, menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1991, menjadi Guru Besar Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari 1985-2005, menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta sejak 1998-2005, Ketua Yayasan Paramadina Jakarta periode 1985-2005, dan Anggota KOMNAS HAM sejak 1993-2005. 

Selain mengajar dan beraktivitas dalam urusan sosial dan politik, Cak Nur juga menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah dan surat kabar nasional maupun internasional. Beberapa karyanya yang pernah dipublikasikan adalah “The issue of modernization among Muslim in Indonesia”, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978); “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982); “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982); “Khazanah Intelektual Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1982); “Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan” (Bandung: Mizan, 1987); “Islam, Doktrin dan Peradaban” (Jakarta: Paramadina, 1992); “Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan” (Bandung: Mizan, 1993); “Pintu-pintu Menuju Tuhan” (Jakarta: Paramadina, 1994); “Islam, Agama Kemanusiaan” (Jakarta: Paramadina, 1995); “Islam, Agama Peradaban” (Jakarta: Paramadina, 1995); “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian IslamicThoughts (Arizona: Arizona State University, 1996); “Pencarian Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Arizona: Arizona State University, 1996); “Dialog Keterbukaan” (Jakarta: Paradima, 1997); “Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat” (Jakarta: Paramadina, 1999); dan “Pesan-pesan Takwa” (Jakarta: Paramadina).

Pada masa krisis kepemimpinan, Presiden Soeharto meminta nasihat Cak Nur, terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Cak Nur saat itu menyarankan pada Soeharto agar mengundurkan diri dari jabatannya. 

Akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya, Guru Bangsa ini meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sebelum meninggal, menurut istrinya, Omi Komariah, Cak Nur sempat berpesan kepada anak-anaknya (Nadia Madjid, Ahmad Mikail Madjid, dan menantunya, David) untuk mempelajari bahasa Arab agar bisa memahami Islam secara benar.

Pandangan Cendekiawan Indonesia

Menurut Komaruddin Hidayat, Cak Nur (Nurcholish Madjid) merupakan figur seorang demokrat. “Dia akan menghargai pendapat siapa pun meski berseberangan asal disampaikan dengan beradab, jangan memaksa orang lain untuk menerimanya. Kalau tidak keterlaluan, Cak Nur hampir tidak pernah menjelekkan pribadi orang. Semua temannya dipuji, terlebih jika ada anak muda yang suka menulis baik di surat kabar maupun buku, biasanya Cak Nur akan memberi apresiasi secara terbuka. ‘Dia itu hebat, amat potensial, calon pemikir masa depan’ adalah ungkapan yang sering saya dengar (dari Cak Nur—pen),” tulisnya (baca Komaruddin Hidayat, “Hari-hari Terakhir Cak Nur” dalam Kompas Cetak Online, Selasa 30 Agustus 2005.). 

Para pengamat Islam biasanya mengenal Cak Nur sebagai ikon pembaruan Islam Indonesia. Pemikirannya tentang pluralisme dan teologi inklusif telah menempatkannya sebagai cendekiawan Muslim di Indonesia. Ia sering mengutarakan gagasan-gagasan yang kontroversial, terutama mengenai pluralisme dan Islam moderat. 

Namun gagasan atau pemikirannya itu banyak ditentang oleh kalangan masyarakat Islam yang tekstualis literalis dalam memahami ajaran Islam. Salah satunya gagasan tentang "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditentang habis-habisan—karena saat itu tokoh-tokoh Islam sedang berjuang mendirikan partai-partai yang berlabelkan Islam. 

Mengapa Cak Nur melontarkannya? Menurut Komarudin Hidayat, pada 1970-an merupakan masa-masa banyaknya para tokoh Islam mensakralkan partai politik dengan mewajibkan umat Islam agar masuk partai politik berbasis Islam. Padahal, para elite partainya sendiri perilakunya tidak mencerminkan akhlak mulia dan kebijakannya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Itu sebabnya Cak Nur melontarkan wacana "Islam Yes, Partai Islam No?" sebagai bentuk kritik terhadap mereka yang mensakralkan partai politik Islam. Dari pemikirannya itu, mereka menganggap Cak Nur sedang menyebarkan paham sekularisme pada kaum Muslim Indonesia. Begitu juga saat menyatakan Pancasila sebagai ideologi masyarakat Indonesia, Cak Nur pun kembali dikritik mereka. 

Islam bagi Cak Nur merupakan sebuah agama dan tiap orang Islam memiliki hak untuk tidak memilih atau tidak terlibat dalam partai politik Islam. Jelasnya, keimanan atau keislaman seseorang tidak ditentukan oleh sebuah partai Islam dan mereka yang masuk dalam partai Islam tidak lantas menjadi lebih Islam daripada seorang Muslim yang mendukung partai lain. 

Menurut Cak Nur, Indonesia merupakan bangsa yang beranekaragam, baik dari agama maupun budaya. Maka sangat tidak bijak bila diatur dengan prinsip-prinsip yang tidak mangayomi semuanya, apalagi hanya merujuk pada salah satu aturan agama mayoritas. Apabila tetap memaksakan, menurutnya, akan terjadi disintegrasi dan menambah permasalahan bangsa. Itu sebabnya, Cak Nur memandang bahwa masyarakat Indonesia perlu memahami pluralisme untuk bisa mengakui perbedaan dan kesediaan bergaul secara beradab, mau mendengar, menghormati agama atau pendapat orang lain, walaupun tidak sama dengan kita. 

Cak Nur juga mempunyai pendapat tersendiri tentang sekulerisasi dan modernisasi yang sering menjadi bahan kritik dari kalangan Islam skripturalis-tekstualis, salah satunya H.M.Rasjidi dari Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). 

Menurut Cak Nur, sekularisasi merupakan sebuah upaya rasionalisasi agama untuk diwujudkan pada tataran realitas kehidupan. Sedangkan modernisasi, tidak identik dengan westernisasi, melainkan sebuah spirit untuk memacu umat Islam agar maju atau berbuat seperti kemajuan yang terjadi di Barat. 

Digugat Fundamentalis

Mengenai pemikiran Cak Nur  (Nurcholish Madjid) yang pluralis, Ahmad Syafii Maarif menceritakan sebuah pertemuan Cak Nur dengan rombongan yang mengaku membawa pesan dari Abu Bakar Ba`asyir, tokoh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). 

Rombongan ini bertanya pada Cak Nur, “'Apakah pikiran Cak Nur masih?”' 

Cak Nur menjawab, “'Saya masih tidak bingung.”' Kemudian salah seorang dari rombongan itu menyampaikan salam Ustadz Ba'asyir, sambil bertanya tentang isi buku  Fikih Lintas Agama yang di dalamnya Cak Nur berpendapat bahwa semua agama memiliki kesamaan. 

Cak Nur menjawab, “Saya tidak berpendapat semua agama sama.” 

Mereka mengatakan, “Ada tertulis kawin antar agama boleh. Ustadz Ba'asyir minta Cak Nur menarik pendapat itu. Itu pendapat salah, minta Cak Nur mencabut pendapat agama sama dan boleh kawin antar agama. Bagaimana pendapat Cak Nur?”  

Cak Nur menjawab, “Saya tidak dalam kondisi untuk menjawab” (Harian Umum Kompas, Minggu, 4 September 2005) . 

Cak Nur memang seorang pluralis. Mengapa memilih pluralis? Menurut Cak Nur, Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, yang mengajarkan untuk tidak membenci agama lain atau merendahkan dan memusuhi non-Muslim, dan melarang menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan kebenaran. Dengan teologi pluralis, perbedaan agama bukan penghalang bagi interaksi dan aksi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan berperadaban. Hal inilah, menurut Cak Nur, yang dicontohkan oleh Rasulullah saw sejak masa awal Islam di Arab (Mekkah dan Madinah). 

Memang harus diakui gerakan pembaruan Cak Nur bisa dikatakan lebih dekat dengan modernitas Barat ketimbang khazanah ilmu-ilmu Islam tradisional. Wajar bila banyak generasi muda yang mengikuti jejaknya seperti Djohan Effendi, M.Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Adi Sasono, Eki Syachrudin, Yudilatif, Komarudin Hidayat, Sukidi, Alwi Shihab, dan Ulil Abshar Abdalla.  *** (ahmad sahidin)