DAHULU ketika kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pernah belajar ushul fiqh. Hanya sekadar memenuhi perkuliahan. Tidak serius, maklum banyak yang tidak paham dan tidak mengertinya. Apalagi dengan istilah-istilah asing (bahasa Arab) yang harus dibongkar asal usul kata atau istilah dengan melihat kamus. Karena itu, belajar ushul fiqh memerlukan waktu yang luas dan keseriusan tersendiri. Maklum saya tidak terdidik dalam dunia pesantren atau madrasah sehingga dalam kelas menjadi pendengar semata.
Kawan-kawan saya yang berasal dari pesantren atau madrasah pun tidak semuanya mampu menguasai pelajaran ushul fiqh. “Kedah ngagunakeun uteuk,” kata seorang kawan kuliah yang berasal dari Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Saya sendiri tidak terlalu mementingkan pelajaran ushul fiqh. Selain karena sulit dan perlu keseriusan, juga kemampuan saya yang lemah dalam mengakses referensi untuk pelajaran tersebut sehingga cukup baca terjemahan dan menyimak pembicaraan ahli. Saya sendiri hanya menerima hasilnya saja. Saya termasuk dalam kategori muqalid (orang yang merujuk pada mujtahid atau orang yang ahli dalam urusan syariah Islam).
Yang saya ingat dari pelajaran ushul fiqh bahwa ilmu ini membahas dasar-dasar atau landasan dari lahirnya hukum-hukum Islam berupa halal dan haramnya sesuatu, atau mubah dan makruhnya sesuatu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah maupun amaliah sosial umat Islam. Sumber yang digunakan tetap mengacu pada Alquran dan Sunnah Nabawiyyah. Karena itu, ushul fiqh dapat disebut filsafat hukum Islam karena bahasannya lebih bernuansa rasio dan kajian teoritis. Sedangkan fiqh lebih pada praktik hukum Islam atau syariah Islam, baik yang langsung dari sumber Islam maupun hasil kajian ushul fiqh dari para ulama.
Dalam ushul fiqh, sedikitnya ada tiga metode dalam mengambil kesimpulan hukum (istinbath) dalam memecahkan persoalan keagamaan, yaitu qiyas (analogi), istihsan, dan istishlah. Saya sendiri tidak paham dengan ketiga istilah tersebut. Maklum bukan ustadz dan tidak belajar di pesantren atau kuliah di fakultas syariah.
Hanya saja saya pernah membaca
artikel yang ditulis oleh Ustadz Jalal (Jalaluddin Rakhmat) yang berjudul Peranan Tuntutan Situasi dalam Memahami Hukum
Islam. Saya mengira bahwa tulisan tersebut merupakan
landasan teoritis Ustadz Jalal dalam melahirkan buku Dahulukan Akhlak Di
Atas Fikih yang kini banyak dibincangkan para intelektual maupun
ustadz-ustadz.
Sayangnya, artikel Ustadz Jalal tersebut tidak membahas secara menyuluruh berkaitan dengan tiga metode istinbat. Hanya istihsan yang dibahas. Dalam uraian yang cukup panjang, Ustadz Jalal menjelaskan bahwa istihsan (secara praktis) memiliki tiga pengertian sebagai berikut:
“Pertama, istihsan berarti memilih yang lebih kuat di antara dua dalil yang bertentangan atau berbeda (berikhtilaf). Boleh jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi—yakni dalil yang diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau ikhtilaf di antara dua dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.
Marilah kita mulai dengan ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi. Dalam hal ini,
ikhtilaf dapat berupa tazahum dan ta'arudh. Yang dimaksud dengan tazahum adalah
pembenaran dua hukum yang berasal dari syara', yang tidak mungkin digabungkan.
Ta'arudh artinya perbedaan hukum karena
perbedaan kasus (ikhtilaf shawar al-masalah). Kita melakukan istihsan
bila kita mentarjih (menganggap lebih baik) salah satu di antaranya.
Sambil memberikan contoh-contohnya, saya akan menunjukkan petunjuk-petunjuk praktis penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh, yaitu
(1) Dahulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang memberikan
kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid dengan
melakukan shalat pada awal waktunya, atau antara menolong orang yang celaka
dengan melakukan shalat Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang
yang celaka.
(2) Dahulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada penggantinya.
Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu'.
Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa
diganti dengan batu.
(3) Dahulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang memberikan
alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar atau membayar kifarat. Anda
bernadzar untuk memberikan makanan bagi orang miskin, tapi juga Anda harus
membayar kifarat puasa.
(4) Dahulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda wajib melakukan
haji dan pada saat yang sama Anda harus membayar utang. Bayarlah utang Anda
lebih dahulu.
Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan. Para ulama
ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat kita perinci satu per
satu: mendulukan yang mutlak di atas yang muqayyad, takhshish di atas 'am,
nasikh di atas mansukh, hakim di atas mahkum, al-Qur'an di
atas Sunnah, yang disepakati di
atas yang diikhtilafi.
Kedua, istihsan berarti mengambil sesuatu yang sudah dipandang baik oleh 'urf atau akal. Misalnya, mencatat pernikahan di kantor departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang baik 'urf atau akal itu boleh jadi sangat subyektif sehingga besar kemungkinan mengikuti bias-bias sosio-psikologis.
Ketiga, istihsan berarti meninggalkan dalil-dalil tertentu untuk mendatangkan mashlahat atau menegakkan hukum di atas pertimbangan mashlahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut juga istishan atau al-mashalih al-mursalah.”
[Bagi yang tertarik membaca tulisan Ustadz Jalal tentang istihsan silakan klik http://haidar-alhawa.blogspot.com/2009/01/pencerahan.html]