Senin, 06 Februari 2023

Dari Inspirasi Nabi ke Sejarah

Sekarang ini dunia sastra, khususnya novel di Indonesia lagi ramai dengan novel sejarah dan profetis. Beberapa penerbit sejak awal 2009 dan 2010 pada menerbitkan novel bernuansa sejarah dan profetis. Ada novel yang bercerita tentang Muhammad dan nabi-nabi Islam. Dari mulai yang sekadar berdakwah, juga yang memberikan penafsiraan baru atas setiap peristiwa profetis.  Ada karya Naguib Mahfoudz, Salman Rushdie, Idrus Shahab, Abdurrahman Syarqawi, dan yang terbaru adalah Tasaro GK. Dua novelis terakhir yang disebut cukup memperkaya khazanah intelektul atau kesusatraan Islam. 

Tasaro GK dalam novelnya menyajikan dua cerita berbeda yang disatukan dalam satu masa; periode Muhammad saw. Yang pertama berkaitan dengan sejarah perjuangan Muhammad saw dan proses dakwah Islam di Makkah dan Madinah, Arab. Sedangkan kedua adalah menceritakan sosok Kashva yang mencari kebenaran tentang utusan terakhir Tuhan. Cerita pertama berdasarkan catatan sejarah Muhammad saw dan cerita kedua berdasarkan bacaan yang dihadirkan dalam bentuk imajinasi. Fakta dan fiksi inilah menjadi dua elemen dasar penulisan Tasaro GK sehingga novel terbarunya itu berbeda dari yang lainnya. 

Dengan kata lain, Tasaro telah membuat “sejarah” yang didasarkan pada fakta dan imajinasi. Salahkah? Saya tidak tahu; apakah karya Tasaro ini dapat disebut historiografi atau hanya sekadar fiksi semata? Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, menjawab pertanyaan ini dalam sebuah obrolan, bahwa karya tersebut masih kategori fiksi. Sudah pasti, yang namanya fiksi pasti lebih besar unsur imajinasi atau pengayaan wacana ketimbang faktanya. Aspek kebenaran historisitasnya patut untuk diuji kembali berdasarkan studi kritis historis.  

Menurut Tasaro, dalam sebuah obrolannya, bahwa novel “Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan” mencoba menyatukan dua versi sejarah Islam. Sirah Nabawiyah versi Sunni dan Syiah dalam novelnya disatukan. Jadi, ada yang mencomot dari sumber Syiah dan banyak pula dari Sunni. Kalau dibaca novelnya oleh yang ahli sejarah Islam, mungkin akan terlihat. Karena itu, sebelum baca novelnya lebih baik pelajari dahulu buku Sirah Nabawiyah. 

Begitu juga dengan novel sejarah, sekarang ini terlihat banyak. Dari mulai kisah Prabu Siliwangi, Perang Bubat, Gajah Mada, Raden Saleh, Samudera Pasai, Granada, Taj Mahal, dan lainnya. 

Novel yang berbau sejarah Sunda, selain sosok Prabu Siliwangi, juga ada karya Saini KM tentang Kesatria Hutan Larangan; semacam pasukan khusus Prabu Siliwangi. Intrik, konflik antar kepala daerah atau pejabat sangat dimunculkan, dan nuansa desa yang gemah ripah loh jinawi pun muncul. 

Entahlah, mungkin sedang bosan sehingga novel percintaan, petualangan, atau yang temanya  mirip dengan cerpen-cerpen dan sinetron, terlihat masih menumpuk. Saya pernah main ke sebuah toko buku, novel yang genre demikian dijual dengan diskon sampai 70%. 

Tentunya novel dari masa ke masa akan terus berkembang, baik dari tema maupun gaya narasi yang disajikan. Memang harus berkembang karena literasi tidak boleh mati. Sayangnya masyarakat Indonesi kini belum maksimal dalam literasi. Ini Pekerjaan rumah terberat untuk para guru, pendidik, cendekiawan, dan pemerintah RI agar kecerdasan masyarakat meningkat. *** (ahmad sahidin)