Rabu, 08 Februari 2023

Memetakan Aliran Islam Modern

Kalau berpijak kepada Prof Harun Nasution bahwa aliran-aliran Islam modern dapat dilacak dari awal abad modern yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan Islam (tajdiyah). Secara pola pemikiran, Islam modern dibagi dalam dua model: ekstrem dan progres. Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat dari gerakan kaum revivalis Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat, dan gerakan Paderi di Sumatera (Indonesia). 

Melalui pemikiran-pemikirannya, orang-orang yang termasuk kaum Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi yang bukan berasal dari Islam, khususnya tradisi keagamaan masyarakat lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang dinilainya dapat menjerumuskan umat dalam kemusyrikan. 

Dengan semangat tauhidullah, mereka berupaya mengembalikan pemahman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan Sunnah. Dalam gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal, dengan menghancurkan pusara dan makam para wali, dan menganggap sesat pada yang berbeda pemahaman agama sehingga kehadirannya mendapat perlawanan dari umat Islam sendiri. 

Dengan slogan kembali ke Al-Quran dan Sunnah, mereka menginginkan Islam kembali ke zaman Nabi Muhammad saw yang dinilainya lebih otentik. Untuk memuluskan gerakannya itu Muhammad bin Abdul Wahab beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa'ud mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1924 sehingga Wahabiyah menjadi mazhab resmi Arab Saudi sampai sekarang. Gerakannya berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. 

Sementara gerakan Islam tajdiyah progres dapat dilihat dari muncul kaum modernis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Ali Syari`ati, Imam Khomeini, Muhammad Natsir, Abdurrahman Wahid, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Farid Esack, Muhammad Yunus, Jalaluddin Rakhmat, dan Abdul Karim Soroush.   

Dari beberapa karya tulis mereka, tokoh-tokoh Islam modern tersebut masih juga berada dalam semangat pembaruan, tetapi lebih mengutamakan pada rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern, merealisasikan nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan. Mereka juga memadukan pemikiran Islam rasional-modern dengan pemikiran Islam tradisional, menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan konteks zaman, dan menyerukan kerukunan antar umat beragama (pluralisme). 

Secara umum, bentuk keberagamaan umat Islam modern terbagi dalam tiga: Islam Fundamental, Islam Liberal, dan Islam Non-Sekterian. Bentuk Islam pertama diidentikan dengan kelompok Muslim yang berorientasi ke masa lalu. Isu-isu yang dihembuskan adalah penerapan syariat Islam dan menjadikan negara Islam atau pembebasan umat Islam dari tahayul, khurafat, dan bid`ah. 

Gerakannya pun biasanya meresahkan masyarakat dan seringkali terlibat dalam jaringan teroris dunia. Mereka menampakkan kesalehannya dengan menjalankan ibadah mahdhah dan ketat dalam aturan-aturan hidup serta senantiasa merujuk pada sumber Islam (al-Quran dan hadits). Sedangkan yang kedua (Islam Liberal) dicirikan dengan kalangan Muslim yang berorientasi ke masa depan dan berani melakukan penafsiran secara kontekstual dengan tetap mengacu pada sumber-sumber Islam. Kelompok Muslim ini sudah tidak segan lagi mengutip pendapat-pendapat dari para pemikir dan ilmuwan Barat dalam melakukan penafsirannya. 

Mereka lebih banyak menggunakan daya nalar (rasional) dalam berwacana, tidak menampakkan dalam ibadah, lebih dekat dan bahkan bekerjasama dengan non-Islam ketimbang dengan umat Islam. Wacana dan pemikiran yang diusungnya pun tidak jauh dari masalah perbedaan agama, hubungan lintas agama dan budaya, dan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Quran yang berbeda dan kontroversial. Keduanya tidak jarang terjadi benturan dalam wacana keagamaan, politik, dan sosial. Mereka saling hujat dan masing-masing mengaku yang paling benar. 

Meskipun secara umum Islam terbentuk dalam dua bentuk, tetapi kalau kita jeli terdapat gerakan Islam yang bersifat tersendiri. Mereka tidak mempersoalkan tentang aliran maupun harakah (gerakan) Islam yang ada. Mereka taat dalam ibadah mahdhah dan berorientasi ke akhirat, senang melakukan ritual massal dan doa bersama, serta gemar menghadiri majelis ilmu yang materinya tidak jauh dari motivasi ibadah dan peningkatan kualitas hidup. Kalangan Muslim seperti ini dapat disebut sebagai model Islam Non-Sekterian. Islam apakah ini? Aliran barukah? Bukan! Mereka bukan aliran baru Islam. tetapi hanya istilah untuk kaum Muslim yang tidak memiliki kecenderungan pada fundamental atau liberal. Mereka ini merupakan “Islam massa” yang tidak terorganisir dalam wadah yang resmi dan memiliki orientasi tersendiri dalam menjalankan keislamannya. 

Di antara ketiganya terdapat kebenaran dan tidak menutup kemungkinan banyak salahnya. Memang dalam konteks praktis, ketiganya tidak bisa menghindar dari aksi saling menghujat dengan gelaran dan sebutan negatif. Sejarah membuktikan dampak dari adanya konflik antar Islam sangat merugikan umat Islam. *** [ahmad sahidin, alumni jurusan sejarah peradaban islam UIN sgd bandung]