Minggu, 05 Februari 2023

Sastra Interdisipliner: Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial

PADA Sabtu malam kemarin saya buka tumpukan buku di kamar. Pada tumpukan buku sastra, saya melihat buku berjudul Sastra Interdisipliner: Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Sebuah kumpulan tulisan dosen dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Uinversitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Buku ini terbit pada 2003 dan diterbitkan oleh Penerbit Qalam dan Forum Sastra Banding UGM. 

Dalam pengantar penerbit disebutkan bahwa buku ini merupakan makalah sebuah diskusi di fakultas yang kemudian dibukukan dengan harapan membuka wawasan pembaca semakin luas sehingga menilai sastra bukan sekadar karya seni. Sepuluh penulis yang menulis dalam buku ini adalah Bambang Purwanto, Budi Irawanto, Heddy Shri Ahimsa-Putra, Ignatius Khrisna Dharma, Kris Budiman, Muhammad Arif Rokhman, Muslikh Madiyant, Purwadi, Teuku  Alfian Ibrahim, dan  S. Margana. 

Bagi sebagian orang, khususnya para mahasasiswa sastra dan ilmu-ilmu humaniora UGM, mereka sudah pasti dikenal piawai dan mahir dalam bidangnya masing-masing. 

Nah, pada buku ini pun saya melihat mereka piawai ketika mengupas kajian sastra dalam berbagai ilmu sehingga sastra tidak hanya disebut karya seni. Misalnya Teuku Alfian Ibrahim, sejarawan UGM, ini menyatakan bahwa sastra jusru dapat menjadi sumber rekonstruksi sejarah. Mungkin dalam hal ini karya sastra yang tersimpan dalam bentuk babad, hikayat, atau dogeng-dongeng daerah. Menurut Alfian, karya tersebut dapat menjadi sumber penulisan sejarah dalam upaya merekonstruksi sejarah kedaerahan di Indonesia. 

Meskipun memang Azyumardi Azra menolak karya sastra tradisional atau historiografi lokal dapat menjadi sumber penulisan sejarah, tetapi justru dengan hadirnya karya sastra lokal menjadi bukti bahwa Nusantara memiliki khazanah sastra dan menjadi bukti orang-orang terdahulu memiliki kearifan. 

Nah, buku Sastra Interdisipliner yang tebalnya 222 halaman ini, secara umum dapat dikatakan memberikan warna baru untuk khazanah sastra Indonesia. Mereka (penulis) yang menyumbangkan tulisannya,  tampak dalam setiap tulisannya menawarkan sebuah “alat” atau model kajian untuk melihat sastra sebagai karya semi ilmiah dan memiliki realitas yang riil di dunia ilmu. Jadi, sastra dalam buku ini bukan hanya sekadar imajinasi, tetapi sebuah sumber ilmu dan kearifan hidup. 

Tampaknya buku ini harus menjadi sebuah rujukan dalam studi sastra dalam upaya mengembangkan khazanah sastra Indonesia. Saya selaku pembaca karya sastra, akan senantiasa menantikan laporan kajian-kajian sastra yang berbasiskan pada model kajian sastra interdisipliner. 

Meskipun memang dalam kajian-kajian ilmu keislaman yang berkembang di Barat, model seperti ini sudah bukan lagi hal yang baru. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sunan Gunung Djati Bandung sudah melakukan pendekatan ini, khususnya dalam studi sejarah dan peradaban Islam. 

Biar bagaimana pun,  selayaknya kita sambut dengan hangat kehadiran buku  Sastra Interdisipliner: Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial dengan kembali melakukan telaah dan mengkajinya sehingga tampak nilai dan manfaat dari buku tersebut. *** (AHMAD SAHIDIN, Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung)