Aku ingin berbagi denganmu. Tentang aku, yang kini sedang coba berpijak pada
“wujud-haqiqi” yang “ghair-maujud” dan menyisihkan “ghair-maujud” untuk
hadirnya “wujud-haqiqi”–walaupun ini abstrak.
***
Ini
memang persoalan rumit seperti melacak hakikat manusia; yang dalam term Sunda
disebut “manusa”–merupakan kepanjangan dari: mana nu salira? (yang
mempertanyakan hal kepemilikan sejati).
Benarkah tubuh atau raga adalah
entitas sejati manusia? Bukan, ia berasal dari materi yang mengalami proses dan
dianggap milik manusia. Benarkah jiwa/nyawa adalah entitas sejati manusia? Juga
bukan, karena ia berasal dari yang imaterial yang masuk saat proses berlangsung
dan dianggap milik manusia.
Jadi,
apa entitas sejati manusia itu? Jawabannya bahwa manusia hanya “mengaku-ngaku” yang
tidak ia punyai yang suatu saat nanti akan kembali ke asalnya. Tubuh kembali
pada tanah (yang nanti pun dihancurkan saat qiamat) dan jiwa pun kembali ke
tempatnya. Inilah realitas yang ada dalam pemahamanku, bahwa tidak ada apapun
dan siapapun di alam semesta ini (termasuk manusia) kecuali wujud yang maujud
sekaligus ghair-maujud.
Seperti
al-Hallaj yang berkata, “Ana al-Haqq” (Akulah Yang Mahabenar) adalah ungkapan
yang benar-benar mengakui dirinya (manusia) itu fana atau telah meniadakan
sekaligus menyerahkan dirinya kepada Yang Mahatinggi nan agung sebagai yang
paling pantas dan berwenang untuk mengatakan sang “Aku” yang sebenarnya.
Pada
konteks ini al-Hallaj dapat dipahami sebagai sosok manusia yang benar-benar
telah merendahkan dirinya (yang lemah) di hadapan Yang Mahasegalanya. Berbeda
dengan ungkapan Ana al-Abd Allah (Aku-hamba Allah).
Manusia
yang mengatakan Ana Abd Allah, berarti telah mengakui adanya dualisme
eksistensi (wujud yang maujud), yaitu eksistensi hamba dan eksistensi Tuhan.
Ini yang kuanggap sebagai ungkapan kesombongan yang akan menjerumuskan
seseorang ke luar dari tauhid ilahiyah.
Aku
menganggap bahwa dualisme tersebut boleh diakui hanya dalam konteks realitas
dunia dan persepsi pikiran dan perasaan semata. Tetapi di luar itu, atau
secara haqiqiyah yang pantas disebut dan dianggap real-reality adalah
eksistensi dari Wujud Qua Wujud; sehingga kita dan makhluk-makhluk ciptaannya
disebut pseudo-reality.
Layaknya
cahaya lilin tidak akan berarti di hadapan cahaya matahari. Begitu pun aku
(manusia) tidak berarti apa-apa di muka sang Maha Aku-yang-sejati, sehingga aku
sendiri yakin sepenuhnya bahwa engke manusa mah salain ti bilatungan teh bakal
balitungan.
Terakhir,
ini mungkin sangat subjektif dan yang akhir-akhir ini kurasakan, yaitu rasa
takut akan hari esok yang benar-benar nyata dan teramat sangat takut. Inilah
bait-bait yang mampu kubahasakan dari rasa yang tidak bisa kuingkari adanya
bahwa :
jika
malam tiba kurasakan takut
karena
esok tidak tahu siapa yang akan menjaminku ada
dan
sekiranya masih berada di buana ini
apakah
terus seperti itu hari-hari yang hinggapi aku
aku
takut dan benar-benar khawatir
was-was
akan hari esok yang tidak tahu
akan
seperti apa dan bagaimana
Duh,
Yang Mahapembimbing
bimbing
aku, jauhkan aku dari rasa takut dan was-was
dan
dekatkan aku dengan pengetahuan-Mu
***
(ahmad
sahidin, 2014)