Banyak aktivitas yang berkaitan dengan
jurnalistik. Wawancara, editing, photografy, dan menghubungi sumber berita juga
termasuk aktivitas jurnalsitik. Demikian yang dituturkan Kang Romel, Ketua
Balai Pelatihan Kewartawanan dan Jurnalstik (BATIK) Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) Kota Bandung, Sabtu 25 September 2005.
Bahkan menurut Bill Kovach dan Thomas E.
Patterson dari Universitas Harvard yang menulis buku The Elements of
Journalism, yang diterjemahkan dengan judul “Sembilan Elemen Jurnalisme” yang
diterbitkan PANTAU tahun 2003 bahwa aktivitas jurnalistik itu didasarkan pada
sembilan elemen.
Pertama, harus menyuarakan dan berpihak
kepada kebenaran. Kedua, loyalitas pada masyarakat atau mementingkan public.
Ketiga, berani melakukan verifikasi terhadap fakta. Keempat, menyajikan fakta
yang akurat dan tidak berada di bawah tekanan siapa pun (selain nurani
jurnalisme). Kelima, berani menjadi pemantau sekaligus penyidik kebijakan
penguasa. Keenam, menjadikan media sebagai sarana menampung kritik, komentar
atau suara public. Ketujuh, berupaya menjadikan persoalan penting jadi menarik
dan actual. Kedelepan, berperan sebagai pembawa perubahan dan penentu kehidupan
selanjutnya. Terakhir, atau kesembilan adalah berani bertanggung jawab dan
mempertanggungjawabkan atas apa-apa yang ditulis-edit-dan diputuskan layak
tidaknya sebuah tulisan dimuat di media.
Ini memang idealnya sikap yang harus
dimiliki seorang jurnalis. Bisakah saya sebagai orang yang tidak tahu menahu
atau tidak ahli dalam persoalan media menggapainya?. “Bisa!” Ini mungkin kata
yang lebih baik dikedepankan daripada kata “tidak”. Sebab kata “tidak” telah
menunjukkan kalah sebelum bertarung, keok memeh dipacok—kata urang Sunda.
Karena itu, kita atau siapa pun orangnya yang ingin menjadi seorang jurnalis
harus berkata “bisa”, “mampu”, atau “insya Allah akan saya coba”.