Senin, 02 Desember 2019

Resensi buku The Twelfth Insight: The Hour of Decision


Mungkin sekira dua atau tiga pecan saya tidak menuntaskan bacaan buku. Buku yang tidak tuntas itu novel berjudul The Twelfth Insight: The Hour of Decision (Gramedia, 2014). 

Ditulis oleh James Redfield, seorang penulis yang ternama. Buku ini lanjutan dari Sembilan Wawasan, Wawasan Kesepuluh, dan Wawasan Kesebelas. Yang Kesebelas belum saya baca karena belum menemukannya. 

Sembilan dan Sepuluh sudah dibaca tuntas, tetapi sayang tidak sempat saya tuliskan reviewnya. Saya loncat baca pada yang Keduabelas. Novel ini tersaji dalam bagian demi bagian yang saling tersambung dan terhubung. Saya baca saja secara mengalir.

Saya baca lembar demi lembar. Saya menemukan garis penyatu dari para pencari naskah. Para pencari naskah itu berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama, tetapi mereka meyakini adanya Armageddon, masa akhir zaman dan kehancuran menyeluruh. Agar selamat maka manusia mesti mendapatkan petunjuk, di antaranya melalui naskah yang mengajarkan tentang spiritualitas dan pemahaman global. Naskah ini mengajak orang agar tidak berada dalam kutub, atau kelompok yang saling bertentangan. Kelompok kanan dan kiri, yang dicontohkan kalangan agama yang fanatik dan anti kaum sosialis berlawanan dengan kaum anti agama dan materialis.

Saya kira sang penulisnya konsisten dalam pengembaraan manusia dalam mencari kearifan yang digali dari naskah kuno. Penulisnya percaya bahwa kemorosatan moral dan kehancuran nilai kemanusiaan di dunia ini dikarenakan tidak lagi mengacu pada kearifan naskah kuno yang berisi aturan hidup, petunjuk untuk kedamaian, dan interaksi sosial yang manusiawi. Karena itu, posisi naskah dalam novel sebagai alternatif untuk mengubah persepsi dan perspektif dalam memandang kehidupan agar menjadi lebih baik dan damai.

Konten dari naskah yang dikejar oleh para tokoh dalam novel The Twelfth Insight: The Hour of Decision, yaitu tentang keyakinan karma atas perilaku manusia pada manusia lainnya, kedermawanan sangat membantu hidup menjadi lebih tenang, dan kebertautan antar berbagai peristiwa dalam hidup manusia yang dialami dari masa ke masa. 

Menariknya, penulisnya menggunakan istilah “sinkronik” (dan pada novel Sembilan dan Sepuluh gunakan diakronik) yang dalam ilmu sejarah bermakna “melebar dalam ruang”. Yakni manusia dalam hidupnya senantiasa saling terkait, terhubung, dan berdampak pada manusia lainnya. Sehingga memerlukan acuan yang “universal” agar tidak terjadi konflik antar kepentingan manusia satu sama lain yang beda dari cara pandang maupun tujuan hidup.

Dan saya kira Redfiled melalui novelnya coba mengajak manusia sekarang ini agar masuk pada wawasan universal yang dijadikan pijakan bersama dan tidak tersekat dengan mengagungkan ideologi atau identitas. Nah, itu yang saya cerna dari novel The Twelfth Insight: The Hour of Decision. 

Terakhir, saya tidak nyaman dalam membaca novel tersebut karena hurufnya terlalu kecil dan rapat dalam susunannya. Semoga saja wawasan kesebalas yang belum saya temukan lebih enak dibaca narasi dan hurufnya. *** (ahmad sahidin)