Bagaimana membuat
tulisan renyah dan enak dibaca? Ini pertanyaan yang saya ajukan pada seorang
editor di Penerbit Mizan, Hernowo Hasim, yang saya kirim beberapa waktu lalu
melaui sebuah e-mail.
Beberapa hari
kemudian, ada balasan. Menurut Hernowo, seorang penulis atau yang baru belajar
menulis harus memulainya dengan memperbanyak baca buku-buku untuk memperkaya
kosa-kata.
“Perkayalah diri
Anda dengan kata-kata. Banyaklah membaca buku-buku yang membuat Anda senang.
Hanya dengan membaca, tulisan kita akan tidak membosankan. Jika kita ‘miskin
kata/bahasa’ hasil tulisan kita juga akan monoton, tidak bisa mengalir enak.
Harus mulai memilih dan memilah materi atau hal-hal yang akan ditulisnya. Jadi,
pilihlah materi yang akan ditulis yang memang sudah menjadi bagian terdalam
pengalaman diri sendiri. Libatkan benar diri ketika menulis. Jika diri
terlibat, tulisannya akan kaya emosi dan menyentuh, tidak kering dan kaku.
Pisahkan
kegiatan mengeluarkan bahan tulisan dengan pengoreksian. Jangan mengoreksi saat
Anda menulis. Keluarkan secara bebas bahan tulisan Anda hari ini, dan koreksi
esok harinya. Semoga 3 tips itu bermanfaat bagi Anda. Saya akan coba kunjungi
blog Anda."
Oooh... begitu
caranya membuat tulisan yang enak dibaca dan tidak kaku itu. Tapi bila saya
telusuri, aktivitas saya dalam tulis menulis sejak 2002 sampai 2003. Saya memulainya
dengan membuat sebuah bulletin Alternatif (Institute for Human and Cultural
Studies) sebuah media kampus tingkat fakultas. Saya bersama tiga kawan membuatnya dengan dana dan
digarap pun bersama. Tirasnya sekitar 25 eksemplar. Jumlah halamannya mencapai
6-8. Ukurannya setengah kertas kuarto.
Pada edisi
perdana saya menulis pengantar dan kolom opini. Saya juga sajikan beberapa ulasan
buku-buku terbaru. Seorang dosen langsung merespon positif. Ia jadi penyumbang
dana, materi dan tulisan. Hingga beberapa dosen pun memperbincangakan perihal
bulletin tersebut. Saya sedikit merasa bangga karena dalam pembiacaraan
mengenai kreatifitas mahasiswa fakultas, nama saya disebut-sebut. Tambah lagi
ketika beberapa puisi dan esai pendek saya dimuat di HU. Pikiran Rakyat
Bandung.
Dan beberapa
kawan dan dosen memberikan selamat. Sampai dosen jurnalistik saya bilang, “Ente
tak usah masuk kuliah. Nilai ente sudah ‘A’”. Wow, karena prestasi menulis,
saya tak usah cape-cape bangun pagi dan masuk kuliah. Hhmm. Beberapa teman saya
langsung meminta saya untuk mengajarinya. Saya pun ajarin. Hanya waktu itu saya
tak punya teori seperti yang disampaikan Hernowo.
Saya hanya
membaca buku yang banyak tentang bahan yang akan ditulis. Kalau akan menulis
esai atau artikel filsafat sejarah, baca dulu buku filsafat sejarah minimal 4
buku. Baru setelah itu akan meluncur, mengalir begitu saja. Atau kalau
tulisannya sebuah curhat, ya tulis apa adanya. Begitu pun komentar, tulis aja.
Untuk membiasakan menggoreskan pena. Itu tips awal belajar tulis menulis yang
saya gunakan dan ajarkan pada teman-teman.
Selanjutnya, bila
sudah berhasil menuliskannya, berarti sudah menulis. Tulisan itu dibaca
berulang-ulang, ditimbang-timbang isinya, dan dinilai oleh sendiri. Dan setiap
kali membaca yang saya tulis, ternyata banyak kurangnya. Saya pun menambah sana sini dan akhirnya tulisan
pun panjang. Saya kaget, kok ternyata saya bisa juga menulis panjang gini. Ini
yang ajaib buat saya. Padahal, jika saya memaksakan diri mengeluarkan atau
menggores dua paragrap saja tak rampung, alias mandeg.
Tulisan yang
sudah ditimbang dan ditambah kekurangannya, biasanya saya serahkan kepada teman
dan kadang pada dosen. Saya minta mereka komentari. Biasanya mereka senang
kalau diminta komentar dan perbaikan-perbaikan. Meski mereka bukan ahli tulis
menulis, tapi biasanya jeli dan tahu letak kesalahan tulisan saya.
Saya pun
memperbaikinya dan memuatnya dalam buletin. Jadi dalam menulis satu tulisan,
waktunya mencapai satu bulan. Ini hanya satu tulisan. Ini awal sih. Tapi ketika
membuat tulisan yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, mengalir saja dan
terasa begitu cepat. Dalam satu bulan, saya berhasil membuat lima tulisan.
Oh iya, dalam
proses kreatif yang saya jalani itu, salah seorang kolumnis dan Pemimpin
Redaksi Majalah Sunda Cupumanik, Hawe Setiawan, yang sempat saya minta
komentarnya, menyarankan saya untuk melihat atau mencotoh alur dan gaya tulisan
dari tokoh yang saya kagumi. Karena waktu itu saya lagi kagum pada catatan
pinggir Gonawan Mohammad (GM) di Majalah Tempo, saya tiap sore sebelum
menghadiri kajian selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk membaca
catatan pinggir GM. Berbundel-bundel Majalah Tempo lama kubaca.
Hampir enam bulan
saya baca Majalah Tempo dan buku-buku GM. Saya fokus, saya ingin meniru gaya
tulisnya yang khas dan berbeda dari orang lain. GM: tulisannya sungguh hidup,
renyah, tak ada kosa-kata atau kalimat yang mati. Seluruh kalimat dan kata-kata
yang dipakainya berjalin-kelindan, menyatu-padu, dan tak kering. Ini kesan saya
setelah membaca catatan pinggir GM. Jumlahnya mungkin sudah ribuan, bahkan
lebih. Meski sudah usang wacana dan aktualitasnya, tapi bila dibaca, sepertinya
punya “lokasi” tersendiri, sehingga saya tak merasa jemu atau merasa kadaluarsa
ketika membacanya. Ini yang saya berbeda dan khas GM.
Satu lagi yang
membuat saya begitu terpikat. Ia sosok yang luar biasa dalam khazanah Islam dan
piawai dalam berkomunikasi, baik lisan mapun tulisan. Ya, tak salah lagi,
Ustadz Jalaluddin Rakhmat (JR). Selain seorang ustadz, ia juga ahli dalam
ilmu-ilmu rasional dan dikenal pakar komunikasi. Setiap kali saya baca
buku-bukunya, terasa menyentuh dan bermakna.
JR dalam
menorehkan gagasannya seringkali diawali dengan kisah-kisah sufi yang
menyentuh. Atau juga mengambil petikan kata-kata hikmah dari ulama-ulama dan
tokoh-tokoh Islam. Bahasanya renyah dan mudah dicerna. Alurnya enak, mengalir,
dan mudah diingat. Ini yang membedakannya dengan GM. GM bahasanya kadang
filosofis dan berbelit-belit, bahkan cenderung tak mengerti kalau si pembacanya
tak paham isi dan arah dari tulisannya itu.
Masa proses
kreatif itu saya pun mengasah tulis-menulis dengan meluncurkan sebuah bulletin
LATERAL yang diterbitkan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) unit kegiatan
mahasiswa IAIN, kini bernama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya menulis
bersama teman-teman. Namun sayang hingga kini belum ada yang meneruskan atau
melanjutkan media tersebut. Padahal kalau biacara fasilitas, generasi LPIK
sekarang lebih mudah dan terfasilitasi. Berkarya itu memang butuh kemauan yang kuat dan berani berbuat. Ini
intinya, menurut saya.
Alhamdulillah,
aktivitas saya dalam tulis menulis pun berbuah: tahun 2004 saya masuk redaksi
Majalah Swadaya—sebuah media pemberdayaan umat yang diterbitkan Lembaga Amil
Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT) yang berlokasi di
Pesantren Daarut Tauhiid, pimpinan Aa Gym (KH.Abdullah Gymnastiar).
Dari redaksi Majalah
Swadaya saya mulai mengenal kerja jurnalistik. Saya pun merambah dunia
fotografy dan shooting video. Juga dunia internet hingga punya blog. Kemudian masuk dunia penerbitan sebagai ghost writer dan editor buku-buku agama. Dan sekarang mandiri dan merambah dunia pendidikan.
Meski tidak bekerja dalam dunia penulisan dan penerbitan, saya masih terus belajar menulis yang baik, yang renyah, yang enak dibaca dan “bergizi”
(istilah Hernowo) plus menggerakan pembaca. Itu sebabnya saya belajar, belajar,
dan belajar dari mereka yang senatiasa tak lelah untuk menorehkan pena. Dibaca
tak dibaca, bagus tak bagus, tulis aja! Biar saya sendiri yang baca! ***
(Ahmad Sahidin/28 Agustus 2004)
(Ahmad Sahidin/28 Agustus 2004)