Jumat, 06 Desember 2019

Apa yang Kau Cari? Belajar dari Filsuf

Apa yang kau cari? Apa yang kau inginkan? Apa yang kau tuju? Jawablah kawan!

Itulah yang kupertanyakan pada diriku: apa sesungguhnya yang paling utama dan yang menjadi tujuan sejati?

Berkenaan dengan ini aku teringat para filsuf eksistensialis Barat yang menganggap kehidupan manusia adalah yang paling mendasar sehingga nilai-nilai humanis adalah rujukan yang paling penting untuk diperbincangkan.​ Dari sini aku ingin belajar dari para filsuf.

Aku sendiri tidak yakin dengan yang mereka katakan. Sebab bagiku hidup tidak hanya selesai dengan, untuk dan demi kemanusiaan. Kalau yang seperti ini dijadikan jaminan, mungkin aku bukan lagi manusia tetapi sama dengan mawar, melati, anggrek dan tumbuhan lain. Yang ketika habis masa tumbuhnya akan mengering, lalu mati dan muncul benih-benih baru darinya dan kemudian berkembang, tumbuh dan berganti dengan yang baru dari jenisnya tadi.

Jika manusia seperti itu, untuk apa manusia mengerjakan kebaikan, kejujuran, memperjuangkan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan serta kebahagiaan, jika semuanya tidak berbekas dan bermakna karena kita semua berakhir begitu saja?

Di manakah letak pertanggungan jawab para pembelot, pemerkosa, penindas, koruptor, perampok harta rakyat dan pelaku kejahatan serta keburukan yang sifatnya batiniah (dengki, iri, benci, sombong, sakit hati dan lainnya) jika tidak kita ketahui dan tidak terhukumi dengan hukum dunia? Akankah semua itu selesai begitu saja? Ataukah itu semua hanya menjadi catatan sejarah sehingga dari masa ke masa terus mengalirkan  “dendam-sejarah” ke tiap-tiap “tunas” yang akan tumbuh dan menggantikan masanya?

Aku kira tidak seperti itu. Tapi ketika kupikirkan lebih mendalam, aku mengalami ke-mentok-kan dalam membongkar misteri ini. Di sini aku tambah yakin bahwa inilah yang “pelik” sekaligus bukti keterbatasanku untuk memahami “sesuatu” (yang meskipun telah diupayakan ilmuwan, teolog, filsuf, sufi dan seniman serta orang awam) yang tetap saja tidak selesai-selesai saking misteriusnya.

Ya, aku ingat bagaimana lelaki yang bertubuh pendek, berambut keriting dan wajah yang kurang bagus. Ia adalah seorang homoseksual yang lahir ke dunia di abad Sebelum Masehi untuk mendobrak keyakinan dan pegangan "kebenaran" yang berlaku saat itu. Ketika itu yang dominan adalah kalangan sofisme yang membawa manusia pada lubang ketidakpastian. Adalah Sokrates yang sadar atas krisis yang sedang berkecamuk hingga bermaksud memperbaikinya.

Sayang, kesadaran akan kepastian yang diusungnya itu disalahpahami sebagai penghinaan terhadap Dewa-dewa Yunani dan nyawa pun jadi tebusannya. Begitu pula beberapa ratus tahun setelah Sokrates, tepatnya di Romawi ada peristiwa tragis. Yakni di bulan Februari 62 Masehi, seorang Kaisar bernama Nero bersama pengawalnya, Ofonius Tigellinus, melakukan penculikan perawan dari jalan-jalan Roma dan dibawa ke kamarnya.

Istri-istri para senator dipaksa berpesta seks dan menyaksikan suami-suaminya dibunuh di depan matanya. Yang paling bejad adalah, Nero jatuh cinta pada sesama jenisnya, yang kemudian di rias, mengibirinya dan diberlangsungkan pernikahan dengannya. Masyarakat saat itu hanya bisa mengeluh bahwa, hidup mereka mungkin lebih baik seandainya ayah Nero, Domitius, mengawini perempuan lain.

Pada kondisi inilah Seneca sebagai filsuf dan guru Kaisar Nero merasa malu atas tindakan muridnya yang dehumanis hingga memutuskan pergi ke luar Roma dan menuliskan aforisme :

musim salju mendatangkan cuaca dingin
dan kita pasti menggigil
musim panas kembali dengan hangatnya
dan kita kegerahan
musim pancaroba mengganggu kesehatan;
kita pun jatuh sakit
dan ditempat tertentu kita bertemu binatang buas,
atau bertemu orang yang lebih ganas dari binatang

dan kita tidak dapat mengubah tatanan ini;
terhadap hukum (alam) ini jiwa kita harus menyesuaikan diri
ini yang harus diikuti;
ini yang harus ditaati;
kita lebih baik bertahan terhadap apa yang tidak bisa berubah

Itulah bahasa tentang realitas yang melingkupi Seneca, yang merasa kesulitan—atawa meureun sieun aya mamala ti luar dirina mun diseratna sagemleungna—sehingga meminjam metafor peristiwa alam yang dahsyat untuk mengkabarkan ketidakberdayaannya terhadap kekuataan dan kekuasaan Kaisar Romawi. Yang pada April 65 Masehi, Seneca di tuduh mengkudeta Kaisar Nero, sang muridnya yang bengis.

Karena itu, ketika berkenaan dengan datangnya algojo yang hendak menjemput kematian Seneca; yang ketika tahu tentang itu sang filsuf buru-buru menyilet nadi diengkel lengan dan belakang lututnya. Karena tindakannya itu terlalu lambat untuk dapat menjemput ajal (merujuk eksekusi Socrates di Athena, Yunani
 464 tahun sebelumnya), Seneca meminta secangkir racun untuk menyelesaikan hidupnya.

Apakah perlu seperti itukah,saat tak ada solusi atas suatu masalah? *** (ahmad sahidin/12-09-2014)