Jumat, 08 November 2019

Ilmu Kalam (Kajian Teologi Islam)


SEJARAH umat Islam penuh dengan perbedaan dan perpecahan. Hal ini karena adanya pemahaman yang berbeda dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam sehingga muncul ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, terutama generasi setelah para sahabat atau yang disebut tabiin dan tabiit tabiin. Dari generasi ini lahir orang-orang Islam yang memahami ajaran Islam secara rasional, tekstual, dan pemahaman Islam yang menggabungkan keduanya. ​

Muncul juga aliran-aliran seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, Asyariah, Mutazilah, Ahlussunnah wal Jamaah, dan lainnya. Bersamaan dengan munculnya aliran-aliran Islam tersebut; pembahasan dan kajian aliran Islam yang terkait dengan keimanan atau ilmu ketuhanan oleh para ulama disebut dengan istilah Ilmu Kalam atau teologi.[1]

Menariknya, di antara para teolog (mutakalimin) terjadi saling menuduh kafir, murtad, dan zindiq (ateis) terhadap lawannya. Dari persoalan kafir mengkafirkan atau caci maki itu berlanjut dengan pertumpahan darah sehingga wajar bila Imam Asy-Syafii, Imam Sufyan Ats-Suri, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak mewajibkan teologi dipelajari oleh umat Islam.[2]

Ada pula ulama yang menganjurkan agar mempelajarinya. Salah satunya adalah Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w.1111 M.) yang berpendapat bahwa hukum mempelajari teologi itu mengandung aspek mashlahat dan madharat. Aspek madharat mempelajari teologi adalah dikhawatirkan terjerumus dalam syirik, kufur, bid`ah, menggoyahkan keimanan, dan menyebabkan umat Islam terpecah-pecah ke dalam firqah-firqah (mazhab-mazhab), fanatik terhadap kelompoknya, dan menciptakan kebencian terhadap kelompok yang berbeda.

Sementara sisi mashlahat dalam mempelajari aqidah (teologi Islam) adalah seorang Muslim akan lebih mengenal hakikat ajaran-ajaran Islam, menguatkan keimanan kepada Allah dan dapat menemukan kejelasan terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan ketuhanan maupun persoalan lainnya. Dengan mempelajarinya maka seorang Muslim bisa membedakan antara yang benar (haqq) dan yang sesat (bathil).[3]       

Menurut Muhammad Amin Abdullah, kaum Muslim dianjurkan untuk mengenal dan memahami teologi Islam. Sebab disiplin ini merupakan bagian dari Ilmu-ilmu Islam (ulum al-Islam) yang seharusnya dikuasai oleh kaum Muslim karena isinya menyangkut aqidah yang merupakan pokok-pokok atau dasar-dasar ajaran Islam.

Pendapat Amin Abdullah bisa dibenarkan karena melihat arti teologi itu sendiri berkaitan dengan doktrin keimanan kepada Tuhan. Kata teologi berasal dari kata theos (Tuhan) dan kata logos (Ilmu) dan kalau diartikan “teologi” adalah ilmu yang mengkaji tentang ketuhanan.

Memang secara historis bahwa istilah teologi beredar dikalangan Nasrani (Kristen) yang disebut sebagai doktrin ketuhanan Kristen dan bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang filsafat agama dan metafisika. Namun kemudian diserap oleh intelektual Muslim modern seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Harun Nasution, dan Nurcholish Madjid, yang disamakan dengan akidah karena membahas tentang keimanan dan ketuhanan serta dasar-dasar pokok agama.

Istilah Kalam
Menurut Ahmad Gibson Al-Busthomi, istilah kalam mulai populer dan menjadi wacana Islam pada masa Al-Ma`mun menjadi penguasa Dinasti Abbasiyah yang banyak mengagumi khazanah filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran teologi Mu`tazilah.[4]

Disebut “ilmu Kalam” karena pada masa itu para ulama banyak mempersoalkan tentang makna dan isi dari kalam Allah (wahyu) sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda-beda dan terbentuklah mazhab atau aliran-aliran aqidah (teologi Islam). Dalam sejarah, aliran-aliran aqidah Islam lahir akibat konflik politik dan pembelaan dari cap kafir, kufur, murtad, dan zindiq yang disampaikan lawannya.

Ulama Sunni ternama, yaitu Muhammad bin Abdul Karim Ahmad Al-Syahrastani menyebutkan ada empat pokok bahasan yang dikaji para mutakalim (teolog Muslim) klasik.

Pertama berkenaan dengan permasalahan sifat-sifat dan keesaan Allah dalam hubungannya dengan sifat-sifat tersebut. Termasuk membahas masalah qadim (kekal) dan tidaknya Allah, yang mungkin dan tidak bagi Allah, mengenai yang wajib dan tidak mungkin bagi Allah.

Kedua adalah membahas hal-hal yang berkaitan dengan qadha, qadar, iradah, keadilan Tuhan, ketetapan dan takdir Allah, jabr dan kasb, kehendak Tuhan terhadap perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia.

Ketiga, yang dibahas para ulama waktu itu berkenaan dengan persoalan janji dan acaman Allah, al-asma wa al-ahkam. Hal ini meliputi persoalan iman, tobat, ancaman, penangguhan hukuman, kategori kafir dan sesat.

Keempat adalah berkaitan dengan persoalan wahyu, akal, nubuwwah (kenabian), dan imamah(kepemimpinan), kebaikan dan kejahatan, yang baik dan yang terbaik, ke-ma`sum-an para nabi, syarat-syarat pemimpin Islam, cara pemindahan atau pelimpahan kekuasaan, dan konsesus umat (ijma).[5]

Apabila dilihat dari pokok bahasan di atas maka kedudukan aqidah (teologi) dalam ilmu-ilmu Islam sangat menentukan keyakinan seorang Muslim dan Muslimah dalam keimanannya. Jika seorang Muslim tidak paham inti dari teologi Islam maka akan terjerumus dalam aliran pemikiran atau pemahaman teologi Islam yang menyimpang. Sehingga para ulama dan cendekiawan menyusun, mengarahkan, memberi muatan materi, dan metodologi untuk kajian teologi Islam.

Upaya tersebut telah diawali oleh Muhammad bin Abdul Karim Ahmad Al-Syahrastani, seorang teolog dan sejarahwan yang hidup di Persia pada paruh pertama abad ke-6 H./12 M., menulis kitab Al-Milal wa Al-Nihal.[6]

Begitu pun Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy yang menulis kitab Al-Tauhid; Al-Imam Abi Al-Hasan bin Ismail Al-Asyari (w. 330 H.) menulis kitab Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Mushallin; Abdul Jabbar bin Ahmad menulis kitab Syarh Al-Ushul Al-Khamsah; Imam Al-Thahawiyah menulis kitab Syarh Al-Aqidah Al-Thahawiyah;[7] dan Harun Nasution menulis teologi Islam dengan pendekatan kritis.[8]

Khazanah Teologi  
Secara historis terbagi dalam tiga periode perkembangan khazanah ilmu kalam atau pemikiran teologi Islam: klasik, pertengahan, dan modern.

Dalam wacana pemikiran teologi Islam klasik yang dibahas adalah persoalan yang berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, kufur, imamah, khalifah, dan perbuatan-perbuatan manusia. Sejarah mengisahkan pada masa klasik Islam (setelah masa khulafa rasyidun) muncul aliran-aliran Islam seperti Syiah, Khawarij, Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, Asyariah, Mutazilah, Maturidiyah, dan Ahlussunah wa Jamaah.

Sementara pemahaman teologi Islam yang berkembang pada abad pertengahan cenderung melakukan kombinasi antara khazanah ilmu-ilmu Islam dengan wawasan filsafat Yunani dan mistisme Islam—dalam satu wadah yang disebut teosofi Islam. Sebut saja Ibnu Arabi, Abdul Karim Al-Jilli, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur Al-Hallaj, Ar-Razi, Siti Jenar, Suharawardi Al-Maqtul, Mulla Shadra, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan lainnya. Mereka yang mengembangkan pemikiran aqidah (teologi) menjadi bernuansa sufistik dan filosofis. Mereka tidak hanya mengkaji, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara mencapai hakikat kesempurnaan hidup dan dekat kepada Allah.

Pada masa sekarang ini wacana teologi Islam telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Para cendekiawan Muslim modern tampak sudah mulai melakukan kajian dan penafsiran teologi yang lebih mendalam dan kontekstual serta bersifat kritis dan ilmiah. Tentu saja coraknya berbeda dengan teologi Islam yang berkembang pada zaman klasik dan pertengahan Islam, terutama pada pokok bahasan dan karya yang dihasilkannya.[9]

Perkembangannya terlihat dari upaya mewujudkan ajaran Islam dalam konteks praktis sehingga Islam menjadi solusi atas masalah yang dihadapi umat.  Di antara tokoh-tokoh yang berupaya mewujudkan ajaran agama Islam dalam konteks modern adalah Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Muhammad Rasyid Ridha, Yusuf Qardhawi, Ayatullah Imam Khomeini, Muhammad Yunus, Farid Essack, Nurcholish Madjid, dan lainnya. Mereka ini berupaya menerapkan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman; yang dalam istilah Dirasah Islamiyyah disebut Kalam Jadid, atau gerakan pembaruan Islam (Tajdid).***

Catatan akhir [1] Teologi berasal dari dua kata: theos dan logos, yang artinya ilmu yang berkaitan dengan ketuhanan; yang menguraikan keyakinan dan keimanan (aqidah) atau dasar-dasar agama dalam Islam (ushuludin).

[2] Mengenai hukum mempelajari Ilmu Kalam dan pendapat para ulama Sunni bisa dilihat dalam Muhammad Al-Ghazali dan Murtadha Muthahhari, Agar Kita Tidak Sesat: Menyikapi Maraknya Aliran Sesat di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008) h 30-36.

[3] Sesat dalam bahasa Inggris, yaitu ‘heresy’ yang berasal dari bahasa Yunani,‘hairesis’, yang artinya memilih atau pilihan keyakinan atau faksi dari pemeluk yang melawan. Dalam istilah bahasa Arab, sesat diistilahkan dengan ‘bid`ah’ yang berarti sebuah perbuatan atau ajaran yang tidak ada dalam Al-Quran dan tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Secara umum, bid'ah diartikan membuat sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah). Syaikh Ibnu Taimiyah menyebutkan, bi`dah dalam agama Islam adalah perkara yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Begitupun dengan mereka yang meyakini adanya Nabi setelah Muhammad saw, termasuk kategori sesat.

[4] Mengenai asal mula munculnya istilah ‘Kalam’ yang diperdebatkan para teolog Muslim bisa dilihat pada artikel Ahmad Gibson Al-Busthomi, “Kalam Allah: Analisis Sintetik terhadap Pemikiran tentang Keqadiman dan kemakhlukkan Kalam Allah” dalam situs http://hhmsociety.multiply.com.

[5] Lihat Muhammad bin Abdul Karim Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal: Aliran-Aliran Teologi Dalam Islam (Bandung: Mizan, 2004). Hal. 34-35.

[6] Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Syuaidi Asy`ari dan diterbitkan Penerbit Mizan, Bandung. Cetakan 1, Januari 2004/ Dzulqa`dah 1424 H.

[7] Dr.H.Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999) h.222-232.

[8] Prof.Dr.Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986) cCetakan ke-V.

[9] Informasi mengenai teologi Islam ini berasal dari Ahmad Gibson Al-Busthomi—mantan Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung—dalam sebuah diskusi kecil di kampus. Perlu diketahui, pemakaian istilah teologi Islam klasik dan teologi Islam kontemporer yang terdapat dalam buku ini merujuk pada pembabakan sejarah: klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer (masa/zaman yang sedang dijalani/kekinian).

(Diambil dari karya Ahmad Sahidin, Buku Pintar Dirasah Islamiyyah. Bandung: Acarya Media Utama, 2010)