Rabu, 14 Februari 2024

Kemudahan dalam Beragama

PADA masa Nabi Muhammad saw diceritakan ada anak muda yang luar biasa dalam beribadah. Baginya, tiada hari tanpa puasa dan tiada malam tanpa tahajud serta membaca al-Quran. Anak muda itu bernama Abdullah Ibn Amr. Sosoknya menjadi buah bibir.  Rasulullah saw pun memanggil dan menanyainya, “Aku dengar kau selalu puasa di siang hari, tahajud, dan membaca al-Quran sepanjang malam?”
 “Benar, ya Rasulullah. Aku melakukan itu semata-mata menginginkan kebaikan”. 
“Sesungguhnya cukup bagimu berpuasa 3 hari setiap bulan”.
“Ya Rasulallah, saya kuat berpuasa yang lebih afdol dari itu”.
“Istrimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi. Maka puasa saja seperti puasanya Nabi Daud. Beliau itu orang yang paling kuat ibadahnya”.
“Ya Rasulallah, bagaimana itu puasa Nabi Daud?”
“Sehari berpuasa, sehari tidak. Bacalah al-Quran setiap bulan.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”
“Kalau begitu, baca setiap 20 hari.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”
“Ya baca setiap 10 hari.”
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol dari itu.”
“Bacalah setiap 7 hari. Dan jangan lebih dari itu. Istrimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi.”

Demikian sebuah hadits sahih riwayat Imam Bukhari. Hadits ini saya dapatkan dari sesepuh kaum nahdliyin, yaitu K.H.Ahmad Musthofa Bisri atau Gus Mus. 

Cerita yang hampir sama saya dapatkan dari seorang kawan. Ia bercerita bahwa Imam Ja'far Shadiq, salah seorang ulama yang juga keturunan Rasulullah saw, mengisahkan dua orang bertetangga, seorang beragama Islam dan seorang lagi belum menganut suatu agama. Seringkali keduanya terlibat diskusi tentang agama, hingga kawannya itu tertarik masuk Islam. Pada tengah malam si Muslim mengetuk pintu rumah temannya yang baru masuk Islam itu dan mengajaknya ke masjid. 'Tengah malam begini adalah waktu yang tepat untuk salat tahajud,'' ujarnya.

Mereka kemudian ke masjid dan salat hingga subuh. Setelah salat subuh, zikir dan doa, temannya yang baru masuk Islam itu meminta izin pulang ke rumahnya. Tapi dicegah oleh si Muslim, ''Sabarlah mari kita terus berzikir hingga terbit matahari. Aku nasihatkan agar Anda berpuasa sunnah hari ini. Tahukah kau betapa besar pahala dan keistimewaan puasa ini. Sekarang bacalah Al-Quran hingga matahari naik''.

Setiap kali ia ingin meninggalkan masjid, si Muslim meminta untuk meneruskan ibadahnya. Baru setelah salat Isya, ia diperkenankan pulang. Pada malam berikutnya, saat si Muslim mengajaknya lagi ke masjid, temannya yang mualaf itu menolak ajakannya.

''Aku telah keluar dari agama ini sepulang dari masjid semalam. 'Carilah orang lain yang tidak mempunyai pekerjaan yang bisa menghabiskan waktunya cuma di masjid. Aku orang miskin yang punya tanggungan. Aku harus mencari nafkah untuk keluargaku,'' katanya.

Bagi saya, dua cerita di atas merupakan sebuah kritik terhadap sikap berlebihan (ekstrem) dalam beribadah atau menjalankan agama. Jika tak salah, Rasulullah saw sendiri pernah marah ketika ada di antara para sahabatnya yang ingin berpuasa sepanjang hari dan beribadah sepanjang malam. “Engkau mempunyai kewajiban terhadap badanmu, keluargamu, dan istrimu. Karena itu berikanlah kepada yang berhak apa yang menjadi haknya,” sabdanya.

Apabila ditelusuri dalam Al-Quran dan As-Sunah tampak begitu banyak dalil yang meringankan dan memudahkan dalam pengamalan syariat dan tidak menyulitkan umat Islam. Allah Swt berfirman, “Dan Allah samasekali tidak menghendaki kesempitan dalam agama (hingga menyusahkan) kalian” (QS. Al-Hajj: 78).

Mengenai ini, Allah berfirman dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 287, bahwa Allah tidak membebani umat Islam dan tidak memberikan aturan yang membuatnya mengabaikan hak dan kewajibannya. Bahkan, dalam surat Al-Baqarah ayat 256, Allah menyatakan tidak ada paksaan untuk beragama atau tidak.

Ayat dan hadits tersebut jelas telah menegaskan bahwa Islam itu tidak memaksa, tidak memberatkan atau membebani. Karena memang pada prinsipnya Islam itu mudah alias tidak memberatkan. Prinsip kemudahan dalam beribadah tampak dalam salat. Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan umat Islam. Saking pentingnya, Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa yang membedakan seseorang Islam atau tidaknya dengan ibadah salat. Mereka yang mengaku Islam, bilai tak menegakkan salat, bisa disebut bukan Islam. Di manapun, kapanpun, dan dalam keadaan apapun, hukum salat tetap wajib bagi umat Islam.
Didasarkan dengan hukumnya yang wajib dan prinsip Islam pada dasarnya tidak memberatkan maka dalam tata cara dan pelaksanaannya diberikan kemudahan. Mereka yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan untuk meringkas salat (salat jama`) dan boleh salat dikendaraan. Mereka yang sedang sakit boleh sambil duduk, berbaring, dan bahkan boleh hanya menggunakan isyarat anggota tubuh bila memang kondisinya darurat. Begitupun dengan wudhu, bila tidak ada air atau khawatir terkena penyakit dari air yang kotor atau yang sudah tercemar bakteri dan virus berbahaya, diperbolehkan menggantinya dengan debu (tayamum).

Masih banyak bentuk kemurahan yang diberikan Allah dan Rasulullah SAW bagi umat Islam dalam menjalankan kewajiban ibadahnya. Kemudahan inilah harusnya dimanfaatkan agar aktivitas atau kegiatan harian tidak menjadi alasan untuk meninggalkan hak dan kewajiban selaku umat Islam (Muslim).

Disadari atau tidak, masih banyak yang belum mau mengambil kemurahan tersebut. Orang-orang lebih senang dengan agenda “kejar pahala” dengan ibadah-ibadah sunnah yang kadang tidak memperhatikan kondisi tubuh dan jiwanya. Jangan sampai karena sahalat malam, ketika pagi hari harusnya bekerja malah tidur. Harusnya mencari nafkah untuk keluarga, malah berzikir atau i`tikaf seharian. Sikap beribadah seperti ini bisa dibilang berlebihan.
Memang sebuah kewajaran memiliki semangat yang berkobar-kobar. Apalagi itu berkaitan dengan beragama. Namun yang perlu dijaga ialah bagaimana semangat tersebut tak menjerumuskan pada sikap berlebih-lebihan yang bisa berakibat buruk. Karena itu, semangat beragama harus diikuti dengan semangat memperdalam pengetahuan agama. *** [ahmad sahidin]