Selasa, 09 Juli 2019

Mudik di Garut, Mengulang Perjalanan


Mengulang perjalanan. Masih tetap sama. Indah, segar, dan alamiah. Kampung halaman. Tahun demi tahun tidak berubah. Jalan menuju kampung tetap nanjak, terjal, berbatu, dan sisi kanan kiri pesawahan. 

Melewati galeungan, jalan setapak. Rumput eurih yang memerihkan kulit saat bergesek. Meski lelah dan khawatir terjatuh saat menapaki jalan menuju pajaratan, tetap dilakoni. Sungai dengan arus air sedang dilewati. Galeungan becek pun ditapaki. Terasa sakit kala kaki bentur batu. Tapi terus dijalani. 

Sandal tidak bersahabat. Licin. Ah, mungkin kaki ingin menyatu dengan tanah kampung, bagian dari asal muasal diri. Tak beralas sandal. Injakan pada rumput terasa empuk. Injakan pada tanah sawah basah melesak. Kaki berbalut tanah dan lumpur. Terus melangkah. Batu terinjak kalau naik pada tanjakan terasa sakit di kaki. Tapi terus ditempuh. Melewati jembatan batang bambu. Penuh rasa khawatir jatuh kala menapakinya. Maklum di bawah ada arus sungai yang cukup deras dengan air yang jernih.

Yang menarik, meski saya tak mengenal orang-orang di sawah, mereka menyapa dan senyum kala berpapasan. “Bade ka mana ieu teh? (Mau ke mana?)” Itu ucapnya. Ramah dan senyum yang tampak pada mereka: orang kampung. Yang tidak saya temukan di kehidupan kota. 

Perjalanan mudik memang sebuah perulangan. Sebuah gerak kembali, mengenang masa yang berlalu. Mengingatkan pada kearifan, keindahan, dan kesadaran pada nilai-nilai. 

Meski berulang dan tetap, tetapi ada yang berubah. Orang-orang, penghuni, dan jumlah yang berubah. Hanya kabar yang sampai kala bincang. Dan yang pasti juga usia, fisik, dan gerak tubuh orang yang menempuhnya tidak lagi seperti empat tahun ke belakang. Lelah, berkeringat, dan nafas yang ngos-ngosan. Itulah yang dialami dalam acara mulih ka sarakan; kampung asal.

Saya yakin bukan perkara lelah dan berulang. Ini perjalanan yang bernilai. Di dalamnya ada silaturahim dengan sesama manusia, dan ziarah kepada almarhum dan almarhumah. Syukur saya panjatkan kepada Allah Ta’ala yang masih memberi kesempatan pada saya, dengan usia dan budget yang seadanya, untuk silaturahim dan mengulang perjalanan. Mugi tahun payun tiasa mudik deui dina kayaan sehat lahir batin.***

Selain berziarah dan silaturahim dengan keluarga dari almarhum pun bapa dan keluarga dari almarhumah pun biang, saya pun sempat melihat sebuah “Rumah Adat” di daerah Gadog, Desa Pasirwangi, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Saya lihat rumah adat tersebut masih kokoh berdiri dengan bentuk bangunan khas rumah tradisional Sunda. Halaman depannya diapit dua pohon besar dengan halaman luas dan di pinggirinya ditanami cabe dan jeruk. Terasa segar udara yang terhirup di sana. Saya bandingkan dengan rumah sekitarnya, sudah tidak lagi bercorak adat. Mungkin terimbas arus kosmopolitan. Maklum kawasan tersebut lintasan jalan menuju wisata air panas Darajat.***

Sekadar informasi saja bagi orang Bandung. Bagi yang akan pergi ke Garut dengan kendaraan umum (tanpa kendaraan sendiri), sebaiknya jangan pernah menggunakan bus. Pulang ke Bandung pun sama jangan pakai bus. Alasannya: ngetem lama bisa lebih dari tiga jam. Baik dari terminal Cicaheum atau Luewi Panjang (Bandung). Bahkan pakai mobil elf pun sama ngetem. Mungkin akan baik jika menggunakan mobil travel. Namun, mesti booking dahulu. Dan berhentinya pun harus di pool. Tidak sembarang. Yang pasti harga (ongkos) pun lebih dari harga bus dan elf. Sekian catatannya. 

10 Juli 2017