Senin, 08 Juli 2019

Pengalaman Mudik di Cianjur: Melihat Laku kaum Tarekat


Bismillahirrahmanirrahim.
Allahumma Shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Aali Sayyidina Muhammad.

Baru saja dari masjid, Pesantren Nurul Falah, di Pamoyanan Cianjur. Usai shalat subuh berjamaah, ikhwan sufi tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah melantunkan dzikir laa ilaha illallaah dengan hentakan suara yang kuat keras. Mereka dzikir dan baca tahlil sambil duduk. Kepala dan badanya gerak seiring ucapan asma Allah. Terus berulang-ulang.

Saya terdiam dan menyimak tahlil mereka. Saya menikmati gema tahlil yang berbalasan. Saya rasakan dalam dzikir mereka seakan lepas begitu saja. Keluar dengan tanpa ragu mengucap tahlil.

Ah, saya hanya jadi pemerhati saja. Saya coba berkaca diri: saya belum mampu seperti mereka dalam ibadah. Penuh dengan sapaan Ilahiah dan gemakan asma Allah.***

Kemarin sore, dekat Kaum masjid Agung kota Cianjur. Saya diajak istri ke Gedong Asem, sebuah madrasah dengan bangunan masih dari kayu dan beralaskan bambu. Bangunan khas Sunda rumah panggung. Madrasah tersebut bukan sekolah formal, tetapi tempat kaum sufi tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah melakukan uzlah. Di ruang madrasah ada kamar-kamar tersekat dan ditutupi kain. Di ruang sempit itu seorang penempuh sufi (suluk) beribadah, dzikir, dan tahlil sesuai petunjuk mursyid.

Sayangnya saya tak menyaksikan yang sedang uzlah. Sudah sepi. Kata istri, awal Ramadhan dan pertengahan Ramadhan, sekira sepuluh hari mereka full dalam madrasah.

Ah, betapa inginnya melihat kaum sufi. Dalam nuansa uzlah, gerak hidup, dan ibadah. Hanya buku ke buku dan cerita demi cerita yang saya dapatkan tentang mereka. Saya tahu dalam sejarah ada yang menyebutnya kaum asosial, dan lagi-lagi dalam sejarah saya temukan: justru banyak kontribusi dalam khazanah sastra dan di Indonesia turut dalam perjuangan kemerdekaan. ***

25 Juni 2017. Masjid jamie di kompleks pesantren nurul falah (komunitas tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah) pamoyanan Cianjur, menjadi tempat ibadah shalat Idul fitri.

Saya duduk di shaf lima. Samping kiri. Ikuti alunan takbir. Saya ikuti dan suara pun keluar dengan pelan. Saya malu ucap Takbir, sementara diri ini belum benar-benar mengecilkan diri di hadapan Allah.

Saya ikut shalat Idul fitri dan dengar khutbah dalam bahasa Sunda. Imam oleh pimpinan pesantren. Sepuh dari usia, tapi suara lemahnya getarkan relung hati. Khutbah oleh seorang ajengan muda dengan bahasa Sunda yang nyastra, sampaikan pesan silaturahim dan ukhuwah. Orangtua, katanya, adalah yang utama saat lebaran ini untuk dikunjungi. Ajengan itu "merobek" relung hati hingga tidak terasa air mata meleleh.

Saya sadar dengan masa lalu, ada banyak dosa pada orang tua. Dan termasuk yang rugi orang yang saat ini orangtuanya masih hidup, tetapi tidak meminta maaf dan tidak bahagiakan keduanya. Saya termenung karena orangtua sudah wafat. Saat termenung, ajengan sampaikan bahwa bagi orangtua yang wafat, segera ziarah dan basahi kuburnya dengan air mata dan doa. Moga saja Syawal ini ada umur untuk bisa sampai pada kubur orangtua.

Akhir khutbah diakhiri salaman. Saya cium tangan kiai dan ajengan itu, meski dirinya tak kenal saya: yakin dan pasti bawa berkah di lebaran ini.

Untuk semua orang, yang berperan dan terlibat dalam kehidupan, saya mohon maaf lahir batin.

Untuk keluarga, juga kepada dua guru yang telah mencerahkan akal dan hati ini dalam beragama: Pangersa Guru KH Jalaluddin Rakhmat dan Pangersa Ustadz Miftah Rakhmat, hapunten lahir sinareng batin. Selamat Lebaran buat seluruh kawan....

تقبل الله اعمالكم بأحسن قبول