“Ikatlah
ilmu dengan menuliskannya,” begitu kata Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu
wajhah. Dari pernyataan tersebut tampak bahwa Imam Ali mempunyai firasat akan
terjadi hilangnya suatu ilmu (pengetahuan) dari manusia. Karena itu, tidak salah menantu Rasulullah saw mengingatkannya kepada kita
untuk menyimpannya dalam bentuk tulisan. Kemudian tulisan itulah yang menjadi
“lumbung” ilmu; rekaman dari pengetahuan sekaligus menunjukkan adanya peradaban
manusia.
Karena
itu, melalui karya tulislah kita akan mengetahui betapa kaya paradaban Islam;
memiliki karya-karya monumental. Ribuan buku dan ribuan ilmuwan yang lahir
menjadi simbol peradaban. Tidak ada kemajuan tanpa buku. Tidak ada buku jika
tidak ada ilmuwan (ulama).
Munculnya
karya dan khazanh kaum Muslim terdahulu karena mereka memiliki semangat untuk
menggali ilmu pengetahuan. Motivasi tersebut lahir karena perintah Allah
melalui wahyu yang diterima Rasulullah saw. Salah satunya ayat, “Bacalah dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah; yang mengajar dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS
Al-Alaq [96]:1-5)
Menurut
M. Quraish Shihab, kata iqra (bacalah!) dalam ayat tersebut bermakna perintah
membaca, menghimpun, menelaah, meneliti, dan mendalami. Seseorang yang ingin
mengetahui hakikat dibalik fenomena alam semesta dan manusia, termasuk
mengenali Tuhan perlu dengan membaca ayat tadwiniyah dan takwiniyah. Dengan
membaca keduanya, maka terbukalah “misteri” yang tidak kita ketahui sebelumnya dan
menuntun hidup lebih bermakna. Jika kita tafsirkan lebih jauh, makna perintah
membaca di atas tidak hanya kitab suci dan alam semesta, tapi juga karya umat
manusia berupa buku-buku. Dari buku yang dibaca dan disebarluaskan dengan
penerjemahan itu melahirkan khazanah ilmu-ilmu Islam dalam bentuk buku yang
jumlahnya ribuan.
Proyek
intelektual ini berlangsung pada periode akhir Dinasti Umayyah dan awal
berkuasanya Dinasti Abbasiyah. Meski memang tidak dipungkiri para panguasanya
berlaku zalim, tapi kontribusinya dalam mengembangkan khazanah Islam jelas
terbukti. Salah satunya Al-Makmun, penguasa Dinasti Abbasiyah yang memerintah
pada 813-833 M, yang memfasilitasi kaum Muslim untuk melakukan penerjemahan
berbagai karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani dan Syiria ke dalam bahasa
Arab.
Aktivitas
intelektual itu dipusatkan di Baghdad (Irak) dalam sebuah lembaga keilmuan
bernama Baitul Hikmah dan Majalis Al-Munazarah. Juga terdapat 100 kios buku dan
38 perpustakaan umum yang ramai dikunjungi orang untuk sekadar membaca dan
menelaah. Dari lembaga-lembaga itu lahirlah para filsuf, teolog, fuqaha,
muhadits, dan mufasir yang karya-karyanya berpengaruh hingga sekarang.
Selain
di Baghdad, khazanah perbukuan Islam berkembang pula di Cordoba (Andalusia,
Spanyol). Umat Islam di Spanyol pada abad ke-10 memiliki perpustakaan istana
yang berisi 600.000 koleksi buku dan 70 perpustakaan umum.
Kecintaan
terhadap ilmu tampak juga di Mesir, yang pada masa itu seorang penguasa Dinasti
Fathimiyah secara pribadi memiliki 1.600.000 buku dengan memperkerjakan puluhan
pegawai. Tradisi intelektual pada masa Dinasti Fathimiyah tampak dari munculnya
organisasi ilmuwan Muslim Syi`ah yang bernama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan
Suci) pada abad ke-4 H./10 M.
Tokoh-tokoh
yang terkenal dalam organisasi Ikhwan al-Shafa ini di antaranya Ahmad bin Abd
Allah, Abi Sulaiman Muhammad bin Nashr Al-Busti (Al-Muqaddasi), Zaid bin
Rifa’ah, Abi Al-Hasan Ali bin Harun Al-Zanjany, dan lainnya. Mereka berkumpul
untuk mengkaji khazanah filsafat dan melakukan kombinasi dengan teologi Syiah
hingga melahirkan ensiklopedi Rasail Ikhwan Al-Shafa.
Hampir
semua wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam memiliki tradisi keilmuan dan
memberi perhargaan yang cukup tinggi dengan mendirikan pusat-pusat kajian Islam
dan perpustakaan-perpustakaan. Meskipun tidak lepas dari unsur politik dan
sebagai bentuk propaganda mazhab, kehadiran simbol-simbol peradaban tersebut
menjadi bukti bahwa umat Islam memiliki gairah yang tinggi terhadap kemajuan
zaman. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)