Minggu, 28 Juli 2019

Ilmu Apa yang Mesti Ditekuni untuk Kebahagiaan Manusia? (3)

4-12-2107

Ya, memang ada proses yang ditempuh. Memang ada yang instan, tetapi itu tidak akan berbuah ibrah dan pengalaman. Yang terpenting dalam hidup ini dapat mengalami, merasakan, dan berbuah hikmah. Dan tentu harusnya bisa untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (diri sendiri dan keluarga). Hasil yang diraih memang sesuai dengan proses yang ditempuh. Berusaha dan mau melakukannya dengan proses dan selanjutnya menunggu serta terus tidak berhenti dalam menjalaninya. Itu nasihat orang-orang yang mengaku beragama. 

Ya, itu biasanya yang ditempuh semua orang. Itu juga yang dijalankan dalam agama: sambil menunggu batas hidup diisi dengan aneka ikhtiar sambil pasrah atau ridha dengan ketentuan Allah yang diberikan kepada diri kita. Dan harus diyakini semua orang beragama, menanti masa tibanya saat yang tepat dan sempurna berdasarkan perspektif ketuhanan. Yang ditempuh seorang manusia adalah proses dan menanti hasil adalah bagian dari transendensi.


Ah, ternyata pagi beranjak siang. Siang terang, terik, menyengat kepala dan kulit. Tidak perlu berkeluh karena siang akan beralih senja; dan selanjutnya malam. Gulita dan gelap. Dingin dan sepi. Penantian memang siklus; berulang dan terus kembali lagi pada saat yang tepat. Siklus hidup dan kehidupan merupakan fase, babak, dan masa lalu. Ada yang penuh makna dan ada yang tidak sanggup beri makna. Memang potensi manusia berbeda dan nasib tidak pernah meleset. Setiap usaha manusia tidak lepas dari peran serta Sang Kuasa. Ya kembali kepada-Nya.

Saya tahu bahwa menunggu itu siklus alamiah. Ada kelahiran, perjalanan masa hidup, dan kematian. Di dunia: muncul lagi kelahiran, menjalani hidup dan kematian. Setiap fase memang siklus. Namun, yang tidak terjangkau panca-indera lahiriah ada gerak linier melewati fase demi fase hingga tiba pada akhir dari perjalanan. Rumitnya memahami: apakah jiwa beserta "tubuh" baru, atau sekadar jiwa yang bergerak? Ah, itu bukan bagian yang perlu ditelusuri. Cukup percaya dengan agama; yang diwariskan dari para Nabi kemudian pewarisnya yang berantai dari generasi demi generasi hingga tiba pada kita. Tentu rantai generasi ini yang patut dikaji: sahih dan otentik. Itu yang perlu diurai lagi. Dan, saya mesti belajar.

Benak pun tanya: belajar apalagi? Bukankah sudah sampai master? Bukankah dari sekolah dasar sampai pascasarjana banyak ilmu dan pengalaman yang didapatkan? Bukankah usia kian bertambah, yang berarti banyak dinamika hidup yang menyatu dengan jiwa dan raga dari waktu ke waktu? Lantas, belajar apalagi dan untuk apa?

Seorang cendekia abad 7 Masehi pernah berkata: dua pencari yang tidak pernah kenyang. Pencari ilmu dan harta. Apakah itu yang dirujuk? Apa hasil dari ilmu yang terhimpun atau yang disimpan pada memori? Adakah materi darinya untuk kehidupan; memenuhi kebutuhan dasar manusia? Ingat hidup bukan persoalan intelektual yang cerdas dan jiwa tercerahkan, tetapi ragawi pun mesti dipenuhi kebutuhannya. Ingatlah itu!

Ya, saya paham dengan ucapan benak. Dan itu yang membayang. Satu lagi yang belum terjawab: tujuan yang terpuncak dari belajar (studi) itu apa? Jika hanya intelektual dan selembar "kertas", tidak perlu menempuh sampai tertinggi. Cukup bisa baca, tulis, dan hitung. Tambah sedikit latih komunikasi dan gaul saja. Itu juga cukup untuk menjadi menjalani hidup sebagai manusia. Lalu, pelajari dan berlatih keras untuk bisnis atau bekali diri dalam kegiatan jasa-jasa yang menghasilkan materi (finansial). Itu juga cukup. Dan saya tertegun dengan nasihat benak tersebut. Ah, tampaknya memang benar. Menurut Anda? (ahmad sahidin)