Jumat, 19 Juli 2019

Resensi buku Akal dan Wahyu: Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat


"Akal dan Wahyu: Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat" adalah buku karya Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi. Buku ini diterbitkan Sadra Press tahun 2011 dengan tebal 301 halaman. Terdiri dari delapan bab. 

Kajian pada bab pertama meliputi definisi akal dan wahyu sebagai jalan memperoleh pengetahuan, hubungan agama dan akal, aliran rasionalisme, empirisme, fideisme, dan literalisme. 

Bab dua dan tiga tentang keberadaan akal sebagai sarana atau sumber, pandangan kaum sufi/urafa, penentangan kaum agama terhadap akal dari ajaran agama non Islam, kaum agamawan, dan lemahnya posisi akal.

Bab empat dan bab lima mengenai kaum muslim abad pertengahan yang mengutamakan akal atau rasionalisme seperti Mazhab Mutazilah dan filsuf Ibnu Rusyd dan Ibnu Thufail. Juga korelasi akal dan wahyu yang dikumandangkan para filsuf Islam. Dan kaum muslimin yang menentang rasionalisme seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud Zhahiri, Ibnu Taimiyah, Abdul Wahhab, dan kaum salaf.

Terkait dengan sikap kaum Muslimin atas akal dan penentangannya, pada Bab enam dibahas secara khusus aliran Akbariyah di kalangan Syiah Imamiyah yang berkonflik secara pemikiran dengan kalangan Ushuliyyah yang mengungsikan akal dalam memahami teks agama. Saya kira bagian ini cukup menarik karena memberi pemahaman pada pembaca bahwa dalam setiap mazhab ternyata ada dua pemikiran dan sikap dalam beragama; antara yang mementingkan teks harfiah dalam pelaksanaan agama dan ada golongan yang mementingkan penalaran atas teks agama sebelum dijalankan dalam hidup.

Bab tujuh tentang kaum sufi menilai akal dan memposisikan wahyu. Dan memang kaum sufi dalam beragama tidak menggunakan penalaran rasional, tetapi intuisi dan wahyu yang dipadukan. Kadang aspek wahyu berupa syariat diabaikan dalam praktek beragama dan laku praktik sufistik yang dominan seperti fana', malamatiyah, sukr, dan lainnya. 

Dalam buku ini juga disebutkan tidak semua sufi berkelakuan syathahat atau fana', tetapi ada kaum sufi yang masih mengutamakan syariat dalam menjalankan aktivitas kesufiannya. Yang menarik di buku ini kajian karamah tokoh sufi dan cara mengukur kebenarannya. 

Tentu tidak bisa diukur dengan rasio atau syariat, tetap hanya komunitas sufi dan intuisi sebagai ukurannya. Dalam hal ini, yang dipegang di tengah masyarakat adalah perilaku hidup saleh atau menerapkan akhlaq. Jika terlihat saleh dan berakhlaq maka secara sosial akan dianggap benar dalam beragama.

Bab terakhir (delapan) akal dalam perspektif Islam. Bahasannya meliputi ayat Alquran, riwayat hadis, peran wahyu dan peran akal bagi kehidupan manusia, dan tolok ukur dalam menilai baik dan buruk.

Bagian akhir ini meski kajiannya ringan dan normatif, tetapi penamaan judul bab saya kira kurang pas. Kalau melihat dari isinya, alangkah pas diberi judul akal dalam Alquran dan hadis. 
Sebab label Islam dalam sejarah peradaban Islam masuk pada khazanah pemikiran kaum sufi, literalis Akhbari dan Hanbali atau Dzahiri, serta kaum rasionalis Muslim seperti Mutazilah dan para filsuf.

Terakhir, saya kira buku ini cukup dapat mengantarkan para mahasiswa atau kaum Muslim untuk mengetahui pemikiran Islam. Sebagai pengantar untuk lebih dalam lagi masuk pada setiap khazanah ilmu-ilmu Islam yang sedikitnya telah diuraikan pada buku. 

Karena isinya bersifat umum, sehingga buku ini dalam setiap babnya tidak memberikan kedalaman pengetahuan. Hanya penggalan wacana, yang tentu dengan itu telah membuka wawasan pemikiran Islam. Sayangnya isu yang disajikan masih dalam tataran wacana klasik dan tidak menyentuh isu teologis kontemporer. Padahal ditulis oleh dua  cendekiawan yang hidup di zaman modern. Hanya itu yang bisa disajikan. Mohon maaf bila kurang detail. Terima kasih. *** (ahmad sahidin)