2-12-2017
Studi atau Ilmu atau pengetahuan APA yang mesti
ditekuni untuk meraih kebahagiaan lahir, batin, dan intelektual? Ini pertanyaan
yang mesti dicari jawabnya. Pertanyaan ini belum terkait dengan berapa persentase efek ekonomi (finansial) yang dihasilkan dari ilmu tersebut? Ini aspek luar dan bersifat praktis, tetapi cukup membuat manusia kelimpungan.
Saat saya kuliah di Pascasarjana
UIN SGD Bandung mulai timbul rasa kagum yang luar biasa kepada sosok Baginda
Rasulullah Saw. Saya kagum dan bangga dengan peran dan perubahan di masyarakat
Arab abad 6-7 Masehi oleh sosok Baginda Rasulullah Saw dalam waktu 23 tahun.
Karena itu, dari berbagai bacaan buku-buku tentang sejarah Rasulullah Saw maka saya
menetapkan pilihan tesis dengan studi Sirah Nabawiyah dan historiografi sebagai
upaya untuk menelusuri jejak dari catatan historis.
Ada yang menarik tentang pilihan Sirah Nabawiyah ini. Kemarin saat membuka catatan-catatan atas bacaan buku-buku setelah kuliah S1 yang tersimpan lama dan baru diketahui saat bongkar-bongkar buku-buku, ternyata saya sudah merancang studi Sirah Nabawiyah dengan tinjauan hermeneutika Wilhelm Dilthey tahun 2004. Sedangkan saya kuliah Pascasarjana UIN SGD Bandung tahun 2014 hingga 2016. Padahal saat masa kuliah Pascasarjana buku catatan itu tidak saya temukan.
Ada yang menarik tentang pilihan Sirah Nabawiyah ini. Kemarin saat membuka catatan-catatan atas bacaan buku-buku setelah kuliah S1 yang tersimpan lama dan baru diketahui saat bongkar-bongkar buku-buku, ternyata saya sudah merancang studi Sirah Nabawiyah dengan tinjauan hermeneutika Wilhelm Dilthey tahun 2004. Sedangkan saya kuliah Pascasarjana UIN SGD Bandung tahun 2014 hingga 2016. Padahal saat masa kuliah Pascasarjana buku catatan itu tidak saya temukan.
Saya mengira dalam studi
bahwa ranah intelektual tidak bisa lepas dari memori (yang pernah masuk dalam
otak). Meski tidak membuka catatan yang dirancang tahun 2004, ternyata muncul
secara tidak sadar dalam upaya pencarian topik untuk tesis. Jadi, kehidupan
masa kini atau rencana kerja dalam hidup tidak lepas dari kontribusi masa lalu
yang tersimpan dalam memori. Seperti google yang jika diketik satu kata maka
akan keluar yang dibutuhkan dari berbagai link situs maupun blog yang
menyajikan topik yang dicari oleh kita. Saya mengira demikian kerja otak kita:
menghimpun knowledge dan pengalaman, menyimpannya sebagai memori, dan kelak
akan keluar saat kita panggil dengan proses merenung atau berpikir.
Kini, setahun setelah lulus
Pascasarjana UIN Bandung, saya mulai merasa redup dalam studi Sirah Nabawiyah
dan historiografi. Yang menarik saya sekarang adalah studi filsafat Kuno hingga
Modern di Barat dan filsafat serta tasawuf di Dunia Islam.
Inginnya ditekuni
dan ditelaah secara mendalam. Hanya saja kembali pada aksiologi dan kemanfaatan
untuk kebutuhan dasar hidup dan dari sisi material tidak relevan. Malahan hanya
buang waktu dan tidak menghasilkan finansial jika dipelajari pun. Mungkin
kebahagiaan dan kepuasan intelektual semata yang didapatkan. Memang untuk level
ahli atau pakar akan berbuah hasil berupa finansial kala mengajar atau diundang
ceramah terkait dengan filsafat atau agama. Memang ada institusi pendidikan,
tetapi tidak banyak yang bisa menampung untuk kerja dan penghasilan pun kadang
hanya untuk memenuhi transportasi semata. Kebutuhan harian untuk makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, atau hiburan tidak terpenuhi dengan andalkan dari
dunia pendidikan. Mesti kuralang kuriling menawarkan jasa atau menjual
kemampuan yang seadanya. Pelik memang jika andalkan ilmu untuk hidup.
Doktrin agama Islam
menyatakan bahwa ilmu itu wajib dipelajari karena akan membawa manfaat pada
kehidupan manusia. Karena ilmu menjadi "cahaya" yang menerangi jalan
hidup sehingga mampu memilih dan memilah antara yang baik dan buruk; yang
pantas dan tidak pantas; dan memilih yang terpenting dari yang penting.
Nah, pada konteks hidup
sekarang ini bagaimana relevansi studi Sirah Nabawiyah, Historiografi,
Filsafat, Tasawuf, dan Ilmu-ilmu Islam dalam kehidupan sehari-hari, terutama
aspek material dan kebutuhan dasar hidup? Apakah bisa menjamin hidup manusia
lebih baik dan meraih bahagia secara material? Ini yang membuat saya termenung.
Kumahanya?
Apakah memang antara
kehidupan praktis dengan knowledge tidak ada relevansinya? Apakah saya salah
dalam memilih studi sehingga (ilmu yang dipelajari) tidak memiliki manfaat yang
berimplikasi pada kebutuhan material sehari-hari? Apakah knowledge itu beda
ranah dengan kehidupan manusia yang nyata?
Jika ditelusuri ternyata kehidupan manusia yang nyata pun membutuhkan knowledge sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalankan hidup. Hampir semua aspek praktis dalam hidup ada knowledge. Motor adalah kendaraan dan praktis untuk memudahkan transportasi. Jika tidak mempunyai “knowledge” dalam mengoperasikan motor pasti tidak akan bisa dikendarai dan tidak pula dapat mengantarkan pada tempat yang dituju. Namun untuk yang ini, knowledge dalam mengoperasikan motor tidak perlu kuliah sampai lima tahun atau belajar dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Cukup bisa komunikasi dengan orang yang mengerti motor dan berlatih mengoperasikan motor.
Jika ditelusuri ternyata kehidupan manusia yang nyata pun membutuhkan knowledge sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalankan hidup. Hampir semua aspek praktis dalam hidup ada knowledge. Motor adalah kendaraan dan praktis untuk memudahkan transportasi. Jika tidak mempunyai “knowledge” dalam mengoperasikan motor pasti tidak akan bisa dikendarai dan tidak pula dapat mengantarkan pada tempat yang dituju. Namun untuk yang ini, knowledge dalam mengoperasikan motor tidak perlu kuliah sampai lima tahun atau belajar dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Cukup bisa komunikasi dengan orang yang mengerti motor dan berlatih mengoperasikan motor.
Namun, bagaimana dengan ilmu
yang saya tekuni? Ah, ini pelik. Karena saya sendiri merasakan implikasi ilmu
teoritis (intelektualitas) kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari,
terutama untuk kebutuhan dasar manusia yang sehari-hari. Bagaimana menurut
Anda? Cag… [ahmad sahidin]