Jumat, 26 Juli 2019

Ilmu Apa yang Mesti Ditekuni untuk Kebahagiaan Manusia? (1)

2-12-2017

Studi atau Ilmu atau pengetahuan APA yang mesti ditekuni untuk meraih kebahagiaan lahir, batin, dan intelektual? Ini pertanyaan yang mesti dicari jawabnya. Pertanyaan ini belum terkait dengan berapa persentase efek ekonomi (finansial) yang dihasilkan dari ilmu tersebut? Ini aspek luar dan bersifat praktis, tetapi cukup membuat manusia kelimpungan.

Saat saya kuliah di Pascasarjana UIN SGD Bandung mulai timbul rasa kagum yang luar biasa kepada sosok Baginda Rasulullah Saw. Saya kagum dan bangga dengan peran dan perubahan di masyarakat Arab abad 6-7 Masehi oleh sosok Baginda Rasulullah Saw dalam waktu 23 tahun. Karena itu, dari berbagai bacaan buku-buku tentang sejarah Rasulullah Saw maka saya menetapkan pilihan tesis dengan studi Sirah Nabawiyah dan historiografi sebagai upaya untuk menelusuri jejak dari catatan historis.
Ada yang menarik tentang pilihan Sirah Nabawiyah ini. Kemarin saat membuka catatan-catatan atas bacaan buku-buku setelah kuliah S1 yang tersimpan lama dan baru diketahui saat bongkar-bongkar buku-buku, ternyata saya sudah merancang studi Sirah Nabawiyah dengan tinjauan hermeneutika Wilhelm Dilthey tahun 2004. Sedangkan saya kuliah Pascasarjana UIN SGD Bandung tahun 2014 hingga 2016. Padahal saat masa kuliah Pascasarjana buku catatan itu tidak saya temukan. 

Saya mengira dalam studi bahwa ranah intelektual tidak bisa lepas dari memori (yang pernah masuk dalam otak). Meski tidak membuka catatan yang dirancang tahun 2004, ternyata muncul secara tidak sadar dalam upaya pencarian topik untuk tesis. Jadi, kehidupan masa kini atau rencana kerja dalam hidup tidak lepas dari kontribusi masa lalu yang tersimpan dalam memori. Seperti google yang jika diketik satu kata maka akan keluar yang dibutuhkan dari berbagai link situs maupun blog yang menyajikan topik yang dicari oleh kita. Saya mengira demikian kerja otak kita: menghimpun knowledge dan pengalaman, menyimpannya sebagai memori, dan kelak akan keluar saat kita panggil dengan proses merenung atau berpikir.

Kini, setahun setelah lulus Pascasarjana UIN Bandung, saya mulai merasa redup dalam studi Sirah Nabawiyah dan historiografi. Yang menarik saya sekarang adalah studi filsafat Kuno hingga Modern di Barat dan filsafat serta tasawuf di Dunia Islam.

Inginnya ditekuni dan ditelaah secara mendalam. Hanya saja kembali pada aksiologi dan kemanfaatan untuk kebutuhan dasar hidup dan dari sisi material tidak relevan. Malahan hanya buang waktu dan tidak menghasilkan finansial jika dipelajari pun. Mungkin kebahagiaan dan kepuasan intelektual semata yang didapatkan. Memang untuk level ahli atau pakar akan berbuah hasil berupa finansial kala mengajar atau diundang ceramah terkait dengan filsafat atau agama. Memang ada institusi pendidikan, tetapi tidak banyak yang bisa menampung untuk kerja dan penghasilan pun kadang hanya untuk memenuhi transportasi semata. Kebutuhan harian untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, atau hiburan tidak terpenuhi dengan andalkan dari dunia pendidikan. Mesti kuralang kuriling menawarkan jasa atau menjual kemampuan yang seadanya. Pelik memang jika andalkan ilmu untuk hidup.

Doktrin agama Islam menyatakan bahwa ilmu itu wajib dipelajari karena akan membawa manfaat pada kehidupan manusia. Karena ilmu menjadi "cahaya" yang menerangi jalan hidup sehingga mampu memilih dan memilah antara yang baik dan buruk; yang pantas dan tidak pantas; dan memilih yang terpenting dari yang penting.

Nah, pada konteks hidup sekarang ini bagaimana relevansi studi Sirah Nabawiyah, Historiografi, Filsafat, Tasawuf, dan Ilmu-ilmu Islam dalam kehidupan sehari-hari, terutama aspek material dan kebutuhan dasar hidup? Apakah bisa menjamin hidup manusia lebih baik dan meraih bahagia secara material? Ini yang membuat saya termenung. Kumahanya?

Apakah memang antara kehidupan praktis dengan knowledge tidak ada relevansinya? Apakah saya salah dalam memilih studi sehingga (ilmu yang dipelajari) tidak memiliki manfaat yang berimplikasi pada kebutuhan material sehari-hari? Apakah knowledge itu beda ranah dengan kehidupan manusia yang nyata? 

Jika ditelusuri ternyata kehidupan manusia yang nyata pun membutuhkan knowledge sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalankan hidup. Hampir semua aspek praktis dalam hidup ada knowledge. Motor adalah kendaraan dan praktis untuk memudahkan transportasi. Jika tidak mempunyai “knowledge” dalam mengoperasikan motor pasti tidak akan bisa dikendarai dan tidak pula dapat mengantarkan pada tempat yang dituju. Namun untuk yang ini, knowledge dalam mengoperasikan motor tidak perlu kuliah sampai lima tahun atau belajar dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Cukup bisa komunikasi dengan orang yang mengerti motor dan berlatih mengoperasikan motor.

Namun, bagaimana dengan ilmu yang saya tekuni? Ah, ini pelik. Karena saya sendiri merasakan implikasi ilmu teoritis (intelektualitas) kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari, terutama untuk kebutuhan dasar manusia yang sehari-hari. Bagaimana menurut Anda? Cag… [ahmad sahidin]