Selasa, 01 Agustus 2017

Kehidupan Beragama Islam di Masyarakat Sunda


Catatan Ringkas[1]

Kehidupan beragama Islam di masyarakat Sunda pada masa pergerakan nasional periode 1920-1945 tidak seperti periode awal Islam masuk. Sebagaimana diketahui bahwa bentuk dan pengamalan beragama masyarakat Sunda dekat dengan budaya dan seni. Umat Islam di Sunda masih memandang figur ketokohan seperti Sunan Gunung Jati dan penyebar Islam lainnya seperti penghulu-penghulu dan kiai-kiai ternama. Sehingga mereka yang dijadikan acuan dalam berbicara pengamalan agama dan membahas sejarah Islam di Tatar Sunda. Unsur tokoh diakui sebagai faktor utama dalam perkembangan dan penyebaran agama Islam di Tatar Sunda. Selanjutnya organisasi di masa pra dan masa Kemerdekaan RI juga berperan dalam pengembangan pemahaman agama Islam di Tatar Sunda.

Memang sejarah mengisahkan beberapa bupati terlibat dalam pengembangan agama Islam dengan memberi bantuan untuk sarana pendidikan berupa tanah wakaf yang diperuntukan sebagai pesantren. Dalem Haji (R.A.A Wiranatakusumah V) cukup berperan dalam menyebarkan agama Islam dengan karya tulis yang berjudul Lalampahan Keur di Makkah, Riwajat Kangjeng Nabi Muhammad saw, Tafsir surah Al-Baqarah, dan lainnya. Penghulu Haji Hasan Moestapa menulis syair atau danding-danding yang bertemakan ajaran-ajaran agama Islam dan menulis tafsir surah Al-Baqarah dalam bahasa Sunda. Karena itu, sebelum masa pergerakan nasional, corak agama Islam yang berkembang di masyarakat Tatar Sunda berbentuk Islam kultural, yang menyatu dengan kebudayaan lokal Sunda.

Pada masa pergerakan nasional, kehidupan agama Islam di Tatar Sunda terpengaruh semangat kebangsaan sehingga muncul organisasi seperti Persatuan Islam tahun 1923. Organisasi ini didirikan oleh Haji Zamzam, Ahmad Hasan, dan Muhammad Yunus di Bandung. Ketiganya bukan pituin urang Sunda, tetapi berasal dari luar Jawa yang tinggal lama di Bandung.[2] Sebelumnya, SI sudah beroperasi di Bandung sejak tahun 1913 dan kongres SI pertama tahun 1916 diselenggarakan di Bandung.

Pada tanggal 20 Juli 1913, orang Sunda yang belajar di STOVIA mengadakan musyawarah hingga terbentuk organisasi Paguyuban Pasundan.[3] Meski berbentuk organisasi kedaerahan (etnis), tetapi para pengurusnya sebagian besar beragama Islam.  

Peran umat Islam di pesantren-pesantren di Jawa Barat tidak muncul karena telah berdiri sekolah yang dibuat Belanda seperti Sekolah Rakyat. Namun, dalam perlawanan menentang kezaliman pernah terjadi di Lebak yang dipimpin seorang kiai bersama santri-santri menyerang para penguasa yang menjadi kepanjangan tangan dari penjajah Belanda. Bupati Lebak R. Hardiwinangun dibunuh dan digantikan oleh K.H.Hasan. Termasuk Bupati Pandeglang Djoehana melarikan diri karena diserang orang-orang Islam.[4] 

Peran penghulu pada masa ini cukup kentara dalam setiap kegiatan keagamaan Islam. Penghulu menentukan dan menyebarkan informasi penentuan puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Upacara akikah (tujuh hari kelahiran) dari keluarga bupati langsung ditangani oleh penghulu dengan membacakan doa-doa.[5]

Memang tidak dipungkiri terdapat orang Sunda yang berkedudukan sebagai bupati yang tidak senang dengan gerakan SI dan anti gerakan nasional. Bupati yang anti ini berkedudukan di Garut dengan nama R.T. Soeria Kartalegawa. Bupati ini sendiri aktif di PEB (Politiek Economische Bond) yang menentang pergerakan nasional.[6] Besar kemungkinan bupati ini merasa khawatir kehilangan jabatan dan ingin mendapatkan kekuasaan penuh dari kolonial Belanda sehingga melakukan kegiatan yang mendukung penjajah. Terbukti tahun 1946 memproklamirkan Partai Rakyat Pasundan yang hendak mengisi pemerintahan di Jawa Barat menjadi sebuah negara/pemerintahan tersendiri.[7]    

Karena itu, kehidupan agama Islam di masyarakat Sunda pada masa pergerakan nasional mengalami perubahan dengan munculnya gerakan organisasi Islam, berupaya untuk bebas dari kezaliman atau penjajah, dan berorientasi pada kebangsaan.[]

AHMAD SAHIDIN
Mahasiswa Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung



[1] Catatan untuk bahan Diskusi Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di Masyarakat Sunda; yang diasuh oleh Prof A.Sobana di Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung.
[2] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) halaman 95-104.
[3] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015) halaman 44-45.
[4] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015) halaman 64.
[5] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015) halaman 28-29.
[6] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015) halaman 54-55.
[7] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015) halaman 64-72.