Catatan Ringkas[1]
Kehidupan beragama Islam di masyarakat Sunda pada masa pergerakan nasional periode 1920-1945
tidak seperti periode awal Islam masuk. Sebagaimana diketahui bahwa bentuk dan
pengamalan beragama masyarakat Sunda dekat dengan budaya dan seni. Umat Islam
di Sunda masih memandang figur ketokohan seperti Sunan Gunung Jati dan penyebar
Islam lainnya seperti penghulu-penghulu dan kiai-kiai ternama. Sehingga mereka yang dijadikan acuan dalam berbicara pengamalan agama dan membahas sejarah Islam di Tatar Sunda. Unsur tokoh diakui sebagai faktor utama dalam perkembangan dan penyebaran agama Islam di Tatar Sunda. Selanjutnya organisasi di masa pra dan masa Kemerdekaan RI juga berperan dalam pengembangan pemahaman agama Islam di Tatar Sunda.
Memang sejarah mengisahkan beberapa bupati terlibat
dalam pengembangan agama Islam dengan memberi bantuan untuk sarana pendidikan
berupa tanah wakaf yang diperuntukan sebagai pesantren. Dalem Haji (R.A.A
Wiranatakusumah V) cukup berperan dalam menyebarkan agama Islam dengan karya
tulis yang berjudul Lalampahan Keur di Makkah, Riwajat Kangjeng Nabi
Muhammad saw, Tafsir surah Al-Baqarah, dan lainnya. Penghulu Haji Hasan
Moestapa menulis syair atau danding-danding yang bertemakan ajaran-ajaran agama
Islam dan menulis tafsir surah Al-Baqarah dalam bahasa Sunda. Karena itu,
sebelum masa pergerakan nasional, corak agama Islam yang berkembang di masyarakat
Tatar Sunda berbentuk Islam kultural, yang menyatu dengan kebudayaan lokal
Sunda.
Pada masa
pergerakan nasional, kehidupan agama Islam di Tatar Sunda terpengaruh semangat
kebangsaan sehingga muncul organisasi seperti Persatuan Islam tahun 1923.
Organisasi ini didirikan oleh Haji Zamzam, Ahmad Hasan, dan Muhammad Yunus di
Bandung. Ketiganya bukan pituin urang Sunda, tetapi berasal dari luar Jawa yang
tinggal lama di Bandung.[2]
Sebelumnya, SI sudah beroperasi di Bandung sejak tahun 1913 dan kongres SI
pertama tahun 1916 diselenggarakan di Bandung.
Pada tanggal
20 Juli 1913, orang Sunda yang belajar di STOVIA mengadakan musyawarah hingga
terbentuk organisasi Paguyuban Pasundan.[3]
Meski berbentuk organisasi kedaerahan (etnis), tetapi para pengurusnya sebagian
besar beragama Islam.
Peran umat
Islam di pesantren-pesantren di Jawa Barat tidak muncul karena telah berdiri
sekolah yang dibuat Belanda seperti Sekolah Rakyat. Namun, dalam
perlawanan menentang kezaliman pernah terjadi di Lebak yang dipimpin seorang
kiai bersama santri-santri menyerang para penguasa yang menjadi kepanjangan
tangan dari penjajah Belanda. Bupati Lebak R. Hardiwinangun dibunuh dan
digantikan oleh K.H.Hasan. Termasuk Bupati Pandeglang Djoehana melarikan diri
karena diserang orang-orang Islam.[4]
Peran penghulu
pada masa ini cukup kentara dalam setiap kegiatan keagamaan Islam. Penghulu
menentukan dan menyebarkan informasi penentuan puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul
Fitri. Upacara akikah (tujuh hari kelahiran) dari keluarga bupati langsung ditangani
oleh penghulu dengan membacakan doa-doa.[5]
Memang tidak
dipungkiri terdapat orang Sunda yang berkedudukan sebagai bupati yang tidak
senang dengan gerakan SI dan anti gerakan nasional. Bupati yang anti ini
berkedudukan di Garut dengan nama R.T. Soeria Kartalegawa. Bupati ini sendiri
aktif di PEB (Politiek Economische Bond) yang menentang pergerakan nasional.[6]
Besar kemungkinan bupati ini merasa khawatir kehilangan jabatan dan ingin
mendapatkan kekuasaan penuh dari kolonial Belanda sehingga melakukan kegiatan
yang mendukung penjajah. Terbukti tahun 1946 memproklamirkan Partai Rakyat
Pasundan yang hendak mengisi pemerintahan di Jawa Barat menjadi sebuah negara/pemerintahan
tersendiri.[7]
Karena itu,
kehidupan agama Islam di masyarakat Sunda pada masa pergerakan nasional
mengalami perubahan dengan munculnya gerakan organisasi Islam, berupaya untuk bebas
dari kezaliman atau penjajah, dan berorientasi pada kebangsaan.[]
AHMAD SAHIDIN
Mahasiswa Program Studi Sejarah dan
Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung
[1]
Catatan untuk bahan Diskusi Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di Masyarakat Sunda;
yang diasuh oleh Prof A.Sobana di Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana
UIN SGD Bandung.
[2] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di
Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) halaman 95-104.
[3] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950:
Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015)
halaman 44-45.
[4] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950:
Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015)
halaman 64.
[5] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950:
Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015)
halaman 28-29.
[6] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950:
Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015)
halaman 54-55.
[7] Agus Mulyana, Negara Pasundan 1947-1950:
Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (Jogyakarta: Ombak, 2015)
halaman 64-72.