Sabtu, 29 Juli 2023

Kajian Islam: Apa dan Bagaimana?

Berkaitan dengan kajian Islam, khususnya makna dari studi Islam, bahwa sebagian peneliti memahami Islam Studies sebagai agenda Islamisasi pengetahuan, padahal bukan. Studi Islam merupakan upaya untuk memahami Islam dengan lebih komprehensif dengan berbagai pendekatan. Orang-orang yang mengkajinya akan memahami Islam dan sedikitnya dapat mengurangi citra negatif yang kerapkali disematkan pada Islam ketika terjadinya teror dan gerakan radikalisme. 

Berikut ini beberapa bidang kajian dalam studi Islam yang menjadi disiplin ilmu tersendiri di Barat: 

Islamic Studies

Islamic studies bermakna kajian-kajian Islam dan orang Barat yang menekuninya disebut Islamicist. Istilah “Islamicist” memang lahir dari kalangan Barat untuk menyebut pengkaji Islam yang berasal dari non Muslim. Memang di Barat yang dikaji baru sebatas aspek historis dan kebudayaan serta perilaku kaum Muslim dalam beragama. Berbeda dengan di universitas yang berada dalam naungan negeri Muslim, kajian Islam lebih dititikberatkan pada ‘menambah’ keyakinan sekaligus mencerahkan atas berbagai hal yang diyakininya. Islam, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar ilmu atau bidang kajian, tetapi bagian dari keyakinan yang dianut dengan kesadaran penuh bahwa Islam sebagai agama yang terbaik. 

Comparative Religion

Kajian perbandingan agama kadang dianggap sebuah studi untuk menegaskan kebenaran Islam. Padahal, studi agama-agama atau perbandingan agama, lebih luas dari itu. Salah satunya untuk membuka khazanah orang-orang beragama atau ilmuwan terhadap agama-agama besar dunia. Dengan studi ini harapannya akan lahir orang-orang yang tidak  berpikir sekterian atau mengklaim yang paling benar. Proses kajian menggunakan studi historis cukup ampuh melihat ‘benang merah’ dari ajaran-ajaran atau agama Ibrahimik: Yahudi, Kristen, dan Islam; yang pada dasarnya satu sumber atau berasal dari Tuhan yang sama. Di sinilah makna satu keyakinan atau monoteis secara substantive. Namun, secara historis dan ritualisme berbeda. Wawasan pluralisme agama menjadi acuan untuk memahami studi agama-agama. 

Islamic Economic

Definisi ekonomi Islam hingga kini memang belum ada kesepakatan. Ada yang bilang ekonomi syariah, atau ekonomi profetik. Namun, yang jelas dari gagasan tersebut yang dipersoalkan hanyalah aturan main atau etika dalam urusan ekonomi. Memang ada nilai plus, salah satunya bagi orang Muslim dengan mengikuti aturan yang digariskan hukum Islam terdapat pahala dari yang dilakukannya. Selain keuntungan dunia, juga akhirat. 

Islamic philosophy

Filsafat Islam berbeda dengan filsafat Yunani atau Barat. Bedanya hanya dari sentuhan nash-nash Ilahi dalam upaya memahami hikmah dan nilai-nilai yang terkandung dibalik setiap teks suci. Sejarah Islam periode klasik melahirkan kajian teologis kemudian kajian filosofis Islam pada abad pertengahan. Kedua kajian ini beda dari segi metodologi/epistemology dan aksiologi. Teologi berdasarkan jadali dan bayani (dialektika dan retorika) yang diperuntukan sebagai pembelaan atas keyakinan atau mazhab yang diikutinya. Sedangkan filsafat Islam yang digeluti Ibnu Sina, Al-Kindi, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, atau Mulla Shadra dan Suhrawardi Al-Maqtul, menggunakan nalar/akal (burhani) dan pembuktiannya untuk mengungkap fenomena dibalik semesta dan memahami petunjuk Tuhan, baik yang tersirat maupun tersurat. 

Al-Quran dan Sunnah memang bagian dari objek kajian bagi sebagian filsuf Muslim yang coba disandingkan dengan fenomena semesta. Kajian Ibnu Thufail dalam kitab Hayy bin Yaqzhan menunjukkan bagaimana hubungan akal dan wahyu selaras dan dapat didamaikan dalam satu wacana filosofis sehingga menemukan titik pencarian yang ujungnya kepada Tuhan. Di sinilah gagasan integrasi filsafat dan agama kembali didegungkan. Sayangnya, gagasan ini tidak ada dalam khazanah filsafat Yunani atau sejarah pemikiran Barat karena kalangan agama dan ilmuwan tidak menemukan titik kesamaan dalam sumber. 

Interpretation

Tafsir pada periode Islam klasik memang tidak jauh dengan penjelasan yang berasal dari hadis, riwayat, asbabun nuzul, dan takwil dari para sahabat dan keluarga Nabi. Tafsir yang lebih kontekstual atau menjawab tantangan zaman atau kehidupan masa sekarang belum banyak dikenal. Padahal, dari tujuan turunnya wahyu sebagai pedoman. Jika ini kita pegang maka penafsiran Quran yang bersifat kontekstual dan mampu menjawab zaman serta berorientasi masa depan perlu diperhatikan. Sekarang ini sudah mulai ada tafsir quran yang kontekstual, seperti Tafsir Al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab, Tafsir min Wahyu Quran karya Muhammad Husain Fadhlullah, Tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh, Tafsir Kebahagiaan dan Al-Ma’tsur karya Jalaluddin Rakhmat yang kajiannya tematik. 

Quranic Studies

Nasikh mansukh memang bagian dari kajian Quran atau ulumul-Quran. Ulama atau mufasir terdahulu seperti Ibnu Katsir atau Thabari masih meyakini adanya nasikh mansukh dalam Al-Quran. Namun, bagi sebagian ilmuwan Muslim modern, seperti Muhammad Syahrur, Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, Muhammad Husain Thabathabai, tidak terlu diindahkan karena jika diakui maka jumlah ayat  sudah berkurang. Pertanyaan yang muncul: untuk apa ayat-ayat yang di-mansukh tersebut masih ada dalam mushaf Quran; kalau isi atau fungsinya sudah dibatalkan? Nah, bagi para ilmuwan Muslim modern, makna nasikh mansukh bukan berarti menghilangkan atau menghapus, tetapi menyimpannya untuk kemudian ditafsirkan ulang dengan lebih kontekstual. Dengan begitu maka fungsi Quran tetap sebagai pedoman yang berlaku sepanjang zaman. 

Quran and Tradition

Sumber Islam yang kuat memang Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah. Semua ajaran dan aturan kehidupan beragama bagi umat Islam tidak boleh keluar dari keduanya. Namun, aspek interpretasi dan pemahaman atas sumber keduanya pada kalangan umat Islam terjadi perbedaan yang kemudian lahir mazhab dan aliran; yang satu sama lain berbeda. Karena itu, kalau dibilang bahwa umat Islam berpedoman langsung, tampaknya tidak karena kalau dilacak pada dasarnya menjalankan pedoman yang berasal atau hasil tafsiran dari mazhab dan aliran atau tokoh yang dianutnya. 

Dalam hal inilah yang kemudian dikritisi kalangan Muslim pengikut mazhab Ahlulbait yang menyatakan bahwa tafsir dan pemahaman yang otentik dalam beragama atau mengambil pedoman dalam beribadah atau hidup harus mengambil dari keluarga Nabi (Ahlulbait). Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw bahwa dua pusaka yang ditinggalkan nabi—dengan merujuk pada hadis-hadis mutawatir—adalah kitabullah wa itrati ahlibait (Quran dan keluarga Nabi). Mereka menyebutnya hadis tsaqalain. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua pu-saka berharga untuk kalian; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan  keduanya  tidak  akan  terpisah  hingga  menjumpaiku  di  telaga (kelak pada Hari Kiamat).” Hadis ini terdapat dalam  kitab Shahih Muslim; Jilid 7:122, Sunan Ad-Darimi; Jilid 2:432, Musnad Ahmad; Jilid 3:14, 17, 26; Jilid 4:371;  Jilid. 5:182,189, dan Mustadrak Al-Hakim; Jilid. 3:109, 147, 533; dan lainnya. 

Lalu, kenapa yang lebih terkenal yang menyebutkan Quran dan Sunnah? Perlu diriset lagi yuk! Mari kita belajar lagi di kampus yang terbuka dengan kajian kritis dan akademik! *** (ahmad sahidin)