MENURUT Abbas Mahmout al-Akkad dalam buku, “Fathimah Zahra:
Ibu Para Pahlawan” (Jakarta: PT Bulan Bintang 1976) bahwa Sayyidah Fathimah
adalah puteri bungsu dari pasangan Muhammad Bin Abdullah dan Khadijah binti
Khuwailid. Sayyidah Fathimah adalah satu-satunya puteri Nabi Muhammad SAW yang
diberi umur cukup panjang. Dari ayahnya nama Sayyidah Fathimah ditambahkan
Az-Zahra.
Sayyidah Fathimah dilahirkan pada tahun kelima kenabian. Sejak masa kanak-kanak ia telah memahami
bahwa keluarganya serang mendapatkan teror dari kaum musyrikin. Sayyidah Fathimah
sejak masih kecil oleh ayahnya sering dibawa bepergian.
Suatu hari Rasulullah
sedang sujud di Masjidil Haram, saat itu beberapa orang musyrik datang dan
melemparkan bangkai kambing ke arah punggung Nabi. Kemudian dengan cepat
Sayyidah Fathimah menyingkirkan bangkai kambing yang menimpa ayahnya itu.
Ketika itu juga Nabi langsung bermunajat, “Ya Allah, engkau yang akan
menghadapi para pemuka Quraisy. Engkaulah yang akan menghadapi Abu Jahal Bin
Hisyam, Utbah Bin Rabiah, Syaibah Bin Rabiah, Uqbah Bin Abi Muith dan Ubay Bin
Khalaf ” (HR.Muslim).
Itulah salah satu bentuk gangguan mereka. Apalagi setelah
Khadijah wafat gangguan makin banyak datang dari sana-sini. Karena itu, setelah
wafat Khadijah, Rasulullah jarang di rumah dan Sayyidah Fathimah pun sering
ditinggal sendirian. Namun itu tidak membuatnya resah maupun gelisah. Ia tahu
bahwa ayahnya itu seorang Rasulullah yang mengemban tugas ilahiyah.
Ketika Sayyidah Fathimah Az-Zahra beranjak dewasa banyak
ikhwan yang ingin melamarnya. Umar Bin Khatab dan Abu Bakar serta para sahabat
lainnya pun termasuk mereka yang lamarannya ditolak Rasulullah. Tidak sembarang
orang berhak untuk menjhadi suami puteri Rasulullah. Sebab keluarga Ahlulbayt
Nabi terjaga dan terpelihara dari kekeliruan. Inilah yang Allah SWT firmankan
dalam Surat Al-Ahzab ayat 33, sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahlul bayt, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Maka sudah
sepantasnya jika yang menjadi pendamping Sayyidah Fathimah Az-Zahra Binti
Rasulullah adalah orang yang berilmu, shaleh, bijak dan setingkat Ahlulbayt
Nabi. Siapakah ikhwannya? Dialah seorang anak yang terdidik sejak belia di
bawah bimbingan Rasulullah. Dialah seorang ikhwan yang akan menjadi pewaris
ilmu dan hikmah Rasulullah. Dialah Ali Bin Abi Thalib. Dialah yang kemudian
menjadi pilihan Rasulullah untuk membawa bahtera keluarga puteri Nabi ke tengah
lautan hidup.
Pada satu riwayat, diceritakan Ali datang kepada istrinya
untuk memberitahu bahwa Rasulullah telah datang dari peperangan bersamanya
dengan membawa harta ghanimah dan tawanan. Ali berkata kepadanya, “Hai istriku,
aku lelah. Ayahmu membawa tawanan dan mintalah salah seorang di antara mereka
untuk menjadi pelayanmu. Bukankah engkau teramat berat bekerja sendirian?”
Sayyidah Fathimah Az-Zahra tersenyum. Walau pun saat itu
tengah berada dalam keadaan letih karena menggiling gandum, ia pun berangkat
juga. Saat tahu bahwa puterinya datang, Rasulullah langsung bertanya, “Hai
anakku, ada apa?”
”Aku hanya ingin menyampaikan salam atas dirimu ayah,”
jawabnya. Ia berdiri sejenak dan kemudian kembali lagi ke rumah. Sesampainya di
rumah, Sayyidah Fathimah Az-Zahra bercerita kepada suaminya bahwa dirinya malu
untuk mengutarakan maksudnya kepada ayahnya itu.
Sayyidah Fathimah dibarengi suaminya menghadap Rasulullah saw. Ali, suami Sayyidah Fathimah, mengungkapkan maksud kedatangannya. Alangkah
kagetnya permintaan kedua orang itu ditolaknya.
Rasulullah berkata,”Tidak, demi
Allah. Aku tidak akan memberi kalian dengan membiarkan ahlussuffah melipat
perutnya. Aku akan membagikan ghanimah dan meminta tebusan atas para tawanan ini.
Kemudian hasilnya akan kuserahkan kepada ahlussuffah dan kaum mustadhafin yang
keadaannya lebih kurang dari aku dan kalian.”
Mereka kemudian pergi. Rasulullah memang merasakan hatinya
tidak tega berbuat seperti demikian. Terlebih kepada anaknya sendiri. Karena
perasaannya tetap terpaut kepada puterinya, maka Nabi Muhammad SAW pergi ke
rumah Fathimah dan menghampirinya di dekat pintu seraya berkata, “Maukah aku
beritahukan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta?”
“Tentu, ya Rasulullah,” jawab mereka serempak. Kemudian
Rasulullah berkata, “Ada beberapa kalimat yang diajarkan Jibril, yaitu membaca
tasbih 10 kali, tahmid 10 kali, dan takbir 10 kali tiap selesai shalat. Jika
kamu beranjak hendak tidur, bacalah masing-masing 33 kali”(HR.Muslim-Bukhari).
Sebagai seorang perempuan, Sayyidah Fathimah Az-Zahra secara
mental tidak jauh berbeda dengan akhwat lainnya. Terbukti ketika suatu hari
tersiar kabar bahwa suaminya hendak menikah lagi dengan perempuan lain,
Sayyidah Fathimah merasa sakit hati dan kemudian berdiam diri dan tidak mau
berbicara. Atas fenomena ini ayahnya, Muhammad SAW pergi ke Masjid seraya
berkata kepada jamaah, “Sesungguhnya Bani Hisyam Ibnul Mughirah meminta izin
kepadaku untuk menikahkan puterinya dengan menantuku, Ali. Aku tidak akan mengizinkan
mereka. Aku tidak akan mengizinkannya kecuali putra Abu Thalib itu menceraikan
puteriku terlebih dahulu. Aku merasakan sakit dan kecemasan yang dialami
puteriku. Sungguh ini ujian dari Allah yang hendak menguji keimanannya.”
Setelah itu dikabarkan Ali mendatangi istrinya yang berdiam
murung. Ali mendekati dan duduk disampingnya. Ali tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Tapi tiba-tiba Sayyidah Fathimah menangis dan Ali tidak bisa
menahan air matanya yang mulai membasahi pipinya. Saat itu juga Ali meminta
maaf atas isu-isu yang beredar menyangkut dirinya dan keluarga Bani Hisyam.
“Hai Fathimah, aku telah melakukan kesalahan menyangkut
hakmu. Maafkan aku,” ujar Ali yang kemudian mencium jemari Sayyidah Fathimah.
Lalu Ali pun menceritakan penolakan Rasulullah perihal permintaan Bani Hisyam
yang meminta izin kepadanya atas keinginan untuk menikahkan Ali dengan puteri
mereka. Akhirnya, kedua sudut mata Sayyidah Fathimah tidak henti-hentinya
mengalir. Sayyidah Fathimah bangkit, berwudhu dan kemudian sujud syukur kepada
Allah atas terselesaikannya masalah. Ia bersyukur karena prahara dan perceraian
yang akan mengancam keutuhan keluarganya telah sirna. Hilang dan berganti
dengan rasa cinta dan kebahagiaan yang menenangkan hidup. Dari kebahagiaan itu
kemudian terlahir dua putra shaleh yang begitu dicintai Rasulullah. Mereka itu
adalah Hasan dan Husein. Berkenaan dengan lahirnya mereka, Rasulullah sebagai
kakeknya bersabda, “Keduanya merupakan anakku dan anak puteriku. Ya Allah
sungguh aku mencintainya. Karenanya cintailah keduanya dan cintai pula yang
mencintai keduanya” (HR. Tirmidzi).
Tahun demi tahun
beganti tahun. Sampailah pada masa yang memilukan keluarga Nabi, yaitu
ketika sakit keras yang menjadi tanda tibanya masa akhir hidup Rasulullah. Dari
salah seorang istri Nabi, yaitu Aisyah Binti Abu Bakar berkata, seluruh istri
Nabi hadir.
Tiba-tiba datanglah Sayyidah Fathimah. Dia berjalan persis seperti
berjalannya Rasulullah. Tatkala melihat puterinya datang, Rasulullah langsung
berucap, selamat datang puteriku. Kemudian beliau menyuruhnya untuk duduk
disampingnya dan mendekatkan telinga kepadanya. Pada bisikan pertama Fathimah
menangis tersedu-sedu. Kemudian pada bisikan kedua ia tertawa. Namun ketika
ditanyakan perihal apa yang dibisikan ayahnya, Fathimah berkata, aku tidak mau
menyebarkan rahasia Rasulullah.
Rahasia ini kemudian ditanyakan kembali pada
Sayyidah Fathimah. Ia memberitahu bahwa pada bisikan pertama Rasulullah
mengkabarkan bahwa malaikat maut telah tiba. Itulah sebabnya Fathimah menangis
karena sebentar lagi ia menjadi yatim-piatu. Pada bisikan kedua, ayahnya
memberitahukan bahwa Fathimah adalah muslimah pertama yang akan bertemu
dengannya kelak di akhirat. Inilah yang membuatnya tertawa.
Selanjutnya, masih menurut Aisyah, bahwa selang beberapa jam
Rasulullah SAW mulai menutupkan matanya dan wafat dengan wajah berseri nan
cerah. Saat tahu bahwa ayahnya telah tiada, Sayyidah Fathimah menangis dan
berlari ke luar rumah seraya menutupkan kain menjadi cadar yang menutup
wajahnya.
Setelah ayahnya wafat, Fathimah mengalami sakit berat. Kian
hari sakitnya makin parah dan akhirnya, puteri Rasulullah ini pada malam
Selasa, 3 Ramadhan 11, dalam usia sekitar 29 tahun dijemput malaikat maut untuk
menghadap ayahnya.
Ya, Sayyidah Fathimah Az-Zahra adalah muslimah yang sabar
dan taat. Tidak ada seorang pun yang melihat Fathimah mengeluh atas hidup yang
dialaminya. Az-Zahra, puteri tercinta Rasulullah SAW, adalah cermin bagi kaum wanita
yang hendak menjadikannya dirinya sebagai muslimah sejati. Muslimah yang
pantang mengeluh dan pantang menyerah. *** (ahmad sahidin)