Dalam khazanah
keilmuan Islam, kita mengenal tiga potensi dasar yang telah dianugerahkan Allah
SWT kepada manusia, yaitu Akal, Hati (Qalbu) dan Nafsu. Potensi dasar manusia
yang pertama adalah akal. Allah SWTmenciptakan manusia dengan amat sempurna
(Q.S.at-Tiin [95]: 1-4). Tak ada satu makhluk pun yang bisa menandingi. Dari
segi fisik manusia tampak lebih anggun, cantik atau tampan, gagah dan menawan.
Terlebih lagi manusia memiliki satu aset yang tidak dimiliki oleh lainnya,
yaitu potensi akal.
Dengan akal
inilah manusia berkreasi, berkarya hingga mampu merubah wajah dunia menjadi
serba semraut dan berbagai macam lahirnya penemuan dan teknologi mutakhir saat
ini. Dengan akal pula manusia bisa menolong jutaan manusia lainnya, ia mampu
menciptakan alat telekomunikasi hingga bisa berbicara dalam jarak yang cukup
jauh. Ia ciptakan alat transportasi hingga tidak terlalu menguras tenaga untuk
menuju tempat yang dimaksud. Ia menemukan komputer sehingga mempermudah
pekerjaan manual dengan kecepatannya yang sangat tinggi.
Secara sadar atau
tidak manusia juga memiliki kekurangan yang tidak sedikit. Ia bisa tetanus
hanya disebabkan oleh duri kecil. Ia bisa terluka hanya oleh goresan pisau,
bahkan ia bisa bunuh diri hanya disebabkan problem pribadi. Ia tak mampu
menahan jerawat yang mulai tumbuh sebagai tanda bahwa ia sudah dewasa –
sekalipun di wajahnya sendiri. Dan ia akan merasa kebingungan manakala tidak
ada toilet di saat akan membuang penyakit (baca: buang air besar).
Dengan akal ini
sebenarnya, bila dilihat dari ayat-ayat Quran, dimaksudkan supaya berpikir dan merenungkan ciptaan dan
kekuasaan Allah di semesta raya ini. Artinya, potensi akal ini merupakan
pendorong manusia agar lebih dekat kepada Allah SWT dan mengetahui peran dan
tugas manusia di muka bumi ini.
Potensi dasar
kedua yang diberikan Allah SWT ini adalah nafsu. Nafsu ini berkaitan dengan
kecenderungan manusia yang seringkali egoistik, mementingkan diri sendiri.
Dalam bahasa agama Islam, egoisme ini dinamai hawa nafsu. Perkataan hawa nafsu
berasal dari kata Arab. Hawa berarti keinginan dan al-nafs berarti diri manusia
atau kecenderungan dalam diri manusia. Jadi, hawa nafsu berarti kecenderungan
dalam diri manusia untuk selalu mengikuti hal-hal yang buruk.
Oleh karena itu,
manusia disuruh melawan dan mengendalikan hawa nafsu. Usaha manusia dalam
perjuangan melawan hawa nafsu ini tentu bertingkat-tingkat, tergantung pada
kemampuan dan kekuatan imannya.
Dalam buku Mizan
al-'Amal, Imam Ghazali menyebutkan tiga tingkatan manusia dalam masalah ini. Pertama,
orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak dapat melawannya
sama sekali. Ini merupakan keadaan manusia pada umumnya.
Dengan begitu, ia
sungguh telah mempertuhankan hawa nafsunya seperti dimaksud ayat ini, ''Maka,
pernahkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya'' (QS.Al-Jatsiyah:
23).
Kedua, orang yang
senantiasa dalam pertarungan melawan hawa nafsu. Pada suatu kali ia menangtu demi a kali yang lain
ia kalah. Kalau maut merenggutnya dalam pertarungan ini, maka ia tergolong mati
syahid. Dikatakan demikian, karena ia sedang dalam perjuangan melawan hawa
nafsu sesuai perintah Nabi Muhammad SAW, ''berjuanglah kamu melawan hawa
nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.''
Ketiga, orang
yang sepenuhnya dapat menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya. Inilah orang
yang mendapat rahmat Allah, sehingga terjaga dan terpelihara dari dosa-dosa dan
maksiat. Menurut Imam
Ghazali, ini merupakan tingkatan para nabi dan wali-wali Allah. Dalam
perjuangan melawan hawa nafsu, menurut Ghazali, manusia dituntut ekstra
hati-hati dan waspada secara terus-menerus, supaya ia jangan tertipu (ghurur).
Banyak orang merasa telah bekerja dan berjuang untuk agama, nusa, dan bangsa,
padahal sesungguhnya ia bekerja hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan
untuk memuaskan egonya. Inilah bentuk keterjebakkan setan.
Dalam situasi
demikian, Al-Ghazali menganjurkan agar kita berpihak dan memilih sesuatu yang
menyusahkan daripada yang menyenangkan. Alasannya, kebaikan pada umumnya
menuntut kerja keras dan pengorbanan, sehingga terkesan menyusahkan.
Allah SWT
berfirman, “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya” (QS 91:7-10).
Ini juga
disabdakan Rasulullah SAW, “cobaan akan
dibentangkan kepada manusia laksana tikar, satu demi satu. Ketika hati
dipengaruhinya, satu titik hitam tercatatlah dalam hati. Ketika hati
mengingkarinya, satu titik putih tercatatlah dalam hati sehingga hati menjadi
satu dari dua jenis: yang putih seperti batu putih yang lulus dari cobaan, atau
yang gelap hitam karena tidak mengenal ma'ruf (kebaikan) atau mengingkari
kemungkaran" (HR.Muslim).