Selasa, 17 Maret 2015

Managemen Qalbu (MQ): Sebuah Pengantar (2)

 Dalam khazanah keilmuan Islam, kita mengenal tiga potensi dasar yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, yaitu Akal, Hati (Qalbu) dan Nafsu. Potensi dasar manusia yang pertama adalah akal. Allah SWTmenciptakan manusia dengan amat sempurna (Q.S.at-Tiin [95]: 1-4). Tak ada satu makhluk pun yang bisa menandingi. Dari segi fisik manusia tampak lebih anggun, cantik atau tampan, gagah dan menawan. Terlebih lagi manusia memiliki satu aset yang tidak dimiliki oleh lainnya, yaitu potensi akal.

Dengan akal inilah manusia berkreasi, berkarya hingga mampu merubah wajah dunia menjadi serba semraut dan berbagai macam lahirnya penemuan dan teknologi mutakhir saat ini. Dengan akal pula manusia bisa menolong jutaan manusia lainnya, ia mampu menciptakan alat telekomunikasi hingga bisa berbicara dalam jarak yang cukup jauh. Ia ciptakan alat transportasi hingga tidak terlalu menguras tenaga untuk menuju tempat yang dimaksud. Ia menemukan komputer sehingga mempermudah pekerjaan manual dengan kecepatannya yang sangat tinggi.


Secara sadar atau tidak manusia juga memiliki kekurangan yang tidak sedikit. Ia bisa tetanus hanya disebabkan oleh duri kecil. Ia bisa terluka hanya oleh goresan pisau, bahkan ia bisa bunuh diri hanya disebabkan problem pribadi. Ia tak mampu menahan jerawat yang mulai tumbuh sebagai tanda bahwa ia sudah dewasa – sekalipun di wajahnya sendiri. Dan ia akan merasa kebingungan manakala tidak ada toilet di saat akan membuang penyakit (baca: buang air besar). 

Dengan akal ini sebenarnya, bila dilihat dari ayat-ayat Quran, dimaksudkan supaya  berpikir dan merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah di semesta raya ini. Artinya, potensi akal ini merupakan pendorong manusia agar lebih dekat kepada Allah SWT dan mengetahui peran dan tugas manusia di muka bumi ini.

Potensi dasar kedua yang diberikan Allah SWT ini adalah nafsu. Nafsu ini berkaitan dengan kecenderungan manusia yang seringkali egoistik, mementingkan diri sendiri. Dalam bahasa agama Islam, egoisme ini dinamai hawa nafsu. Perkataan hawa nafsu berasal dari kata Arab. Hawa berarti keinginan dan al-nafs berarti diri manusia atau kecenderungan dalam diri manusia. Jadi, hawa nafsu berarti kecenderungan dalam diri manusia untuk selalu mengikuti hal-hal yang buruk.

Oleh karena itu, manusia disuruh melawan dan mengendalikan hawa nafsu. Usaha manusia dalam perjuangan melawan hawa nafsu ini tentu bertingkat-tingkat, tergantung pada kemampuan dan kekuatan imannya.

Dalam buku Mizan al-'Amal, Imam Ghazali menyebutkan tiga tingkatan manusia dalam masalah ini. Pertama, orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak dapat melawannya sama sekali. Ini merupakan keadaan manusia pada umumnya.

Dengan begitu, ia sungguh telah mempertuhankan hawa nafsunya seperti dimaksud ayat ini, ''Maka, pernahkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya'' (QS.Al-Jatsiyah: 23).

Kedua, orang yang senantiasa dalam pertarungan melawan hawa nafsu. Pada suatu kali ia menangtu demi a kali yang lain ia kalah. Kalau maut merenggutnya dalam pertarungan ini, maka ia tergolong mati syahid. Dikatakan demikian, karena ia sedang dalam perjuangan melawan hawa nafsu sesuai perintah Nabi Muhammad SAW, ''berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.''

Ketiga, orang yang sepenuhnya dapat menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya. Inilah orang yang mendapat rahmat Allah, sehingga terjaga dan terpelihara dari dosa-dosa dan maksiat. Menurut Imam Ghazali, ini merupakan tingkatan para nabi dan wali-wali Allah. Dalam perjuangan melawan hawa nafsu, menurut Ghazali, manusia dituntut ekstra hati-hati dan waspada secara terus-menerus, supaya ia jangan tertipu (ghurur). Banyak orang merasa telah bekerja dan berjuang untuk agama, nusa, dan bangsa, padahal sesungguhnya ia bekerja hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan untuk memuaskan egonya. Inilah bentuk keterjebakkan setan.

Dalam situasi demikian, Al-Ghazali menganjurkan agar kita berpihak dan memilih sesuatu yang menyusahkan daripada yang menyenangkan. Alasannya, kebaikan pada umumnya menuntut kerja keras dan pengorbanan, sehingga terkesan menyusahkan.

Allah SWT berfirman, “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS 91:7-10).


Ini juga disabdakan Rasulullah SAW,  “cobaan akan dibentangkan kepada manusia laksana tikar, satu demi satu. Ketika hati dipengaruhinya, satu titik hitam tercatatlah dalam hati. Ketika hati mengingkarinya, satu titik putih tercatatlah dalam hati sehingga hati menjadi satu dari dua jenis: yang putih seperti batu putih yang lulus dari cobaan, atau yang gelap hitam karena tidak mengenal ma'ruf (kebaikan) atau mengingkari kemungkaran" (HR.Muslim).