Dalam proses
kreatif (menulis) yang saya jalani, saya sempat minta komentar Hawe
Setiawan, menyarankan saya untuk melihat atau mencotoh alur dan gaya tulisan
dari tokoh yang saya kagumi.
Karena waktu itu lagi kagum pada catatan
pinggir Gonawan Mohammad (GM) di Majalah Tempo, saya tiap sore sebelum
menghadiri kajian selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk membaca
catatan pinggir GM. Berbundel-bundel Majalah Tempo lama kubaca.
Hampir enam bulan
saya baca Majalah Tempo dan buku-buku GM. Saya fokus, saya ingin meniru gaya
tulisnya yang khas dan berbeda dari orang lain. GM: tulisannya sungguh hidup,
renyah, tak ada kosa-kata atau kalimat yang mati. Seluruh kalimat dan kata-kata
yang dipakainya berjalin-kelindan, menyatu-padu, dan tak kering. Ini kesan saya
setelah membaca catatan pinggir GM.
Jumlahnya mungkin sudah ribuan, bahkan
lebih. Meski sudah usang wacana dan aktualitasnya, tapi bila dibaca, sepertinya
punya “lokasi” tersendiri, sehingga saya tak merasa jemu atau merasa kadaluarsa
ketika membacanya. Ini yang saya berbeda dan khas GM.
Satu lagi yang
membuat saya begitu terpikat. Ia sosok yang luar biasa dalam khazanah Islam dan
piawai dalam berkomunikasi, baik lisan mapun tulisan.
Ya, tak salah lagi,
Ustadz Jalaluddin Rakhmat (JR). Selain seorang ustadz, ia juga ahli dalam
ilmu-ilmu rasional dan dikenal pakar komunikasi. Setiap kali saya baca
buku-bukunya, terasa menyentuh dan bermakna.
JR dalam
menorehkan gagasannya seringkali diawali dengan kisah-kisah sufi yang
menyentuh. Atau juga mengambil petikan kata-kata hikmah dari ulama-ulama dan
tokoh-tokoh Islam. Bahasanya renyah dan mudah dicerna. Alurnya enak, mengalir,
dan mudah diingat. Ini yang membedakannya dengan GM. GM bahasanya kadang
filosofis dan berbelit-belit, bahkan cenderung tak mengerti kalau si pembacanya
tak paham isi dan arah dari tulisannya itu.
Masa proses
kreatif itu saya pun mengasah tulis-menulis dengan meluncurkan sebuah bulletin
LATERAL yang diterbitkan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) unit kegiatan
mahasiswa IAIN, kini bernama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya menulis
bersama teman-teman. Namun sayang hingga kini belum ada yang meneruskan atau
melanjutkan media tersebut. Padahal kalau biacara fasilitas, generasi LPIK
sekarang lebih mudah dan terfasilitasi. Berkarya itu memang butuh kemauan yang kuat dan berani berbuat. Ini
intinya, menurut saya.
Alhamdulillah,
aktivitas saya dalam tulis menulis pun berbuah: tahun 2004 saya masuk redaksi
Majalah Swadaya—sebuah media pemberdayaan umat yang diterbitkan Lembaga Amil
Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT) yang berlokasi di
Pesantren Daarut Tauhiid, pimpinan Aa Gym (KH.Abdullah Gymnastiar).
Dari redaksi Majalah
Swadaya saya mulai mengenal kerja jurnalistik. Saya pun merambah dunia
fotografy dan shooting video. Juga dunia internet, hingga punya blog.
Saya pun hingga
kini masih terus belajar tentang menulis yang baik, renyah, enak dibaca dan “bergizi”
(istilah Hernowo) plus menggerakan pembaca. Itu sebabnya saya belajar, belajar,
dan belajar, dari mereka yang senatiasa tak lelah untuk menorehkan pena. Dibaca
tak dibaca, bagus tak bagus, tulis aja! Biar saya sendiri yang baca!