Selasa, 03 Maret 2015

Misi Sosial Islam


SYAIKH Ja`far Subhani dalam buku Memilih Takdir Allah, yang diterbitkan Pustaka Hidayah, Bandung, menceritakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad Rasulullah SAW sedang bersama para sahabatnya berpapasan dengan orang Yahudi.

“Assamu`alaika! (Celakalah Engkau Muhammad !),” sapanya kepada Rasulullah. Nabi pun menjawab, “Wa a`laika (Dan juga untukmu)”.

Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya dia telah mengucapkan salam kematian kepada engkau”.

“Aku telah menjawabnya dengan jawaban demikian. Sesungguhnya orang Yahudi itu akan digigit ular ditengkuknya, kemudian dia akan mati,” jawab Nabi Muhammad SAW.

Namun beberapa jam kemudian Yahudi itu berjalan sambil membawa setumpuk kayu. Para sahabat heran karena yang diramalkan Rasulullah SAW tidak terbukti. Kemudian Rasulullah memanggilnya dan berkata, “Letakkan kayu itu !”. Yahudi itu pun menurutinya.

Nabi Muhammad SAW menyuruhnya membuka tumpukan kayu itu. Setelah dibuka, di dalamnya terdapat seekor ular yang sedang menggigit kayu. Nabi Muhammad SAW bertanya, “Hai Yahudi, amalan apa yang telah engkau kerjakan hari ini?”

“Aku tidak melakukan apa-apa, kecuali aku datang dengan membawa kayu bakar ini, dan aku punya dua potong roti. Satu potong kumakan, dan satunya lagi kuberikan pada orang miskin,” ujar Yahudi itu menerangkan.

Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Dengan sedekah rotimu itu Allah menghindarkan kematian dari engkau. Sesungguhnya sedekah itu menolak bala (bencana).”

Dari peristiwa ini sang Yahudi itu dikabarkan berikrar syahadah. Ia mengakui dan meyakini kebenaran Islam, terutama dalam ibadah sosial yang tidak disadarinya bisa mengubah takdir hidupnya.

Memang sudah ketentuan Allah bahwa segala sesuatu yang dilakukan manusia akan Allah balas sesuai dengan kadarnya. Jika seseorang itu berbuat baik (amal shalih) maka pahala dan keberuntungan yang akan diterimanya. Begitulah konsep berbagi dalam Islam. Selain mendapatkan pahala, juga diselamatkan dari bencana.

Konsep berbagi dengan sesama ini dalam syariat Islam disebut zakat, infak, dan shodaqah. Selain membahagiakan mereka yang menjadi penerima dari ibadah sosial ini, zakat bisa memberdayakan mereka yang dhuafa.

Memang pemberdayaan ekonomi Umat Islam melalui pelaksanaan ibadah zakat masih banyak menemui hambatan yang bersumber terutama dari kalangan Umat Islam, yaiu belum adanya kesadaran dalam berzakat. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran, menyebabkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi  tergantung pada masing-masing individu. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar dalam pelaksanaannya ini menjadi lebih efektif dan efisien.

Menurut ulama dari Mesir, Yusuf Qardhawi, zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi umat Islam, yang sekaligus sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbagai kelemahan. Zakat juga bisa disebut sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya dan menghilangkan jiwa hasud atau dengki orang yang tidak punya (miskin dan dhuafa).

Bila kita menunaikan zakat, maka bisa disebut memiliki keimanan sekaligus menjalankan misi sosial agama Islam di muka bumi.

Banyak pendapat, baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim, yang mengagumi indahnya konsepsi zakat sebagai pemecahan problematika sosial. Namun di Indonesia sendiri tak terlihat buktinya. Seandainya seluruh umat Islam melaksanakan ibadah sosial ini dengan baik, tentu tidak akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara. 

Akan tetapi, kebanyakan telah melalaikan kewajiban ini, sehingga nasib umat Islam sekarang ini lebih buruk dalam kehidupan ekonomi dan politiknya. Coba bandingkan dengan Iran, Lebanon, Mesir dan Arab Saudi. Kita hanya bisa berdecak kagum atas berbagai fasilitas yang diberikan pada umat Islam yang kurang mampu, yang semuanya berasal dari dana umat seperti zakat, infak, dan shodaqah atau khumus di negara Iran.  

Mari kita membudayakan berbagai ibadah sosial—seperti zakat, infak, shodaqah dan lainnya—dalam kehidupan sehingga umat Islam hidupnya menjadi lebih baik dan sejahtera. 

[ahmad sahidin]