Aceh, serambi Mekah, dikenal sebagai
kawasan yang mayoritas beragama Islam. Dan Aceh pula dalam sejarah tercatat sebagai
pintu masuknya da`i-dai` muslim dari Persia, Arab dan Gujarat ke Nusantara.
Karena itu tak heran bila Aceh melahirkan para ulama yang berilian seperti Syekh
Hamzah Fansuri, Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili, Syamsuddin As-Sumatrani dan lain
sebagainya.
Berkaitan dengan ini, ada hasil penelitian yang
menarik berkaitan dengan Aceh dari sejarahwan muslim Azyumardi Azra. Menurut
Azra bahwa Aceh secara kebudayaan dipengaruhi tradisi Persia. Beberapa batu
nisan dan kubah kuburan yang dipakai para raja Kesultanan Aceh sekitar Abad
15-17 Masehi sangat khas coraknya dengan kubah dan batu nisan yang terdapat di
Persia (Iran). Bahkan tradisi “Kanji Acura” yang diselenggarakan masyarakat
muslim Aceh tiap bulan Muharram dan
“Basapah” di bulan Shafar adalah warisan dari para sufi dan pedagang
muslim dari Persia yang bermahzab syiah.
Aceh juga kita kenal sebagai wilayah yang
begitu gigih dalam menentang penjajahan bangsa asing. Sebutlah Teuku Cik
Ditiro, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, merupakan pahlawan bangsa yang tidak
boleh kita lupakan perannya. Bahkan masyarakat Aceh-lah yang membiayai
pembelian pesawat terbang pertama untuk Indonesia di pasca proklamasi RI. Karena
begitu besarnya rasa memiliki negeri ini, sampai-sampai di masa Soeharto Aceh telah
merelakan kekayaan alam (bahan-bahan tambang dan minyak) untuk diambil sebanyak-banyaknya
ke pusat.
Namun di akhir masa Orba pula sebagian warga Aceh kecewa—air susu
dibalas air tuba—karena pembangunan dan kesejahteraan rakyat kurang diperhatikan
pemerintah pusat. Akhirnya, muncul gerakan separatisme—yang akarnya telah ada
sejak akhir masa Orla di bawah pimpinan Daud Beureuh dengan nama DI/TII—yang
kini disebut GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang berkeinginan lepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan negara Islam (Daarul Islam).
Terjadilah perang-perang kecil antara TNI dengan mengatas-namakan DOM (Daerah
Operasi Militer) melawan GAM yang menuntut keadilan dan kemerdekaan dibeberapa
wilayah Aceh. Baik media cetak maupun elektronik tak henti menyajikan
ulasan/liputan pertumpahan darah dan penguburan masal.
Mungkin sudah takdir bahwa Aceh tidak bisa lepas
dari masalah kemanusiaan. Buktinya pada Ahad, 26 Desember 2004 lalu, mereka harus
menerima kenyataan yang memilukan seluruh bangsa Indonesia. Gempa bumi berskala
8,9 richter dan gelombang tsunami telah menelan korban ribuan jiwa beserta
harta-benda yang hancur rata di atas tanah Nanggroe Aceh Darussalam. Apa yang salah dengan Aceh? Silakan dijawab! *** (ahmad sahidin)