Jumat, 11 September 2020

Resensi buku Sejarah Filsafat Islam karya Abu Bakar Aceh


Kali ini buku yang saya baca berjudul Sejarah Filsafat Islam karya Abu Bakar Aceh. Buku ini diterbitkan Ramadhani Sala tahun 1982, cetakan dua. Diberi kata sambutan oleh Mohammad Natsir bertanda tanggal 15 Agustus 1968. Cetakan satu buku ini terbit tahun 1970.

Dilihat dari tahun, ada masa mengendap buku ini sebelum keluar untuk dibaca masyarakat. Saya tidak ingin mengira alasan dari tidak langsung terbit setelah dapat kata sambut dari tokoh Islam ternama.

Saya sesali diri ini karena harusnya buku karya Abu Bakar Aceh ini dibaca sebelum membaca buku-buku filsafat Islam dan teologi, baik yang berasal dari disertasi maupun yang ditulis orang Indonesia maupun karya terjemahan. Sebab buku ini, sesuai dengan judul, menguraikan secara ringkas perkembangan pemikiran keagamaan Islam, baik ilmu Kalam maupun filsafat Islam sampai aliran salaf dan tasawuf. Bentuknya kronologis dan sistematis. Hanya saja gaya penulisannya dan kalimat dari kutipan sumber dan opini sang penulis bercampur. Sehingga kurang nyaman saat dicerna dari setiap halaman ke halaman berikutnya.

Dari karya Abu Bakar Aceh ini saya dapat mengetahui pengaruh filsafat Yunani pada umat Islam dalam khazanah ilmu dan pengetahuan, mengetahui para filsuf yang cemerlang dalam nalar rasional, perbedaan pemahaman, aliran-aliran ilmu Kalam (teologi), khazanah tasawuf, dan kajian mengenai akhlak (moral) dari para ulama seperti Abu Hamid al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

Terkait dengan moral, saya tertegun dengan kutipan yang tercantum pada halaman 134 bahwa Abu Hasyim Madani berkata: "Hanya ada satu kebajikan dan satu kejahatan bagi jiwa manusia. Kebajikan itu ialah sadar akan adanya Tuhan dan kejahatan itu tidak memiliki kesadaran tersebut."

Kemudian dari buku ini, bagian yang menarik saya tentang aliran Ahlus Sunnah. Pada halaman 93, terdapat pernyataan bahwa Abu Hasan Asy'ari (w. 965 M.) "digelarkan pencipta ikatan Ahlus Sunnah wal Jamaah." Beliau yang membela Ahmad bin Hanbal (ketika itu disalahkan kaum Mutazilah dan dijebloskan ke penjara) karena istiqamah pada teks hadis Nabi dalam menerangkan doktrin keagamaan. Karena itu, Ahmad bin Hanbal ini dijuluki ahlu al-hadis yang tekstualis.

Abu Hasan Asy'ari juga yang menentang paham Mutazilah dengan kritik dan sanggahan atas setiap argumen Mutazilah yang pernah dipelajarinya. Sekian bulan merenung, mempelajari dan kemudian memuang doktrin teologi Mutazilah. Selanjutnya ia dikenal seorang tokoh teologi Asy'ariyah yang kemudian popular disebut Ahlus Sunnah. Jadi, paham Ahlus Sunnah ini lahir masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah dipelopori Abu Hasan Asyari. Tentu jaraknya jauh dari masa Rasulullah Saw dan mungkin juga tidak dikenal oleh Khulafa Rasyidun yang empat (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan 'Ali bin Abu Thalib).

Kalau lantas ditanya, apakah masa Rasulullah Saw ada paham-paham teologi? Tentu dapat dijawab tidak ada karena setiap perselisihan diselesaikan oleh Rasulullah Saw, baik urusan agama maupun sosial kemanusiaan. Otoritasnya penuh berada pada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan masa Khulafa Rasyidun berdasarkan riwayat ada yang dijadikan rujukan dalam agama, bahkan khalifah yang berkuasa pun meminta nasihat. Beliau ini, 'Ali bin Abu Thalib, yang dijadikan rujukan dan dalam hadis disebut pintu ilmu. Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan saat menjadi penguasa Madinah disebutkan dalam sejarah sering konsultasi kepada 'Ali bin Abu Thalib.

Sejarah mengisahkan ada khalifah yang menugaskan mualaf dari Yahudi untuk mengajarkan agama di Masjid Nabawi. Ini perlu dikaji secara historis kesahihannya dan alasan diberi wewenang pengajaran agama oleh mualaf dari Yahudi tersebut. Sedangkan sahabat (yang dekat dengan Nabi dan masuk generasi assabiqunal awwalun) seperti Ali bin Abu Thalib tidak diberi wewenang untuk mengajarkan agama. Tidak ada catatan sejarah bahwa tiga khalifah tersebut memberikan ruang kepada Ali untuk beri pengajaran agama di masjid Madinah.  Ke mana dan apa yang dikerjakan Ali selama tiga khalifah tersebut berkuasa. Selain menjadi penasihat, yang sesekali saja diperlukan, mungkin sibuk mengurus keluarga dan membina umatnya, atau lainnya. Agak gelap bagian sejarah ini. Perlu dikaji secara ilmiah.

Tidak diragukan hampir semua buku sejarah mengisahkan pecahnya umat Islam pascawafat Rasulullah Saw. Dari Saqifah terbagi dua, antara yang menerima Abu Bakar dan yang menolak berbaiat kepadanya. Begitu juga masa Umar dan Utsman melahirkan gerakan demonstrasi hingga berujung kematian khalifah ketiga. Selanjutnya umat mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah keempat. Pada masa khalifah Ali ini umat Islam terpecah dalam gerakan politik. Setidaknya ada empat golongan yang masing-masing dikomandani oleh Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan, 'Ali bin Abu Thalib, dan Abdillah bin Wahab Rasibi. Tidak dipungkiri saat Saqifah pun pecah antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Antara yang menginginkan orang Muhajir yang menjadi pemimpin bersitegang dengan orang-orang yang menginginkan orang dari Anshar yang menjadi pemimpin Madinah setelah wafat Nabi. Sedangkan kelompok Ahlulbait seperti Ali bin Abu Thalib beserta kedua putranya tidak terlibat dalam rebutan kepemimpinan di Saqifah.

Mengapa? Karena Ahlulbait masih mengurus jenazah Rasulullah Saw, masih mengurus urusan agama dan berduka dengan wafat Rasulullah Saw. Apakah para sahabat di Saqifah tidak berduka? Ini harus dikaji kembali secara ilmiah.

Dari empat gerakan politik di atas, hanya golongan Aisyah yang tidak melahirkan paham keagamaan. Muawiyah dengan kekuasaan di Damaskus menanamkan sikap benci pada Ahlulbait dan mengagungkan para sahabat. Gerakan keagamaan ini oleh cendekiawan IJABI Dr Muhammad Babul Ulum disebut "Muawiyyat" dan Ayatullah Sayyid Kamal Haidari menjulukinya "al-Nahj al-Umawi", yang dapat diberi makna paham keagamaan dan politik Bani Umayyah.

Kemudian dari 'Ali bin Abu Thalib muncul paham Syiah 'Ali dan lahir pula Khawarij yang dipimpin oleh Abdillah bin Wahab Rasibi. Khawarij asalnya pendukung 'Ali bin Abu Thalib kemudian memisahkan diri setelah peristiwa tahkim dan memusuhi orang-orang Islam yang berbeda paham dengan Khawarij.

Selanjutnya masa kekuasaan Dinasti Umayyah (selain yang disebutkan) muncul paham Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, dan lainnya. Masa Dinasti Abbasiyah muncul Mutazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah dan filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan komunitas Ikhwan Shafa. Di antara mereka terjadi dialog pemikiran dengan aneka argumenasi. Para filsuf sudah jelas kuat dari nalar rasional, termasuk kaum Mutazilah. Sedangkan selainnya, masih berpedoman pada argumen teksual Alquran dan hadis. Ini menurut Abu Bakar Aceh yang khas dari mutakalimun (ahli Kalam atau teolog Muslim) yang berbeda dari filsuf dan sufi.

Dari karya Abu Bakar Aceh ini, yang menarik perhatian saya pada pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah yang dirintis oleh Abu Hasan Asy'ari dan Abu Mansur Maturidi (w.944 M.). Kedua tokoh ini menetapkan (pada pengikutnya) untuk percaya dengan enam rukun: beriman Allah, Malaikat, Nabi, Kitab, Hari Akhir, Qadha wa Qadar. Disebutkan juga agar mencintai orang-orang yang dipilih oleh Nabi sebagai sahabatnya yaitu assabiqunal awwalun, mengakui imam setelah Rasulullah Saw adalah Khulafa Rasyidun yang empat, tidak boleh membongkar perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, percaya ada azab kubur, percaya pahala sedekah doa sampai kepada orang yang mati, dan menetapkan sifat-sifat Allah terdiri dari sifat wajib, mustahil, dan jaiz (lihat halaman 95-99).

Pokok ajaran Ahlus Sunnah tersebut, di Indonesia masuk dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sejak SD, SMP, dan SMA/SMK. Karena itu, bisa dikatakan umat Islam Indonesia secara doktrin teologi berpaham Ahlus Sunnah. Meski tidak diingkari terdapat tradisi yang dilakukan oleh kaum Muslim Syiah.

Kembali pada isi buku, bahwa Abu Bakar Aceh memasukkan seluruh pemikiran dan paham dalam Islam, yang non fikih dan non hadis, pada khazanah filsafat Islam. Dapat dipahami karena ilmu kalam, filsafat, tasawuf, dan gerakan tajdid yang berorientasi kembali pada masa salaf, dan kajian moral pun masuk oleh Abu Bakar Aceh dimasukkan dalam ranah pemikiran manusia.

Dalam hal ini, para tokoh Islam dari sejak Khulafa Rasyidun sampai abad modern bermunculan ulama atau ilmuwan dengan berbagai karya ilmiah yang sampai kini dapat diakses dan bermanfaat bagi peradaban umat manusia.

Dengan membaca karya Abu Bakar Aceh ini, saya mengetahui penggerak utama sekaligus yang mengibarkan seruan kembali pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw adalah Ibnu Taimyyah Al-Harrani (1263-1328 M.). Seorang ulama berasal dari Turki yang menetap hingga meninggal dunia di Damaskus, Suriah.

Gerakan kembali pada Al-Quran dan Sunnah ini dihidupkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi, Saudi Arabia, abad XVIII Masehi. Perlu ditelaah mengapa yang menjadi slogan Alquran dan Sunnah, bukankah riwayat yang sebut keduanya sebagai pedoman itu tidak kuat dari analisis ilmu hadis?

Sayangnya Abubakar Aceh hanya menguraikan aspek historis dan doktrin tajdid sebagai upaya memurnikan amaliah umat Islam yang sudah dicemari unsur dari luar Islam.

Di Indonesia gerakan tajdid makin tumbuh sebagai komunitas berpaham Wahabi, yang tidak jarang menimbulkan masalah di tengah masyarakat yang menganut paham Ahlus Sunnah. Bentuknya gerakan pemuda hijrah dengan menggelar kajian di berbagai tempat. Meski gerak dalam kajian, sayangnya cenderung anti dengan paham atau mazhab lain yang berbeda. Dikit-dikit bilang haram, bidah, tahayul, dan musyrik. Terutama pada sejumlah kegiatan budaya yang diselenggarakan Muslim tradisional seperti Nahdlatul Ulama. Kaum Wahabi ini juga anti dengan paham Syiah.

Saya sepakat dengan Abubakar Aceh bahwa "aliran (Wahabi) ini dengan seluk beluknya hampir merupakan suatu mazhab tersendiri dalam Islam" (halaman 119). Sebagai informasi bahwa pada konferensi ulama Ahlus Sunnah di Chechnya tahun 2016, para ulama menyatakan Wahabi bukan Ahlus Sunnah.

Terakhir, secara tema bahwa buku "Sejarah Filsafat Islam" ini memiliki kesamaan pada karya Nurcholish Madjid yang berjudul "Khazanah Intelektual Islam" dan karya-karya Harun Nasution.

Dari mereka saya dapat pengetahuan tentang khazanah keagamaan dan pemikiran Islam yang beraneka ragam. Seharusnya dengan aneka ragam pemahaman agama ini, umat Islam sadar bahwa agama Islam yang dipraktekan dan dicerna oleh akal manusia tidaklah bersifat tunggal. Karena itu, selayaknya umat Islam Indonesia berkenan menerima aneka perbedaan pemamahan agama dalam Islam. Menerima kekayaan paham-paham agama Islam.

Tentu dengan tetap meyakini satu paham di antara berbagai keyakinan atau mazhab agama Islam tanpa mengatakan sesat. Jika ingin mengetahui letak kesesatan tiap aliran dan paham agama maka harus belajar langsung pada tokohnya langsung dan membaca karya-karyanya serta dialog dengan pemeluknya. Cag! *** (Ahmad Sahidin)