Kali
ini buku yang saya baca berjudul Sejarah Filsafat Islam karya Abu Bakar Aceh.
Buku ini diterbitkan Ramadhani Sala tahun 1982, cetakan dua. Diberi kata
sambutan oleh Mohammad Natsir bertanda tanggal 15 Agustus 1968. Cetakan satu
buku ini terbit tahun 1970.
Dilihat dari tahun, ada masa mengendap buku ini sebelum keluar untuk dibaca masyarakat.
Saya tidak ingin mengira alasan dari tidak langsung terbit setelah dapat kata
sambut dari tokoh Islam ternama.
Dari karya Abu Bakar Aceh ini saya dapat mengetahui
pengaruh filsafat Yunani pada umat Islam dalam khazanah ilmu dan pengetahuan,
mengetahui para filsuf yang cemerlang dalam nalar rasional, perbedaan
pemahaman, aliran-aliran ilmu Kalam (teologi), khazanah tasawuf, dan kajian
mengenai akhlak (moral) dari para ulama seperti Abu Hamid al-Ghazali dan Ibnu
Miskawaih.
Terkait dengan moral, saya tertegun dengan kutipan yang
tercantum pada halaman 134 bahwa Abu Hasyim Madani berkata: "Hanya ada
satu kebajikan dan satu kejahatan bagi jiwa manusia. Kebajikan itu ialah sadar
akan adanya Tuhan dan kejahatan itu tidak memiliki kesadaran tersebut."
Kemudian dari buku ini, bagian yang menarik saya
tentang aliran Ahlus Sunnah. Pada halaman 93, terdapat pernyataan bahwa Abu
Hasan Asy'ari (w. 965 M.) "digelarkan pencipta ikatan Ahlus Sunnah wal
Jamaah." Beliau yang membela Ahmad bin Hanbal (ketika itu disalahkan kaum
Mutazilah dan dijebloskan ke penjara) karena istiqamah pada teks hadis Nabi
dalam menerangkan doktrin keagamaan. Karena itu, Ahmad bin Hanbal ini dijuluki
ahlu al-hadis yang tekstualis.
Abu Hasan Asy'ari juga yang menentang paham Mutazilah
dengan kritik dan sanggahan atas setiap argumen Mutazilah yang pernah
dipelajarinya. Sekian bulan merenung, mempelajari dan kemudian memuang doktrin
teologi Mutazilah. Selanjutnya ia dikenal seorang tokoh teologi Asy'ariyah yang
kemudian popular disebut Ahlus Sunnah. Jadi, paham Ahlus Sunnah ini lahir masa
kekuasaan Dinasti Abbasiyah dipelopori Abu Hasan Asyari. Tentu jaraknya jauh
dari masa Rasulullah Saw dan mungkin juga tidak dikenal oleh Khulafa Rasyidun
yang empat (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan 'Ali bin Abu
Thalib).
Kalau lantas ditanya, apakah masa Rasulullah Saw ada
paham-paham teologi? Tentu dapat dijawab tidak ada karena setiap perselisihan
diselesaikan oleh Rasulullah Saw, baik urusan agama maupun sosial kemanusiaan.
Otoritasnya penuh berada pada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan masa Khulafa
Rasyidun berdasarkan riwayat ada yang dijadikan rujukan dalam agama, bahkan
khalifah yang berkuasa pun meminta nasihat. Beliau ini, 'Ali bin Abu Thalib,
yang dijadikan rujukan dan dalam hadis disebut pintu ilmu. Abu Bakar, Umar bin
Khaththab, dan Utsman bin Affan saat menjadi penguasa Madinah disebutkan dalam
sejarah sering konsultasi kepada 'Ali bin Abu Thalib.
Sejarah mengisahkan ada khalifah yang menugaskan mualaf
dari Yahudi untuk mengajarkan agama di Masjid Nabawi. Ini perlu dikaji secara
historis kesahihannya dan alasan diberi wewenang pengajaran agama oleh mualaf
dari Yahudi tersebut. Sedangkan sahabat (yang dekat dengan Nabi dan masuk
generasi assabiqunal awwalun) seperti Ali bin Abu Thalib tidak diberi wewenang
untuk mengajarkan agama. Tidak ada catatan sejarah bahwa tiga khalifah tersebut
memberikan ruang kepada Ali untuk beri pengajaran agama di masjid Madinah.
Ke mana dan apa yang dikerjakan Ali selama tiga khalifah tersebut
berkuasa. Selain menjadi penasihat, yang sesekali saja diperlukan, mungkin
sibuk mengurus keluarga dan membina umatnya, atau lainnya. Agak gelap bagian
sejarah ini. Perlu dikaji secara ilmiah.
Tidak diragukan hampir semua buku sejarah mengisahkan
pecahnya umat Islam pascawafat Rasulullah Saw. Dari Saqifah terbagi dua, antara
yang menerima Abu Bakar dan yang menolak berbaiat kepadanya. Begitu juga masa
Umar dan Utsman melahirkan gerakan demonstrasi hingga berujung kematian
khalifah ketiga. Selanjutnya umat mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai
khalifah keempat. Pada masa khalifah Ali ini umat Islam terpecah dalam gerakan
politik. Setidaknya ada empat golongan yang masing-masing dikomandani oleh
Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan, 'Ali bin Abu Thalib, dan
Abdillah bin Wahab Rasibi. Tidak dipungkiri saat Saqifah pun pecah antara kaum
Anshar dan kaum Muhajirin. Antara yang menginginkan orang Muhajir yang menjadi
pemimpin bersitegang dengan orang-orang yang menginginkan orang dari Anshar
yang menjadi pemimpin Madinah setelah wafat Nabi. Sedangkan kelompok Ahlulbait
seperti Ali bin Abu Thalib beserta kedua putranya tidak terlibat dalam rebutan
kepemimpinan di Saqifah.
Mengapa? Karena Ahlulbait masih mengurus jenazah
Rasulullah Saw, masih mengurus urusan agama dan berduka dengan wafat Rasulullah
Saw. Apakah para sahabat di Saqifah tidak berduka? Ini harus dikaji kembali
secara ilmiah.
Dari empat gerakan politik di atas, hanya golongan
Aisyah yang tidak melahirkan paham keagamaan. Muawiyah dengan kekuasaan di
Damaskus menanamkan sikap benci pada Ahlulbait dan mengagungkan para sahabat.
Gerakan keagamaan ini oleh cendekiawan IJABI Dr Muhammad Babul Ulum disebut
"Muawiyyat" dan Ayatullah Sayyid Kamal Haidari menjulukinya
"al-Nahj al-Umawi", yang dapat diberi makna paham keagamaan dan
politik Bani Umayyah.
Kemudian dari 'Ali bin Abu Thalib muncul paham Syiah
'Ali dan lahir pula Khawarij yang dipimpin oleh Abdillah bin Wahab Rasibi.
Khawarij asalnya pendukung 'Ali bin Abu Thalib kemudian memisahkan diri setelah
peristiwa tahkim dan memusuhi orang-orang Islam yang berbeda paham dengan
Khawarij.
Selanjutnya masa kekuasaan Dinasti Umayyah (selain yang
disebutkan) muncul paham Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, dan lainnya. Masa
Dinasti Abbasiyah muncul Mutazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah dan filsuf Muslim
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan komunitas Ikhwan Shafa. Di antara
mereka terjadi dialog pemikiran dengan aneka argumenasi. Para filsuf sudah
jelas kuat dari nalar rasional, termasuk kaum Mutazilah. Sedangkan selainnya,
masih berpedoman pada argumen teksual Alquran dan hadis. Ini menurut Abu Bakar
Aceh yang khas dari mutakalimun (ahli Kalam atau teolog Muslim) yang berbeda dari
filsuf dan sufi.
Dari karya Abu Bakar Aceh ini, yang menarik perhatian
saya pada pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah yang dirintis oleh Abu Hasan
Asy'ari dan Abu Mansur Maturidi (w.944 M.). Kedua tokoh ini menetapkan (pada
pengikutnya) untuk percaya dengan enam rukun: beriman Allah, Malaikat, Nabi,
Kitab, Hari Akhir, Qadha wa Qadar. Disebutkan juga agar mencintai orang-orang
yang dipilih oleh Nabi sebagai sahabatnya yaitu assabiqunal awwalun, mengakui
imam setelah Rasulullah Saw adalah Khulafa Rasyidun yang empat, tidak boleh
membongkar perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, percaya ada azab
kubur, percaya pahala sedekah doa sampai kepada orang yang mati, dan menetapkan
sifat-sifat Allah terdiri dari sifat wajib, mustahil, dan jaiz (lihat halaman
95-99).
Pokok ajaran Ahlus Sunnah tersebut, di Indonesia masuk
dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sejak SD, SMP, dan
SMA/SMK. Karena itu, bisa dikatakan umat Islam Indonesia secara doktrin teologi
berpaham Ahlus Sunnah. Meski tidak diingkari terdapat tradisi yang dilakukan
oleh kaum Muslim Syiah.
Kembali pada isi buku, bahwa Abu Bakar Aceh memasukkan
seluruh pemikiran dan paham dalam Islam, yang non fikih dan non hadis, pada
khazanah filsafat Islam. Dapat dipahami karena ilmu kalam, filsafat, tasawuf,
dan gerakan tajdid yang berorientasi kembali pada masa salaf, dan kajian moral
pun masuk oleh Abu Bakar Aceh dimasukkan dalam ranah pemikiran manusia.
Dalam hal ini, para tokoh Islam dari sejak Khulafa
Rasyidun sampai abad modern bermunculan ulama atau ilmuwan dengan berbagai
karya ilmiah yang sampai kini dapat diakses dan bermanfaat bagi peradaban umat
manusia.
Dengan membaca karya Abu Bakar Aceh ini, saya
mengetahui penggerak utama sekaligus yang mengibarkan seruan kembali pada Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah Saw adalah Ibnu Taimyyah Al-Harrani (1263-1328 M.).
Seorang ulama berasal dari Turki yang menetap hingga meninggal dunia di
Damaskus, Suriah.
Gerakan kembali pada Al-Quran dan Sunnah ini dihidupkan
kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi, Saudi Arabia, abad XVIII
Masehi. Perlu ditelaah mengapa yang menjadi slogan Alquran dan Sunnah, bukankah
riwayat yang sebut keduanya sebagai pedoman itu tidak kuat dari analisis ilmu
hadis?
Sayangnya Abubakar Aceh hanya menguraikan aspek historis
dan doktrin tajdid sebagai upaya memurnikan amaliah umat Islam yang sudah
dicemari unsur dari luar Islam.
Di Indonesia gerakan tajdid makin tumbuh sebagai
komunitas berpaham Wahabi, yang tidak jarang menimbulkan masalah di tengah
masyarakat yang menganut paham Ahlus Sunnah. Bentuknya gerakan pemuda hijrah
dengan menggelar kajian di berbagai tempat. Meski gerak dalam kajian, sayangnya
cenderung anti dengan paham atau mazhab lain yang berbeda. Dikit-dikit bilang
haram, bidah, tahayul, dan musyrik. Terutama pada sejumlah kegiatan budaya yang
diselenggarakan Muslim tradisional seperti Nahdlatul Ulama. Kaum Wahabi ini
juga anti dengan paham Syiah.
Saya sepakat dengan Abubakar Aceh bahwa "aliran
(Wahabi) ini dengan seluk beluknya hampir merupakan suatu mazhab tersendiri
dalam Islam" (halaman 119). Sebagai informasi bahwa pada konferensi ulama
Ahlus Sunnah di Chechnya tahun 2016, para ulama menyatakan Wahabi bukan Ahlus
Sunnah.
Terakhir, secara tema bahwa buku "Sejarah Filsafat
Islam" ini memiliki kesamaan pada karya Nurcholish Madjid yang berjudul
"Khazanah Intelektual Islam" dan karya-karya Harun Nasution.
Dari mereka saya dapat pengetahuan tentang khazanah
keagamaan dan pemikiran Islam yang beraneka ragam. Seharusnya dengan aneka
ragam pemahaman agama ini, umat Islam sadar bahwa agama Islam yang dipraktekan
dan dicerna oleh akal manusia tidaklah bersifat tunggal. Karena itu, selayaknya
umat Islam Indonesia berkenan menerima aneka perbedaan pemamahan agama dalam
Islam. Menerima kekayaan paham-paham agama Islam.
Tentu dengan tetap meyakini satu paham di antara
berbagai keyakinan atau mazhab agama Islam tanpa mengatakan sesat. Jika ingin
mengetahui letak kesesatan tiap aliran dan paham agama maka harus belajar
langsung pada tokohnya langsung dan membaca karya-karyanya serta dialog dengan
pemeluknya. Cag! *** (Ahmad Sahidin)