Senin, 01 Juni 2020

Ini Ulasan Empat Buku yang Saya Baca


Alhamdulillah saya bisa menyelesaikan baca buku secara bersambung. Ini memang aktivitas harian saya. Maklum saja karena nganggur, ya saya membaca buku saja. Sesuai dengan pernyataan dari Sayyid Ali Khamenei: Membaca buku adalah tugas agama. Saat ini membaca buku dan mendapatkan pengetahuan bukan hanya tugas nasional, tetapi juga kewajiban agama.

Karena itu, dalam rangka menunaikan tugas agama (yang tercantum dalam Al-Alaq ayat 1) bahwa kita diperintahkan untuk iqro. Maknanya yaitu menghimpun pengetahuan di antaranya dengan membaca buku dan alam semesta. Bisa diartikan juga mengkaji dan mengaji kemudian merenungkan hasil dari belajar tersebut agar sampai pada pengakuan bahwa Allah sebagai Tuhan kemudian bersyukur kepada-Nya. Iqro ini merupakan wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya menyuruh kita membaca. Maka orang yang tak membaca harus dipertanyakan ketaatan beragamanya (maaf just kidding). Dan ini saya tuliskan ulasan dari buku-buku yang sudah dibaca secara cepat.

Ensiklopedia Islam dan Iran
Buku yang dibaca berjudul “Ensiklopedia Islam dan Iran: Dinamika Budaya dan Peradaban Islam yang Hidup” ditulis oleh Ali Akbar Velayati dan diberi pengantar oleh Haidar Bagir. Buku ini terjemahan yang diterbitkan Mizan. Isi bukunya menguraikan khazanah peradaban Islam dalam sejarah mulai dari masa Dinasti Umayyah sampai Dinasti Safawiyah di Iran.

Dari sisi keilmuan buku ini juga menguraikan konsep peradaban, budaya, dan kemajuan Islam dalam konteks dunia global. Bisa dikatakan romantisme historis tersaji dalam buku ini. Sehingga dengan membacanya akan diketahui bahwa umat Islam terdahulu telah berkarya dan kontribusi dalam peradaban dunia, yang jejak dan warisannya masih bisa kita ketahui dan nikmati. Salah satunya adalah karya tulis para ulama atau ilmuwan yang sampai kini masih digunakan dan dipakai sebagai bahan pembelajaran keagamaan maupun ilmu-ilmu lainnya.

Buku ini bisa dikatakan lengkap, tetapi tidak komplet. Untuk ilmu-ilmu ternama yang menjadi penopang peradaban manusia seperti filsafat, astronomi, matematika, optik, geografi, sastra, kedokteran, sejarah, dan historigrafi diuraikan dengan menyajikan tokoh dan buku-bukunya. Bisa dikatakan kaya dengan wawasan bila membaca setiap ilmu yang disebutkan di atas. Uraiannya dari tokoh perintis sampai pengembang ilmu dibahas dengan kitab-kitab yang menjadi karya dari setiap tokohnya.

Tentu buku tersebut memperkaya khazanah peradaban, terutama buku-buku sejarah, seperti karya Marshall GS Hodgson, Ira M.Lapidus, Philip K.Hitti, Bernard Lewis, Karen Armstrong, Joel Kraemer, dan lainnya. Tidak disangsikan dari umat Islam pun lahir buku-buku tentang peradaban Islam yang sezaman dengan karya orientalis di atas, seperti Ziauddin Sardar, Hasan Ibrahim Hasan, Mahmuddin Nasr, Hossen Nasr, dan Ameer Ali. 

Catatan saya terkait dengan “Ensiklopedia Islam dan Iran” bahwa buku ini banyak memunculkan tokoh-tokoh ilmuwan dari Persia. Seakan-akan peradaban Islam di masa lalu lahir dari orang-orang Islam yang berkebangsaan Persia. Memang harus diakui dalam sejarah bahwa orang-orang dari Persia ini banyak yang menjadi ilmuwan dan berkarya dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan. Meski tidak dinafikan ada peran serta dari raja-raja yang berkuasa, yang notabene dari kaum Arab, yang memberikan keleluasaan untuk mengembangkan ilmupengetahuan di zamannya.

Selanjutnya, khazanah terkait dengan fikih, ushul fikih, tasawuf, teologi, tafsir Quran, atau yang terkait dengan ilmu-ilmu agama tidak dimunculkan sebagaimana ilmu-ilmu yang disebutkan di atas. Mungkin akan semakin menarik jika ilmu-ilmu agama pun diuraikan dengan baik dari perkembangannya. Sebab khazanah ilmu-ilmu agama pun bagian dari khazanah peradaban Islam, yang sampai hari ini pun terus berkembang dan dibutuhkan oleh umat Islam.

Menguak Akar Spiritualitas Islam Indonesia
Buku kedua yang dibaca berjudul Menguak Akar Spiritualitas Islam Indonesia: Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara. Buku ini hanya 114 halaman dan disusun oleh Tim Icro dan Across, Yogyakarta, tahun 2013. Buku ini menguraikan sejarah Islam di Nusantara, mazhab yang masuk, kekuasaan, dan kebudayaan Islam yang berkembang. Disebutkan bahwa penyebar Islam pertama oleh pedagang dan ulama Syiah serta kaum Sufi. 

Dengan bukti-bukti nama-nama tokoh Islam yang lumrah dipakai kaum Muslim Syiah Indonesia, tradisi yang sama dengan yang dilakukan kaum Syiah dan kuburan yang bentuknya sama seperti di Persia. Sejumlah data tersebut memang masih diperdebatkan akurasinya. Sebab hanya melihat pada bukti arkeologi dan budaya. Tidak ada catatan tertulis dari zamannya yang menyebutkan penyebar Islam merupakan penganut Syiah. Hanya indikasi-indikasi saja yang dipegang dan hanya mengulang kajian pada seminar masuknya Islam yang pertama di Indonesia yang diramaikan oleh diskusi para ulama dan sejarawan seperti Buya Hamka, Abu Bakar Aceh, dan lainnya. 

Yang menarik dari uraian buku tersebut adalah ada kerajaan pertama di Indonesia sebelum Perlak, yaitu Jeumpa. Ini menarik ditelusuri dan memang belum ada yang serius menekuninya. Maklum sumber yang terkait dengan sejarah Islam di Indonesia masih berupa memori kolektif berupa dongeng atau tradisi lisan, dan jejak berupa kuburan yang sulit diverifikasi dari segi waktu. 

Apa yang saya dapatkan dari buku Menguak Akar Spiritualitas Islam Indonesia: Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara? Hanya sebuah kesan historis bahwa Islam mazhab Syiah sudah hadir sebelum penganut Sufi dan pengikut Sunni masuk melakukan Islamisasi di Nusantara. 

Dari membaca buku ini, timbul pertanyaan: untuk apa rekonstruksi Islam yang pertama diungkap? Untuk mengubah penulisan sejarah? Untuk memahamkan pada umat Islam sekarang bahwa kaum Muslim Syiah punya andil dalam khazanah kebudayaan Nusantara? Jika sudah demikian, lantas mau apa? Inilah salah masalah dalam riset ilmiah tentang sejarah bahwa hanya sekadar romantisme historis. Jika kemudian lahir kebijakan pemerintah tentang strategi kebudayaan dan membentuk karakter Muslim Indonesia yang “pelangi” dengan aneka mazhab dan ideologi kemudian terwujud saling menghormati dan sikap pluralis, saya kira maka riset historis layak disambut gembira. Hanya saja yang saya ketahui riset ilmiah akademik tidak pernah menjadi acuan dalam kebijakan pembangunan manusia Indonesia.

Puasa Ramadhan sebuah Perjalanan Spiritual
Buku ketiga yang beres dibaca berjudul “Puasa Ramadhan: Sebuah Perjalanan Spiritual” ditulis oleh Mirza Javad Agha Maliki Tabrizi. Buku ini terbit tahun 2003. Cukup lama dan isinya tidak kedaluarsa. Secara singkat isi bukunya menguraikan adab-adab dalam doa, etika membaca Quran, pemahaman tentang puasa Ramadhan, serta panduan untuk mengawali dan mengakhiri bulan suci Ramadhan. Petunjuknya tidak fiqhi, tetapi bernuansa sufisitik. Jadi, dalam buku aspek batin lebih ditekankan dalam ibadah puasa dengan tujuan mencapai maqam taqwa.

Etika Ukhuwah
Dan ini buku keempat selesai dibaca. Ditulis oleh Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah dengan judul “Etika Ukhuwah”. Buku ini terjemahan juga. Meski ada kata dan kalimat yang rancu saat dibaca, tetapi secara umum sesuai dengan judulnya hendak menguatkan keperibadian umat Islam, terutama generasi muda dalam persaudaraan, persahabatan, dan pergaulan keseharian. Seperti karya Mizra Javad, Sayyid Fadhlullah memberikan panduan untuk generasi muda dalam menjalani aktivitas dengan kupasan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw serta keluarganya.

Bahkan disajikan rangkaian tanya jawab tentang persahabatan dan persaudaraan. Salah satu uraian yang menjadi tanya jawab antara jamaah dengan Sayyid Fadhlullah adalah tentang pilihan marja taqlid yang memutuskan hubungan pertemanan. Kerap kali hanya karena beda marja taqlid kemudian terjadi kerenggangan dalam interaksi dengan teman. Karena beda ulama yang rujuk sehingga tidak mau lagi berteman. Bagi Sayyid Fadhlullah bahwa yang demikian tidak produktif dan tidak maslahat sehingga untuk pertemanan dan persaudaraan jangan didasarkan pada marja, tetapi kualitas akhlak.

Tah ngan sakitu anu tiasa dibagikeun. Punten sanes lauk buruk milu mijah. Ieu mah tawis ngahirupkeun budaya literasi. Apanan dina literasi mah kedah seueur maosan buku sareng nyerat. Tah, bahan kanggo nyerat tangtos tina buku-buku anu diaos. Salain tina pengalaman nyalira jeung kahirupan batur. Anggap bae ieu mah tawis heuheureuyan hungkul. Pidu’ana bade neraskeun maos buku. Hatur nuhun ka sadaya anu parantos kersa maos ieu seratan simkuring. Cag! *** (ahmad sahidin)