SENANG rasanya ketika di pameran buku Bandung, saya membeli buku yang berjudul Rumah Cinta Rasulullah yang diterbitkan Mizan Pustaka Bandung tahun 2007 (cetakan dua). Buku ini tebalnya sekira 300 halaman dan ditulis oleh Ustadz Ahmad Rofi Usmani. Beliau ini dikenal sebagai penerjemah buku-buku sejarah, kebudayaan, pemikiran Islam, dan penulis buku-buku yang bertemakan Rasulullah saw, bahkan editor ahli untuk novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro GK yang terbit pada awal tahun 2010.
Meskipun membeli buku Rumah Cinta Rasulullah ini sudah lama, tetapi saya baru beres pekan kemarin membacanya. Maklum, dalam urusan baca buku, banyak gangguannya dan rampung juga dibacanya. Hanya sekadar baca alias tidak mengkajinya secara kritis, karena urusan kaji-mengkaji ada ahlinya. Saya hanya sekadar membacanya.
Membaca buku “Rumah
Cinta Rasulullah”, seperti membuka tumpukan kitab-kitab hadis yang
di dalamnya memuat berbagai hal yang berhubungan dengan Rasulullah saw. Namun,
dalam buku ini, penulisnya memuatkan kembali riwayat-riwayat Rasulullah saw
yang berkaitan dengan rumah tangga seperti hubungan seksual, tata cara mandi
junub, makanan yang dimakan dan minuman yang disuguhkan para istri Nabi,
termasuk kasus “persekongkolan” para istri Rasulullah saw terhadap Nabi dan
kecemburuan di antara para istri Rasulullah saw.
Mungkin bisa dibilang
bahwa “Rumah Cinta
Rasulullah” ini dapat disebut buku komplet—dalam bahasa
Indonesia—tentang rumah tangga Nabi saw.
Memang kalau dilihat
dengan kajian sejarah, buku tersebut memiliki kekurangan. Salah satunya
mengenai riwayat yang dimuat lebih banyak informasi dari Aisyah binti Abu
Bakar. Karena itu, dari hampir semua tema yang dibahas yang muncul lebih banyak
nama Aisyah. Bahkan, dalam setiap kalimat yang berkaitan dengan Aisyah,
penulisnya menyisipkan kalimat pujian-pujian yang saya berlebihan. Selintas
saja dapat dikatakan bahwa penulis tampaknya termasuk “pengagum” Aisyah binti
Abu Bakar dan mengutamakannya ketimbang para istri lainnya.
Setelah membaca buku “Rumah Cinta Rasulullah”,
saya jadi bertanya-tanya: mengapa informasi atau riwayat dari Sayyidah Khadijah,
istri Rasulullah saw yg pertama, sangat sedikit yang muncul dalam buku
tersebut. Padahal Rasulullah saw bersama Khadijah paling lama dalam menjalankan
kehidupan berumah tangga.
Begitu juga riwayat atau
fakta kehidupan keluarga Rasulullah saw yang melibatkan Ahlu Bayt seperti
Sayyidah Fathimah, Imam Ali, dan cucu Rasulullah saw nyaris tidak ada ruang
dalam buku tersebut. Ke manakah larinya hadis-hadis dan riwayat yang berkaitan
dengan kehidupan Rasulullah saw bersama Ahlu Bayt? Bukankah kehidupan rumah tangga
Rasulullah saw tidak hanya berhubungan dengan Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah
binti Umar bin Khaththab, dan Zainab binti Jahsyi? Bukankah Khadijah, Imam Ali
bin Abi Thalib, dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra, putrinya, yang sehari-hari
bersama Rasulullah saw lebih mengetahui keseharian, kehidupan keluarga, dan
paling lama hidup serta mendampingi Rasulullah saw?
Pertanyaan demi pertanyaan
tersebut menumpuk dalam pikiran saya. Kemudian saya beranikan diri untuk
bertanya pada penulisnya melalui facebook (FB).
Al-Ustadz Ahmad Rofi
Usmani menjawab: “Wa'alaikumussalam.
Khadijah adalah seorang perempuan istimewa. Karena itu, istri tercinta Rasul
itu sengaja tidak saya sajikan kerap dalam buku itu. Saya ingin memberikan
contoh yang lebih akrab dengan kehidupan sehari-hari pembaca lewat kehidupan
istri-istri beliau yang lain. Pengorbanan Khadijah sangat luar biasa dan indah.
Untuk itu, saya menempatkannya di sebuah bab khusus dalam sebuah buku saya yang
lain: “Muhammad Sang Kekasih”. Di sisi lain, masa Rasul di Makkah adalah masa
konsentrasi untuk proses penurunan Quran. Karena itu, masa itu bahan tentang
kehidupan beliau bersama Khadijah dibatasi: demi proses penurunan Quran. Salam.”
Lalu, saya kejar dengan
pertanyaan yang masih senada: “Menurut
Ustadz, ada seberapa banyak hadis-hadis yang diterima dan disampaikan Khadijah
dalam kitab-kitab hadis. Mohon maaf: saya malah lebih banyak menemukan dari
Aisyah ketimbang dari istri Rasul yang pertama. Begitu juga hadis-hadis dari
Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sangat sedikit yang masuk
dalam khazanah hadis-hadis kita.”
Lebih dari satu hari saya
tunggu jawabannya, tetapi tetap tidak muncul. Sambil menunggu jawaban, kemudian
saya cek buku yang ditulisnya. Pada buku “Muhammad sang Kekasih” yang diterbitkan
Mizan Pustaka pada tahun 2009, mulai halaman 71 sampai 90, memang dibahas peran
Khajidah dalam syiar Islam dan pengorbanan hartanya.
Saya membaca bagian
tersebut dan tetap saja pertanyaan saya belum terjawab: mengapa tidak ada
hadis-hadis yang bersumberkan dari Khadijah pada kitab-kitab hadis kita?
Sehingga lebih mudah mendapatkan kisah kehidupan Rasulullah saw dari Aisyah
ketimbang dari Khadijah.
Masih pada buku “Muhammad
sang Kekasih”, pada halaman 74 disebutkan bahwa Khadijah itu seorang janda
berusia 40 tahun. Saya tidak tahu dari sama sumbernya.
Berbeda dengan sejarawan
Sayyid A.A Razwy dalam buku Menapak
Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah
Saw (Jakarta: Lentera, 2002; halaman 179-180) bahwa Khadijah
bukan janda, tetapi seorang lajang yang belum menemukan calon yang cocok.
Bahkan, usianya berbeda sepuluh tahun dengan Muhammad saw.
Khadijah pada masa itu
banyak menerima lamaran dari para pemuka dan penguasa Arab Mekkah, tetapi ia
menampiknya. Khadijah tidak tergoda dengan kekayaan karena ia sendiri seorang
pengusaha yang terkenal kaya raya di Mekkah. Khadijah belum menemukan lelaki yang
dianggapnya cocok dengannya. Karena itu, Khadijah membuat target sampai adanya
seorang laki-laki yang benar-benar mengesankannya, yaitu Muhammad bin Abdullah.
Memang dalam kuliah
sejarah peradaban Islam, yang pernah saya dapatkan di UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, bahwa sejarah Islam tidak lepas dari kepentingan penulisnya. Apalagi
menyangkut riwayat-riwayat atau hadis Rasulullah saw, para muhadis seperti
Bukhari tidak memuat riwayat yang berhubungan dengan Ahlulbait. Pada masa itu
pengikut Ahlulbait sangat dicurigai sebagai pemberontak penguasa sehingga para
penulis sejarah dan hadis berusaha untuk tidak memuatnya karena khawatir
ditangkap penguasa. Apalagi banyak para ulama yang menulis karena “order” dari
penguasa sehingga tidak aneh kalau isinya lebih banyak yang mengagungkan
penguasa. Apabila tidak sesuai dengan pesanan, hukuman keras berupa cambuk dan
bunuh sebagai imbalannya.
Pada masa sekarang ini,
khususnya di Indonesia menulis buku sangat terbuka sehingga berbagai informasi
dan tema keagamaan pun bermunculan. Namun sayangnya, beberapa buku yang
berkaitan dengan Sirah Nabawiyah (baik terjemahan maupun yang ditulis orang
Indonesia) umumnya masih memuat data sejarah yang kurang menyejukkan. Alih-alih
buku tentang Rasulullah saw bukannya menampilkan kearifan, malah banyak yang
sebaliknya. Bahkan, sumber-sumber pun sepertinya mengulang kembali dari buku ke
buku. Mungkin hanya kemasan yang baru, tetapi isinya tetap sama alias
memindahkan semata dalam kertas baru.*** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)