Kamis, 04 Juni 2020

Resensi buku Rumah Cinta Rasulullah Saw


SENANG rasanya ketika di pameran buku Bandung, saya membeli buku yang berjudul Rumah Cinta Rasulullah yang diterbitkan Mizan Pustaka Bandung tahun 2007 (cetakan dua). Buku ini tebalnya sekira 300 halaman dan ditulis oleh Ustadz Ahmad Rofi Usmani. Beliau ini dikenal sebagai penerjemah buku-buku sejarah, kebudayaan, pemikiran Islam, dan penulis buku-buku yang bertemakan Rasulullah saw, bahkan editor ahli untuk novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro GK yang terbit pada awal tahun 2010. 

Meskipun membeli buku Rumah Cinta Rasulullah ini sudah lama, tetapi saya baru beres pekan kemarin membacanya. Maklum, dalam urusan baca buku, banyak gangguannya dan rampung juga dibacanya. Hanya sekadar baca alias tidak mengkajinya secara kritis, karena urusan kaji-mengkaji ada ahlinya. Saya hanya sekadar membacanya.

Membaca buku “Rumah Cinta Rasulullah”, seperti membuka tumpukan kitab-kitab hadis yang di dalamnya memuat berbagai hal yang berhubungan dengan Rasulullah saw. Namun, dalam buku ini, penulisnya memuatkan kembali riwayat-riwayat Rasulullah saw yang berkaitan dengan rumah tangga seperti hubungan seksual, tata cara mandi junub, makanan yang dimakan dan minuman yang disuguhkan para istri Nabi, termasuk kasus “persekongkolan” para istri Rasulullah saw terhadap Nabi dan kecemburuan di antara para istri Rasulullah saw. 

Mungkin bisa dibilang bahwa “Rumah Cinta Rasulullah” ini dapat disebut buku komplet—dalam bahasa Indonesia—tentang rumah tangga Nabi saw. 

Memang kalau dilihat dengan kajian sejarah, buku tersebut memiliki kekurangan. Salah satunya mengenai riwayat yang dimuat lebih banyak informasi dari Aisyah binti Abu Bakar. Karena itu, dari hampir semua tema yang dibahas yang muncul lebih banyak nama Aisyah. Bahkan, dalam setiap kalimat yang berkaitan dengan Aisyah, penulisnya menyisipkan kalimat pujian-pujian yang saya berlebihan. Selintas saja dapat dikatakan bahwa penulis tampaknya termasuk “pengagum” Aisyah binti Abu Bakar dan mengutamakannya ketimbang para istri lainnya. 

Setelah membaca buku “Rumah Cinta Rasulullah”, saya jadi bertanya-tanya: mengapa informasi atau riwayat dari Sayyidah Khadijah, istri Rasulullah saw yg pertama, sangat sedikit yang muncul dalam buku tersebut. Padahal Rasulullah saw bersama Khadijah paling lama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. 

Begitu juga riwayat atau fakta kehidupan keluarga Rasulullah saw yang melibatkan Ahlu Bayt seperti Sayyidah Fathimah, Imam Ali, dan cucu Rasulullah saw nyaris tidak ada ruang dalam buku tersebut. Ke manakah larinya hadis-hadis dan riwayat yang berkaitan dengan kehidupan Rasulullah saw bersama Ahlu Bayt? Bukankah kehidupan rumah tangga Rasulullah saw tidak hanya berhubungan dengan Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin Khaththab, dan Zainab binti Jahsyi? Bukankah Khadijah, Imam Ali bin Abi Thalib, dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra, putrinya, yang sehari-hari bersama Rasulullah saw lebih mengetahui keseharian, kehidupan keluarga, dan paling lama hidup serta mendampingi Rasulullah saw? 

Pertanyaan demi pertanyaan tersebut menumpuk dalam pikiran saya. Kemudian saya beranikan diri untuk bertanya pada penulisnya melalui facebook (FB).  

Al-Ustadz Ahmad Rofi Usmani menjawab: “Wa'alaikumussalam. Khadijah adalah seorang perempuan istimewa. Karena itu, istri tercinta Rasul itu sengaja tidak saya sajikan kerap dalam buku itu. Saya ingin memberikan contoh yang lebih akrab dengan kehidupan sehari-hari pembaca lewat kehidupan istri-istri beliau yang lain. Pengorbanan Khadijah sangat luar biasa dan indah. Untuk itu, saya menempatkannya di sebuah bab khusus dalam sebuah buku saya yang lain: “Muhammad Sang Kekasih”. Di sisi lain, masa Rasul di Makkah adalah masa konsentrasi untuk proses penurunan Quran. Karena itu, masa itu bahan tentang kehidupan beliau bersama Khadijah dibatasi: demi proses penurunan Quran. Salam.” 

Lalu, saya kejar dengan pertanyaan yang masih senada: “Menurut Ustadz, ada seberapa banyak hadis-hadis yang diterima dan disampaikan Khadijah dalam kitab-kitab hadis. Mohon maaf: saya malah lebih banyak menemukan dari Aisyah ketimbang dari istri Rasul yang pertama. Begitu juga hadis-hadis dari Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sangat sedikit yang masuk dalam khazanah hadis-hadis kita.” 

Lebih dari satu hari saya tunggu jawabannya, tetapi tetap tidak muncul. Sambil menunggu jawaban, kemudian saya cek buku yang ditulisnya. Pada buku “Muhammad sang Kekasih” yang diterbitkan Mizan Pustaka pada tahun 2009, mulai halaman 71 sampai 90, memang dibahas peran Khajidah dalam syiar Islam dan pengorbanan hartanya. 

Saya membaca bagian tersebut dan tetap saja pertanyaan saya belum terjawab: mengapa tidak ada hadis-hadis yang bersumberkan dari Khadijah pada kitab-kitab hadis kita? Sehingga lebih mudah mendapatkan kisah kehidupan Rasulullah saw dari Aisyah ketimbang dari Khadijah. 

Masih pada buku “Muhammad sang Kekasih”, pada halaman 74 disebutkan bahwa Khadijah itu seorang janda berusia 40 tahun. Saya tidak tahu dari sama sumbernya. 

Berbeda dengan sejarawan Sayyid A.A Razwy dalam buku Menapak Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah Saw (Jakarta: Lentera, 2002; halaman 179-180) bahwa Khadijah bukan janda, tetapi seorang lajang yang belum menemukan calon yang cocok. Bahkan, usianya berbeda sepuluh tahun dengan Muhammad saw. 

Khadijah pada masa itu banyak menerima lamaran dari para pemuka dan penguasa Arab Mekkah, tetapi ia menampiknya. Khadijah tidak tergoda dengan kekayaan karena ia sendiri seorang pengusaha yang terkenal kaya raya di Mekkah. Khadijah belum menemukan lelaki yang dianggapnya cocok dengannya. Karena itu, Khadijah membuat target sampai adanya seorang laki-laki yang benar-benar mengesankannya, yaitu Muhammad bin Abdullah. 

Memang dalam kuliah sejarah peradaban Islam, yang pernah saya dapatkan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bahwa sejarah Islam tidak lepas dari kepentingan penulisnya. Apalagi menyangkut riwayat-riwayat atau hadis Rasulullah saw, para muhadis seperti Bukhari tidak memuat riwayat yang berhubungan dengan Ahlulbait. Pada masa itu pengikut Ahlulbait sangat dicurigai sebagai pemberontak penguasa sehingga para penulis sejarah dan hadis berusaha untuk tidak memuatnya karena khawatir ditangkap penguasa. Apalagi banyak para ulama yang menulis karena “order” dari penguasa sehingga tidak aneh kalau isinya lebih banyak yang mengagungkan penguasa. Apabila tidak sesuai dengan pesanan, hukuman keras berupa cambuk dan bunuh sebagai imbalannya. 

Pada masa sekarang ini, khususnya di Indonesia menulis buku sangat terbuka sehingga berbagai informasi dan tema keagamaan pun bermunculan. Namun sayangnya, beberapa buku yang berkaitan dengan Sirah Nabawiyah (baik terjemahan maupun yang ditulis orang Indonesia) umumnya masih memuat data sejarah yang kurang menyejukkan. Alih-alih buku tentang Rasulullah saw bukannya menampilkan kearifan, malah banyak yang sebaliknya. Bahkan, sumber-sumber pun sepertinya mengulang kembali dari buku ke buku. Mungkin hanya kemasan yang baru, tetapi isinya tetap sama alias memindahkan semata dalam kertas baru.*** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)