Masih di bulan Syawal dan saya masih membaca buku. Maklum stay at home
(karena nganggur). Buku yang dibaca berjudul "Al-Juwaini: Peletak Dasar
Teologi Rasional dalam Islam" karya Tsuroya Kiswati.
Buku Al-Juwaini ini merupakan disertasi di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Diterbitkan menjadi buku oleh Erlangga tahun 2005. Meski tebalnya 206 halaman, tetapi membaca buku ini seperti saya membaca buku yang tebalnya 400 halaman.
Lebih dari satu pekan saya membacanya. Hurufnya kecil dan rapat. Yang
paling menyulitkan pada susunan kata dan kalimat yang masih bernuansa
akademik.
Temanya pun akademik yaitu teologi Islam yang bercorak filsafat. Dan
memang teologi Islam (Ilmu Kalam) itu dekat dengan filsafat karena dalam
sejarah dipengaruhi pemikiran Yunani yang diterjemahkan masa kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Al-Juwaini yang dikenal Imam dua kota suci (alharamain) ini lahir
tahun 1028 Masehi. Ia generasi sebelum Abu Hamid Ghazali dan sebelum kalahnya
Abbasiyah oleh kaum Tartar.
Sebelum lahir Al-Juwaini pun, Timur Tengah ramai dengan wacana ilmu Kalam dan
filsafat. Masa ini lahir mutakalimun (teolog) dari aliran Khawarij, Qadariyah,
Jabariyah, Syiah, Asyariyah, Mutazilah, Maturidiyah, dan lainnya.
Tokoh filsafat Islam pun bermunculan mulai Al-Farabi, Sijistani,
Al-Kindi, Ibnu Sina, komunitas Ikhwan Shafa, dan lainnya. Mereka ini dikenal
orang-orang yang menghidupkan pemikiran Islam dengan filsafat dan kajian agama
(teks Alquran) dengan corak rasional. Generasi ini terkenal sebagai penyumbang
peradaban manusia dari kaum Muslim.
Kembali pada buku. Tsuroya Kiswati mengkaji pemikiran Al-Juwaini mulai dari
situasi dan kondisi zaman yang melingkupinya, sosok dan biografi Al-Juwaini,
karya tulisnya, dan pokok-pokok pemikiran Al-Juwaini.
Sebagai disertasi tentu tidak diragukan buku ini menggunakan rujukan berlimpah dari reference berbahasa Arab dan Inggris. Sekira empat bab yang disajikannya. Dengan porsi dominan pada pemikiran Al-Juwaini.
Secara umum, wacana yang diuraikan Al-Juwaini seputar keyakinan, ketuhanan, takdir, qadha wal qadar, kenabian, kitab suci, akhirat (surga dan neraka), kebangkitan dari kubur, syafaat, ikhtiar dan pasrah manusia, dan keislaman seorang mukmin. Dan pada uraiannya pun tidak lepas dari dalil teks suci agama.
Mengenai ini, sayangnya Tsuroya Kiswati dalam menyajikan pemikiran Al-Juwaini tidak mencantumkan kutipan langsung berupa pernyataan dari setiap pemikirannya. Hanya tersaji uraian berupa pernyataan dari penulis atas pembacaan dan telaah karya-karya Al-Juwaini.
Yang menarik buat saya dari disertasi Tsuroya Kiswati ini bahwa dalam uraian mengenai pokok pemikiran Al-Juwaini dibandingkan dengan pemikiran dari Mutazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah dan lainnya. Diterangkan yang sama pada aliran teologi tersebut dengan Al-Juwaini, juga perbedaannya dengan ulasan yang dirujuk pada berbagai pustaka dari para ahli dari luar negeri maupun dalam negeri. Ini menunjukkan keluasan wawasan dari sang doktor bidang pemikiran Islam jebolan IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Simpulan dari Tsuroya Kiswati bahwa Al-Juwaini bukan seorang Mutazilah meski ia rasional dalam berpikir. Bukan seorang Asy'ariyah meski mengambil pemikiran dari tokoh Asy'ariyah, bahkan ada kritikan padanya.
Bukan pula seorang Maturidiyah meski ada kesamaan dalam kajian akhirat
dan kebangkitan setelah mati saat tiba Kiamat. Al-Juwaini ini intelektual
Muslim yang berdiri sendiri dalam ilmu Kalam (teologi), sehingga layak disebut
aliran Juwainiyah. Dan tak menjadi soal dikatakan aliran tersendiri, bukankah
mazhab agama yang muncul berasal dari tokoh pencetusnya.
Saya kira memang bisa dikatakan dinamis untuk pemikiran teologi Islam abad klasik sampai abad pertengahan Masehi. Bentuknya khas, yaitu mengkaji teks suci Islam dengan penalaran akal dan mengutip para mutakalimun sebelumnya.
Sangat kurang mengutip pendapat para sahabat Rasulullah saw, bahkan
hadis digunakan untuk legitimasi dari doktrin teologi yang dirumuskan oleh sang
teolog. Jika ia punya murid, maka muridnya itu yang menyebarluaskan pemikiran
sang guru.
Bahkan dari satu aliran, ada murid yang menyempal kemudian menjadi
aliran baru. Ini kasus Abu Hasan Asy'ari yang keluar dari Mutazilah kemudian
mendirikan aliran sendiri Asy'ariyah, yang selanjutnya dikenal tokoh perintis
mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Demikian dinamika pemikiran di tengah umat Islam, yang kini pada abad
modern secara teologi terdapat Syiah dan Ahlussunnah serta Wahabiyah.
Tentu kalau dibaca pada khazanah ilmiah terkait dengan tiga aliran
teologi Islam, banyak bermunculan aliran baru dari ketiganya.
Saya kira wajar terjadi aneka pemikiran karena manusia diberi akal
kemudian saat digunakan muncul ide atau gagasan, selanjutnya dituliskan secara
sistematis dengan legitimasi teks suci menjadi teori suatu paham keagamaan
(firqah) dalam Islam.
Saya kira itu saja yang dapat saya bagikan hasil bacanya. Maklum susah
dicerna bukunya, meski saat kuliah dapat pelajaran ilmu Kalam. Mungkin karena
tidak update lagi dengan teologi dan filsafat maka banyak yang tidak dipahami
dan lupa. Maaf kurang informatif ulasan bukunya. Cag! *** (Ahmad Sahidin)
Note: resensi tsb sudah pernah tayang pada Kompasiana (9/6/2020)