Diceritakan ada seorang musafir yang baru singgah. Di kota ia bertanya
kepada salah seorang penduduk. “Di manakah bisa kutemukan orang saleh yang ahli
dalam menjahit?”
“Penjahit yang kau tanyakan telah pergi. Tinggal seorang lagi. Tapi ia
orang yang suka menipu. Setiap orang yang datang selalu dikecewakannya karena ia
pandai menggunting kain sampai habis. Saking piawainya engkau tidak akan tahu
bahwa dia telah menipumu.”
“Benarkah? Tapi aku ini orang baru. Ia tidak mengenalku dan aku tidak
akan tertipu olehnya,” jawab sang musafir seraya memintanya untuk menunjukkan arah
jalan yang harus dilaluinya.
Sampailah musafir itu di rumah penjahit. Setelah mengucapkan salam maka
berbincanglah mereka. Sang musafir itu mengutarakan maksud kedatangannya. Dan
penjahit itu pun mengiyakannya. Mulailah penjahit itu mengukur kain dari ujung
ke ujung. Dari awal hingga akhir. Sambil mengukur kain, penjahit itu berkata,
”Tuan, jika tidak keberatan aku ingin bercerita padamu. Biar tuan tidak jemu
menunggu.”
“Tentu, berceritalah,” jawab musafir seraya mendengarkan cerita-cerita
lucu yang disampaikan penjahit. Setiap kali penjahit itu bercerita, musafir itu
pun tertawa. Semakin sering penjahit itu bercerita makin gelaklah tawa musafir
itu. Saat tertawa tanpa disadari mata musafir itu tertutup dan saat itulah
tangan penjahit memotong-memotong kain. Semakin lama bercerita makin banyak
kain yang terpotong.
“Tuan, maafkan hamba, kain yang tuan bawa tidak cukup. Kembalillah lain
kali dengan kain yang lebih panjang,” ucap penjahit kepada sang musafir. Saat
itu musafir sadar bahwa dirinya ditipu. Akhirnya, sang musafir itu pun pulang
membawa potongan-potongan kain. Ia pulang seraya diiringi gumaman syair sang
penjahit, “Berangkatlah wahai yang tertipu. Berangkatlah wahai orang yang tidak
sadar. Celakalah bila aku bercerita kembali padamu. Aneh benar kau tertawa,
padahal mestinya menjerit kesakitan. Sekiranya kau tahu sedikit saja tentang
kebenaran, mungkin kau akan menangis sebagai ganti tawamu.”
Demikian kisah Jalaluddin Rumi, seorang sufi dari Persia. Apa
hikmahnya? Dalam cerita itu Rumi memberikan pelajaran bahwa kita yang hidup di
dunia ini ibarat musafir yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain.
Bukankah kita berasal dari alam dzar, alam sebelum ruh kita ditiupkan ke rahim
ibu, dan kita berada dalam alam rahim; kemudian lahir ke dunia (dunya) dan kita
pun wafat. Lalu masuk ke dalam kubur atau alam malakut (alam pembatas antara
dunia dan akhirat ) dan di sana kita menunggu hingga kelak ke
akhirat—“sesungguhnya kamu akan melampaui tahap demi tahap (tangga demi
tangga)” (QS Al-Insyiqaq : 19).
Ya, manusia di dunia ini adalah musafir yang banyak menemukan cerita
lucu dan menyenangkan hati. Kita sebenarnya adalah musafir yang bergaul dengan
penjahit yang banyak menghabiskan waktu dengan berbagai tipuannya. Penjahit
yang menipu itu bernama cinta dunia (hubbuddunya). Bukankah kita ingin memiliki
uang yang banyak dan tempat tinggal yang mewah? Bukankah kita merasakan
nikmatnya ketika memakan makanan yang enak-enak; atau merasa bangga ketika
jabatan sosial kita melebihi tetangga? Itulah bentuk dari ketidaksadaran
orang-orang yang di-ninabobo-kan dan dimabukkan dunia.
Buktinya, kini banyak orang-orang yang hanya sibuk mengumpulkan harta
dan memperkuat jabatannya. Atau mereka yang mengukur segala sesuatunya dari
aspek materi dan hal-hal yang nampak semata. Mereka tidak pernah sadar bahwa
perjalanan hidup ini tidak hanya di dunia saja. Mereka sering lupa akan alam
akhirat yang lebih luas dan lebih nyata dari dunia. Mereka jahil atas
pengetahuan yang sempurna karena terhalangi dengan berbagai kesenangan dan keasyikannya di dunia. Inilah
watak manusia yang tidak seimbang. Manusia yang hanya berpikir satu arah (one
dimensional man) dan mengabaikan hal-hal yang ada di luar dunianya.
Ya, kita harus introspeksi apakah berwatak seperti demikian? Dan kita
harus menyadari bahwa keberadaan manusia di dunia kian lama manusia kian
bertambah. Tambah usia tambah pengalaman. Tapi juga kian banyak yang berkurang.
Bukankah kian tua mata kita mulai rabun dan remang-remang. Makin tua telinga
makin kurang ketajamannya. Makin tua kulit tidak kencang dan malah
keriput.Rambut kita kian tua berubah warna. Bahkan kecantikan dan ketampanan
pun berubah hingga tidak menarik lagi. Dan tanpa terasa hari ke hari berganti
pekan; pekan ke pekan berganti bulan; bulan ke bulan berganti tahun dan tahun
ke tahun berganti abad. Akhirnya dari waktu ke waktu, jam ke jam, detik demi
detik, sampailah pada batas hidup di dunia yang ditandai dengan mati. Kemudian dikubur dan dilupakan. Beruntunglah kalau punya keturunan saleh yang mendoakannya. Beruntung pula yang punya amal sosial yang pahalanya mengalir. Beruntung mereka yang memberikan pengajaran agama dan dijalankan illmu yang dapatkannya itu. Pasti yang mengajarinya itu akan dapat pula dari perilaku ibadah dari setiap murid yang diajarinya. Setiap kebaikan yang dilakukan di dunia pasti akan berbuah pahala nanti di akhirat. Kita sadar dan banyaklah ibadah serta lakukan kebaikan karena batas hidup ini tidak dapat ditentukan oleh manusia; hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Dalam kitab suci Al-Quran, Allah Subhana wa Ta'ala berfirman: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, apabila
datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak
dapat pula memajukannya” (QS Yunus:49). Allah Subhana wa Ta'ala berfirman: “dan tiap-tiap umat punya batas waktu yang ditentukan. Maka apabila datang
batas waktu pada mereka yang tidak dapat diakhirkan sedikit pun dan tidak juga
meminta untuk didahulukan” (QS Al-A’raf : 34). Bahkan Allah kembali menegaskan
dalam firman-Nya: “satu umat tidak bisa mendahulukan batas waktu dan tidak bisa
juga mengakhirkan batas waktu itu” (QS
Al-Hijr: 5).
Oleh karena itu, sebagai Muslim jangan menyia-nyiakan hidup yang
sebentar ini. Mari berusaha memperbanyak bekal untuk perjalanan di alam
selanjutnya. Bukankah kita adalah musafir yang sedang menunggu giliran dijemput
malaikat maut? Siapkah? Bekal apa yang telah kita persiapkan? Cag! *** (ahmad sahidin)