Jumat, 12 Juni 2020

Kita adalah Musafir

Diceritakan ada seorang musafir yang baru singgah. Di kota ia bertanya kepada salah seorang penduduk. “Di manakah bisa kutemukan orang saleh yang ahli dalam menjahit?”

“Penjahit yang kau tanyakan telah pergi. Tinggal seorang lagi. Tapi ia orang yang suka menipu. Setiap orang yang datang selalu dikecewakannya karena ia pandai menggunting kain sampai habis. Saking piawainya engkau tidak akan tahu bahwa dia telah menipumu.”

“Benarkah? Tapi aku ini orang baru. Ia tidak mengenalku dan aku tidak akan tertipu olehnya,” jawab sang musafir seraya memintanya untuk menunjukkan arah jalan yang harus dilaluinya.

Sampailah musafir itu di rumah penjahit. Setelah mengucapkan salam maka berbincanglah mereka. Sang musafir itu mengutarakan maksud kedatangannya. Dan penjahit itu pun mengiyakannya. Mulailah penjahit itu mengukur kain dari ujung ke ujung. Dari awal hingga akhir. Sambil mengukur kain, penjahit itu berkata, ”Tuan, jika tidak keberatan aku ingin bercerita padamu. Biar tuan tidak jemu menunggu.”

“Tentu, berceritalah,” jawab musafir seraya mendengarkan cerita-cerita lucu yang disampaikan penjahit. Setiap kali penjahit itu bercerita, musafir itu pun tertawa. Semakin sering penjahit itu bercerita makin gelaklah tawa musafir itu. Saat tertawa tanpa disadari mata musafir itu tertutup dan saat itulah tangan penjahit memotong-memotong kain. Semakin lama bercerita makin banyak kain yang terpotong.

“Tuan, maafkan hamba, kain yang tuan bawa tidak cukup. Kembalillah lain kali dengan kain yang lebih panjang,” ucap penjahit kepada sang musafir. Saat itu musafir sadar bahwa dirinya ditipu. Akhirnya, sang musafir itu pun pulang membawa potongan-potongan kain. Ia pulang seraya diiringi gumaman syair sang penjahit, “Berangkatlah wahai yang tertipu. Berangkatlah wahai orang yang tidak sadar. Celakalah bila aku bercerita kembali padamu. Aneh benar kau tertawa, padahal mestinya menjerit kesakitan. Sekiranya kau tahu sedikit saja tentang kebenaran, mungkin kau akan menangis sebagai ganti tawamu.”

Demikian kisah Jalaluddin Rumi, seorang sufi dari Persia. Apa hikmahnya? Dalam cerita itu Rumi memberikan pelajaran bahwa kita yang hidup di dunia ini ibarat musafir yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Bukankah kita berasal dari alam dzar, alam sebelum ruh kita ditiupkan ke rahim ibu, dan kita berada dalam alam rahim; kemudian lahir ke dunia (dunya) dan kita pun wafat. Lalu masuk ke dalam kubur atau alam malakut (alam pembatas antara dunia dan akhirat ) dan di sana kita menunggu hingga kelak ke akhirat—“sesungguhnya kamu akan melampaui tahap demi tahap (tangga demi tangga)” (QS Al-Insyiqaq : 19).

Ya, manusia di dunia ini adalah musafir yang banyak menemukan cerita lucu dan menyenangkan hati. Kita sebenarnya adalah musafir yang bergaul dengan penjahit yang banyak menghabiskan waktu dengan berbagai tipuannya. Penjahit yang menipu itu bernama cinta dunia (hubbuddunya). Bukankah kita ingin memiliki uang yang banyak dan tempat tinggal yang mewah? Bukankah kita merasakan nikmatnya ketika memakan makanan yang enak-enak; atau merasa bangga ketika jabatan sosial kita melebihi tetangga? Itulah bentuk dari ketidaksadaran orang-orang yang di-ninabobo-kan dan dimabukkan dunia.

Buktinya, kini banyak orang-orang yang hanya sibuk mengumpulkan harta dan memperkuat jabatannya. Atau mereka yang mengukur segala sesuatunya dari aspek materi dan hal-hal yang nampak semata. Mereka tidak pernah sadar bahwa perjalanan hidup ini tidak hanya di dunia saja. Mereka sering lupa akan alam akhirat yang lebih luas dan lebih nyata dari dunia. Mereka jahil atas pengetahuan yang sempurna karena terhalangi dengan berbagai  kesenangan dan keasyikannya di dunia. Inilah watak manusia yang tidak seimbang. Manusia yang hanya berpikir satu arah (one dimensional man) dan mengabaikan hal-hal yang ada di luar dunianya.

Ya, kita harus introspeksi apakah berwatak seperti demikian? Dan kita harus menyadari bahwa keberadaan manusia di dunia kian lama manusia kian bertambah. Tambah usia tambah pengalaman. Tapi juga kian banyak yang berkurang. Bukankah kian tua mata kita mulai rabun dan remang-remang. Makin tua telinga makin kurang ketajamannya. Makin tua kulit tidak kencang dan malah keriput.Rambut kita kian tua berubah warna. Bahkan kecantikan dan ketampanan pun berubah hingga tidak menarik lagi. Dan tanpa terasa hari ke hari berganti pekan; pekan ke pekan berganti bulan; bulan ke bulan berganti tahun dan tahun ke tahun berganti abad. Akhirnya dari waktu ke waktu, jam ke jam, detik demi detik, sampailah pada batas hidup di dunia yang ditandai dengan mati. Kemudian dikubur dan dilupakan. Beruntunglah kalau punya keturunan saleh yang mendoakannya. Beruntung pula yang punya amal sosial yang pahalanya mengalir. Beruntung mereka yang memberikan pengajaran agama dan dijalankan illmu yang dapatkannya itu. Pasti yang mengajarinya itu akan dapat pula dari perilaku ibadah dari setiap murid yang diajarinya. Setiap kebaikan yang dilakukan di dunia pasti akan berbuah pahala nanti di akhirat. Kita sadar dan banyaklah ibadah serta lakukan kebaikan karena batas hidup ini tidak dapat ditentukan oleh manusia; hanya Allah saja yang mengetahuinya.

Dalam kitab suci Al-Quran, Allah Subhana wa Ta'ala berfirman: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, apabila datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya” (QS Yunus:49). Allah Subhana wa Ta'ala berfirman: “dan tiap-tiap umat punya batas waktu yang ditentukan. Maka apabila datang batas waktu pada mereka yang tidak dapat diakhirkan sedikit pun dan tidak juga meminta untuk didahulukan” (QS Al-A’raf : 34). Bahkan Allah kembali menegaskan dalam firman-Nya: “satu umat tidak bisa mendahulukan batas waktu dan tidak bisa juga mengakhirkan batas waktu itu” (QS  Al-Hijr: 5).

Oleh karena itu, sebagai Muslim jangan menyia-nyiakan hidup yang sebentar ini. Mari berusaha memperbanyak bekal untuk perjalanan di alam selanjutnya. Bukankah kita adalah musafir yang sedang menunggu giliran dijemput malaikat maut? Siapkah? Bekal apa yang telah kita persiapkan? Cag! *** (ahmad sahidin)