Senin, 08 Juni 2020

Resensi buku Berjalan di Bawah Cahaya Ahlulbait as


Alhamdulillah tuntas juga saya membaca buku. Pada masa pandemi ini, buku-buku yang berada pada rak, saya cicil untuk diselesaikan bacanya. Dan sekira tiga hari saya menamatkan buku "Berjalan di Bawah Cahaya Ahlulbait as" karya Hasan Musa Ash-Shafar. Sebuah terjemah dari kitab "Idha'at min Sirah Ahlil Bait as" yang terbit di Qathif tahun 1430 H. dan diterjemahkan oleh Rahmat Hidayat. Kemudian terjemahnya dalam bahasa Indonesia terbit tahun 2017 oleh YIMC Bandung.

Saya anggap buku ini sedang coba promosikan keindahan akhlak, sejarah, dan kehidupan para Imam Syiah Imamiyah yang populer disebut mazhab Ahlulbait. Sebelas Imam Ahlulbait diulas dengan menyajikan akhlak, sikap teladan dihadapan musuh dan non Muslim, dan kutipan kata hikmah dari Ahlulbait.

Ketika membaca buku, serasa kembali pada masa kuliah di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Merentang jauh ke masa awal Islam tumbuh, penyebaran, perkembangan dengan dinamika dinasti dan politik dalam sejarah umat Islam dan kejayaan ilmu-ilmu dalam peradaban dunia. Dan yang harus mengelus dada muncul aneka peristiwa kezaliman dan sikap zalim penguasa (dinasti Umayyah dan Abbasiyah) kepada Ahlulbait. Dari buku itu saya mengetahui sejarah umat Islam tidak lepas dari darah dan rebutan kekuasaan. Sampai sekarang pun itu yang terjadi.

Dalam buku "Berjalan di Bawah Cahaya Ahlulbait as", saya temukan bahwa Imam-imam Syiah tidak tertarik dengan jabatan kekuasaan dan menghindar dari urusan politik. Dari duabelas Imam, hanya Sayyidina 'Ali bin Abu Thalib yang memegang jabatan khalifah. Itu pun dengan "terpaksa" diterimanya demi kemaslahatan umat. Kemudian Imam Ali Ridha, yang dengan terpaksa pula menjadi putra mahkota pada dinasti Abbasiyah. Tanpa ikut dalam urusan mengatur kekuasaan. Murni Beliau terima untuk menyiarkan dakwah Islam.

Hampir seluruh para Imam Syiah, dari yang kesatu sampai sebelas, mereka wafat dibunuh dan diracun. Mereka disebut orang-orang syahid dan hari wafatnya diperingati oleh kaum Muslim Syiah sebagai syahadah atau haul.

Dari buku tersebut, saya mengetahui bahwa para Imam Syiah ini dalam aktivitasnya tidak lepas dari keilmuan dan syiar agama Islam. Kata-hikmah hikmah dan tanya jawab keagamaan dari mereka dihimpun oleh para muridnya dalam berbagai kitab hadis dan tarikh. Benar-benar menjadi acuan bagi orang Islam sekarang untuk melihat model ideal Muslim setelah Rasulullah Saw.

Sebut saja Imam Jafar Shadiq putra Imam Muhammad Baqir putra Imam Ali Zainal Abidin putra Al-Husain, cucu Rasulullah saw dari Sayyidah Fathimah Zahra. Imam Jafar ini dalam situasi kecamuk politik pernah ditawari untuk menjadi penguasa dengan cara mengerahkan pasukan untuk menghabisi dinasti Umayyah yang sedang fase keruntuhan.

Ditolak oleh Imam Jafar karena ingin fokus membimbing umat dan mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Di antara muridnya, Abu Hanifah. Ia selaku tokoh mazhab fikih Hanafi berguru kepada Imam Jafar. Beberapa ilmuwan Muslim yang populer dalam sejarah Islam pun dikatakan pernah belajar pada Imam Jafar Shadiq dan kepada Imam Musa Kazhim putra Imam Jafar.

Sejak Al-Husain wafat sampai Imam Hasan Askari, yang kesebelas, aktivitas kehidupan yang dijalani Imam Syiah tidak lepas dari dialog agama dan keilmuan. Sampai para penguasa khawatir dengan Imam Syiah, kalau jamaahnya yang banyak digerakkan untuk berontak pada penguasa. Sehingga dengan dicari-cari alasan, maka para Imam Syiah ini ditangkap kemudian dipenjara dan dizalimi. Meski demikian saat bebas, para Imam Syiah ini tidak balas dendam dengan menggerakkan jamaahnya. Mereka malah kembali pada majelis ilmu dan membimbing umatnya. Sepertinya tidak punya kecenderungan politik pada sosok-sosok Imam Syiah. Itu yang saya dapatkan dari buku tersebut.

Apalagi kalau membaca riwayat berupa hikmah dan penjelasan mengenai hadis maupun Alquran dari para Imam Ahlulbait sangat bernas, berisi penuh makna, dan mudah dipahami. Silahkan baca buku Nahjul Balaghah, Bihar Anwar, Al-Kafi, Mizanul Hikmah, Wasail Asy-Syiah, dan lainnya. Pasti menemukan sesuatu mencerahkan berupa pemahaman atau pernyataan yang akan segera dibenarkan dengan akal sehat kita. Dan pada karya Hasan Musa Ash-Shafar pun tercantum beberapa pesan hikmah dari para Imam Syiah tersebut.

Saya kira membaca buku karya ulama Syiah seperti Ash-Shafar ini tidak haram. Tidak akan membuat pembacanya auto-Syiah. Dan saya pun sampai sekarang masih seorang Sunni dengan kultur Nahdliyyin.

Jadi, jangan takut membaca buku yang berseberangan dengan keyakinan Anda. Anggaplah sebagai pengetahuan saja jika yang Anda baca tersebut bertentangan dengan paham yang Anda yakini. Seperti kaum Orientalis Barat belajar agama Islam tidak auto menjadi Muslim. Malah mereka tetap saja kuat dengan agamanya.

Jadi, bacalah buku yang memperkaya pemikiran dan memantapkan jiwa supaya makin tercerahkan hidup ini. Meski tak punya harta, ilmu dan kearifan sikap harus dimiliki. Karena itu, yang berharga dan mengantarkan kita untuk amaliyah. *** (Ahmad Sahidin, Alumni UIN SGD Bandung)