SUATU ketika Rasulullah saw bertanya pada para
sahabat, "Siapa yang kamu anggap mati syahid?" Para sahabat menjawab,
"Orang yang terbunuh dalam jihad fisabilillah, itulah yang mati
syahid."
"Kalau begitu sungguh sedikit orang yang
mati syahid daripada umatku," timpah Rasulullah saw. Kemudian salah
seorang di antara mereka balik tanya, "Maka, siapakah wahai
Rasulullah?" Nabi Muhammad saw menjawab, "Mereka yang terbunuh dalam
jihad fisabilillah, dia mati syahid. Siapa yang mati di jalan Allah (sedang
beribadah) ia mati syahid, dan siapa yang mati terkena wabak taun maka ia mati
syahid, siapa yang mati karena kolera ia mati syahid, dan yang mati karena
tenggelam ia mati syahid juga" (HR Muslim).
Apabila melihat hadits tersebut, istilah
syahid tak hanya melekat pada yang mengorbankan jiwa dan raga, atau perang
menegakkan agama Islam, tapi mereka yang berjuang untuk kemaslahatan umat juga
bila wafat termasuk syahid. Maka tak salah bila kaum Muslimin yang berjuang
mempertahankan kebenaran dan menegakkan keadilan digelari Syuhadâ ‘Alan
Nâs—yang menjadi saksi-saksi kebenaran di tengah-tengah manusia. Artinya,
seorang syuhada adalah orang yang menjadi bukti dari kecintaannya kepada
kebenaran. Sehingga keberadaannya selalu dikenang sepanjang masa. Al-Quran
menerangkan bahwa orang yang mati syahid itu tidak mati, selalu hidup. Allah
berfirman, “Jangan kamu kira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati,
sebenarnya mereka hidup di sisi Allah dan diberi rezeki” (Qs.Ali-Imrân[3]: 169)
dan “Janganlah kamu berkata, orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu
mati; sebenarnya mereka itu hidup, tapi
kalian tidak menyadarinya” (Qs.Al-Baqarah[2]: 154).
Tentu tidak semua orang yang berjuang
dikatakan mati syahid. Lalu, siapakah yang termasuk syahid itu? Dalam hadits
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim disebutkan, “Siapa saja yang berperang dan
terbunuh untuk mendekatkan kalimâtullâh, maka dia termasuk orang yang mati
syahid.” Yakni yang menegakkan kebenaran agama dan berani menyatakan kebenaran
di hadapan siapa pun, termasuk pemerintah.
Pernah suatu ketika khalifah Umar bin
Khaththab meminta rakyatnya untuk membenarkan kebijakan-kebijakannya. Kemudian
salah seorang di antara mereka berdiri mencabut pedangnya dan berkata, “Kami
akan mendukung engkau, kalau engkau membela kebenaran dan kami akan
membetulkannya dengan pedang ini, kalau engkau berbuat salah.”
Mendengar itu, Umar segera memeluknya dan
mengucapkan terima kasih. Namun berbeda dengan penguasa dzalim, kafir atau penjajah.
Setiap diingatkan, pasti dibalas siksa dan hukuman. Karena itu, peristiwa
heroik masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) dalam rangka
membebaskan bangsa dari penjajahan bangsa asing yang telah menghilangkan ribuan
nyawa, merupakan sebuah tindakan yang mulia.
Bukankah banyak pejuang-pejuang Muslim yang
wafat dalam peperangan mengusir penjajah? Mereka semua mengorbankan jiwa dan
raga demi tegaknya Indonesia. Tak ada yang pantas dikenang selain pahlawan,
syuhada. Mari selalu mengenang, meneladani, dan melanjutkan perjuangannya
dengan semangat patriotisme yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. [ahmad
sahidin]