Rabu, 09 Oktober 2019

Pengaruh Islam dalam Kebudayaan

Sejarah mengisahkan bahwa Kerajaan Islam Mataram dan Kerajaan Islam Banten memperluas daerah kekuasaan dengan masuk dan berupaya melenyapkan Kerajaan Sunda Pajajaran. Konon, pasukan Islam itu menyebut orang-orang Sunda yang tidak mau masuk Islam dengan sebutan baduy (badawi) karena lari ke hutan yang kini menyebut dirinya Urang Kanekes. Orang Sunda Kanekes ini adalah orang Sunda yang paling kuat memegang ikrar penguasa Sunda bahwa “turunan pajajaran anu mikukuhkeun agama sunda wiwitan, ngajauhkeun eslam” [Majalah Desantara, Edisi 02/ Tahun 01/ 2001, halaman 41].

Prof. Dr. Edi Ekadjati, dalam Majalah Mangle, No.1928 (28 Agustus - 03 September 2003) dan No. 1929 (04-10 September 2003), menjelaskan bahwa agama Budha dan Hindu telah masuk ke Sunda sejak Kerajaan Tarumanegara (sekitar abad empat masehi) buktinya terdapat pada Candi Cangkuang (Garut), Candi Batujaya (Karawang), Patung Budha di Talaga (Majalengka), Arca Syiwa di Kendan (Bandung). Namun pengaruhnya kecil dan hanya terlihat pada tempat-tempat ritus seperti patilasan, punden berundak, kabuyutan, arcatipe polinesia, dan naskah sanghyang siksa kandang karesian.

Menurut Ekadjati bahwa sebagian masyarakat Sunda, terutama masyarakat Galuh (Ciamis) menganut agama Jati-Sunda (yaitu agama hasil sinkretisme antara Arwah-Leluhur, agama Hindu dan Budha) yang berpijak pada tiga hal : teologis, eskatologis dan moral-humanis. Agama Jati-Sunda inilah yang saya maksud sebagai keyakinan dan kepercayaan (atau identitas agama) masyarakat Sunda lama, yang kemudian dialihkan pada agama Islam.

Prof Ira M. Lapidus, penulis buku Sejarah Sosial Umat Islam, menyimpulkan bahwa Islam di Asia Tenggara telah berhasil memerankan sebuah peran yang membentuk “institusi” di wilayah pesisir Nusantara yang diperankan oleh kaum pedagang. Dari institusi itu pula yang menjadi landasan ideologi sekaligus menjadikan keeratan antar pedagang yang berasal dari Timur Tengah, India dan Persia. Maka tidak dapat kita sangkal dalam keberadaannya jika terdapat “idiom atau istilah” yang dibawa (yang menyertai) dari tempat asalnya untuk menunjukkan identitas diri pada kawasan yang ditempatinya.

Dalam hal ini kita dapat melihat bukti adanya pengaruh bahasa dari luar seperti adil, aman, sultan, musyawarah, malik, syah, umat, daulat, siyasat, majelis, hukum, tahta, diwan (dewan) dan lainnya telah merasuk pada bahasa kita.

Prof Azyumardi Azra dalam buku Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999) bagian pengaruh bahasa Timur Tengah dalam Nusantara, menerangkan bahwa bahasa politik adalah keinginan dari adanya pengakuan dan ingin dianggap sebagai bagian integral dari “sang kuasa” yang menjadi adi kuasa di dunia. Azra mencontohkan pada abad lima belas sampai enam belas masehi, Kesultanan Aceh secara resmi menyatakan diri kepada penguasa Turki Utsmani (Ottoman) sebagai wilayah dari kekuasaan kesultanan Ustmani.

Hal tersebut bukan hanya untuk mendapatkan perlindungan politik, juga menjadi penegas atau mengukuhkan adanya pengesahan untuk dikuasai sesuai dengan kehendak yang dijadikan pelindungnya itu. Inilah kesepakatan antara penguasa dan yang dikuasai, sehingga ada yang dimunculkan dan ada pula yang dihilang-lenyap-kan atas nama pengakuan politik.

Tidak heran kalau budaya-budaya di daerah yang terkena “arus luar” sangat dipengaruhi bahasa, doktrin-doktrin agama dan konsep-konsepnya yang segera menemukan sekaligus menyatu pada “wadah-wadah” seperti tradisi, seni, adat, budaya dan bahasa politik yang berkembang di masyarakat kita.

Itulah sebabnya agama, adat, kepercayaan dan lainnya yang tadinya merupakan hasil pilihan masyarakat diubah menjadi yang harus disepakati atas nama kuasa. Yang pada gilirannya segala sesuatu akan bermkana asing karena diasingkan dengan konstruksi ketidaksadaran.

Inilah yang disebut identitas sebagai sebuah “kata” yang diperebutkan antar subjek-subjek yang saling mengisi dan membaur satu sama lain; serta wajar bila tak seorang pun yang tahu bahwa teks-budaya adalah karya besar yang saling berkomunikasi melalui bahasa yang dipakai manusia sehingga bahasa adalah sekadar alat untuk munculnya teks-budaya maupun mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. *** (ahmad sahidin)