Jumat, 11 Oktober 2019

Menyoal Pendidikan dan Pekerjaan

Saya cukup terganggu dengan pernyataan seorang kawan bahwa "Untuk apa sih belajar sampai tinggi atau sarjana dan master kalau kerja tetap dengan upah rendah? Menjadi guru dengan pendapatan yang lebih rendah dari orang yang dagang di pasar atau orang yang kerja di pabrik. Kerja di kantor saja cukup diploma. Gajinya lebih besar dari guru. Apalagi honorer gurunya, ya cukup untuk ongkos saja.  Yang dikerjakan guru honorer tak sebanding dengan gaji yang diterima. Sedangkan aktivitasnya luar biasa kuras tenaga dan pikiran. Apalagi ini menyangkut masa depan bangsa dan masa depan putra putri orangtua, hanya diupah seadanya. Bagaimana ya ini?"

Saya hanya baca saja dan merenung dengan kalimat-kalimat di atas. Bisa dibilang saya pun bernasib sama. Saya cukup dipendam dan dikeluhkan kepada Tuhan saja dalam doa. Selama keluarga tetap enjoy dengan pendapatan dan tidak menuntut yang lebih, saya terus menikmatinya.

Pendidikan memang tidak menjamin 100% membuat kita lebih baik dari sisi ekonomi atau dapat materi uang yang berlimpah banyak. Pendidikan tidak menentukan nasib seorang dalam urusan pendapatan materi atau penghasilan berupa uang.

Pendidikant menjadikan Anda menjadi kaya dengan uang. Pendidikan tidak menjamin Anda menjadi orang sukses dalam urusan kekayaan. Pendidikan tidak menjadi ukuran Anda diterima menjadi pegawai perusahaan besar. Jangan percaya dengan pendidikan bahwa seseorang yang menempuh pendidikan tinggi akan lebih baik dari materi dan kekayaan. Tidak. Banyak orang yang pintar dan nilai akademis tinggi, tetapi rezekinya seret dan tidak sukses dalam dunia kerja. Sudah beruntung ada yang menampung juga.

Daya juang
Saya pernah membaca cerita tokoh orang sukses dalam ekonomi dan sains, termasuk dalam bidang kebudayaan. Mereka lebih banyak yang sukses karena daya juang tinggi ketimbang karena menuntaskan pendidikan. Penemu bohlam kabarnya tidak beres sekolah, tetapi menjadi tokoh ternama dan saya kira masuk kategori sukses. Banyak sekali (kalau dicari) tentang orang sukses yang berhasil dalam karier bukan karena telah menempuh pendidikan tinggi.

Saya kira untuk urusan kerja, sedikit hubungannya dengan pendidikan. Bahkan hanya sekadar syarat administrasi untuk lingkungan perusahaan. Biasanya skills yang lebih diutamakan.

Nah, jika ingin banyak uang mesti belajar bisnis dan kembangkan terus sampai menjadi pengusaha. Belajar bisnis tidak mesti dari lembaga pendidikan, tetapi bisa dari pengalaman langsung dan menjalani prosesnya (empiris). Juga bisa belajar dari orang lain yang sudah sukses.

Untuk bisnis tidak perlu sarjana level pendidikannya. Cukup pendidikan dasar dengan standar cakap baca tulis dan berhitung serta cakap berbahasa asing. Ditambah latihan kecakapan berbicara atau komunikasi yang baik dan melatih diri dalam marketing sehingga mampu menarik orang untuk menerima produk yang ditawarkan.

Kalau ingin banyak rezeki berupa uang tidak perlu belajar tinggi sampai sarjana maupun master. Cukup asah keterampilan diri yang bisa dijual dan terus dicoba sampai sukses. Ingat yang diperlukan hanya skill dalam bidang yang digeluti. Misalnya untuk bisnis bakso. Dekati dan jalin komunikasi dengan tukang bakso yang gerobak sampai yang jual di mall atau cafe. Tanya dulu ke pemiliknya bagaimana awal rintis sampai bisa sukses. Kalau mungkin bisa magang dahulu sampai merasa cukup untuk usaha bakso. Tekuni dan jalani terus.

Tujuan pendidikan
Lalu, untuk apa sebenarnya menempuh pendidikan dari sekolah dasar sampai sarjana (S1), master (S2), dan doktor (S3)? Kita tahu bahwa tidak sedikit uang yang harus keluar untuk biaya menuntaskan pendidikan sampai tinkat tinggi. Untuk apa sih pendidikan itu?

Yang saya ketahui dari aneka bacaan buku dan pendapat filsuf bahwa dengan pendidikan manusia diarahkan agar menyempurnakan kemanusiaan dan hidup bahagia serta berada dalam jalan yang benar dan menjadi manusia yang baik. Tidak untuk menjadi kaya raya. Pendidikan sejatinya untuk menjadi manusia sempurna, dari jiwa dan kemanusiaan, dan hidupnya terarah dengan lebih baik. Tidak berada pada jalan yang salah. Sehingga memiliki manfaat untuk hidup dunia dan akhirat.

Bahkan dalam agama Islam, bahwa belajar dan menempuh pendidikan sebagai kewajiban umat Islam. Menariknya tidak dibatasi usia atau jenjang tinggi pendidikan. Selama masih ada jiwa dalam tubuh maka umat Islam dibebani tugas belajar mulai ilmu agama maupun ilmu lainnya yang menunjang pada keahlian dan mendukung pada kesuksesan hidup di dunia (pekerjaan dan penghasilan). Sedangkan rezeki telah ditentukan Allah dan dari-Nya semua kebutuhan manusia terukur oleh-Nya.

Karena itu, yang dianjurkan dalam agama hanyalah ikhtiar dan usaha maksimal dalam keahlian yang dimiliki; dalam rangka menjemput rezeki yang diberikan oleh Allah. Jika seseorang mempunyai keahlian dalam bisnis maka kembangkan dengan baik dan benar. Aspek baik dan benar ini diketahui dari ilmu-ilmu yang dipelajari dari jenjang pendidikan yang ditempuh dari dasar sampai tinggi. Semakin tinggi ilmu dan jenjang pendidikannya diharapkan semakin sempurna pemikiran, jiwa, sikap, dan langkahnya terukur dengan jelas dan benar. Dari itu semua kemudian hidup yang dijalaninya menjadi lebih baik, bahagia, dan sejahtera. Namun, lagi-lagi definisi bahagia dan sejahtera adalah tidak sama setiap orang. Hanya definisi baik ini yang universal karena standar yang menentukan pada kemanusiaan dan moralitas agama.

Bagi saya, pekerjaan dan pendidikan dua hal yang berbeda. Namun, satu kesatuan dan tidak bisa ditinggalkan. Keduanya saling terkait. Ada pun pendapatan terkait dengan pilihan aktivitas. Jika ingin banyak uang bisa rintis bisnis atau masuk pegawai bank dan perusahaan asing. Biasanya tidak langsung besar gajinya dan tinggi jabatan, tetapi berproses dari level rendah sampai level tinggi seperti direktur atau komisaris.

Kalau menjadi guru, apalagi swasta, bukan uang yang dikejar. Namun, visi masa depan untuk menyiapkan manusia yang lebih baik dan menjawab tantangan zaman. Yang dikejar bukan rupiah yang besar, meski tidak diingkari semua orang butuh, tetapi masa depan manusia dan pahala dari Allah yang kelak didapat di akhirat.

Bagi seorang Guru, yang terpenting cukup makan, minum, tempat tinggal layak, kendaraan sebagai transfortasi ke sekolah, dan sedikit hiburan sekadar menikmati masa istirahat dari mengajar. Hanya saja ukuran cukup ini setiap orang berbeda-beda. Tergantung pada kebutuhan, kepentingan, dan lingkungannya.

Dan saya percaya untuk mewujudkan generasi terbaik maka pendidikan guru harus lebih tinggi dan ahli di bidangnya. Untuk sampai pada tahapan itu maka penghasilan rezeki menjadi acuan atau melalui jalur bantuan dana dari lembaga penyelenggara pendidikan. Ya mungkin diberi beasiswa (full), baik dari negara maupun institusi yang peduli dengan pendidikan.

Sedikit merenung saja. Awal tahun ini saya makin sadar dengan diri yang sangat minim dari ilmu dan kurang dari pendapatan untuk kesejateraan keluarga.

Dan saya sekarang beranjak tua dan akan terus tua kemudian hilang ditelan bumi. Saya tidak lagi muda seperti masa-masa bersama orang tua. Sayangnya belum banyak yang saya lakukan di dunia ini untuk kehidupan keluarga, apalagi untuk kaum Muslimin. Bahkan untuk istri pun belum ada kontribusi yang memuaskan dari segi materi. Semoga masih ada waktu yang bisa saya lakukan untuk hal-hal yang positif dan maslahat.

Berbagi
Sekadar berbagi saja. Saya pernah merasa lelah dalam berjalan menuju pencarian kebenaran dalam keyakinan kepada Tuhan. Hingga saya memilih menjalani saja dalam hidup ini. Memilih untuk pasif dalam beragama. Memilih untuk menerima yang menimpa saya dalam hidup ini. Pasrah saya bukan seperti Jabariyyah atau teologi kaum fatalis. Tapi ini dasarnya akal saya yang tidak menggapai rahasia Ilahi atas hidup dan kehidupan. Saya terima pendapatan yang sampai pada saya, baik yang diusahakan maupun rezeki yang tidak disangka.

Imam Ali bin Abu Thalib ra pernah mengatakan bahwa ada dua rezeki. Pertama, rezeki yang kau datangi dengan berbagai ikhtiar. Kedua, rezeki yang mendatangimu meski tidak ikhtiar. Rezeki yang kedua ini lebih besar dari yang pertama yang diterima manusia. Kalimat Imam Ali ra ini saya yakini sebagai kebenaran karena rezeki manusia dan makhluk di bumi dan langit berasal dari Allah. Dan saya hanya bisa pasrah saja dengan keadaan sambil terus bekerja dengan sebaik-baiknya.

Sambil terus bekerja sebagai pengajar, saya pun coba mengadu nasib dengan masuk penerbitan untuk menjadi editor lepas dan penulis pendamping. Hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maklum dunia publishing sedang masalah sekarang ini karena pengaruh dunia digital. Saya juga coba buka tawaran mengajar privat Iqro dan bimbingan belajar Al-Quran. Belum ada hasilnya. Tapi tetap saja ini dilakukan sebagai ikhtiar. Maklum tak punya keahlian lainnya selain urusan penulisan dan mengajar bidang agama dan sejarah peradaban Islam.

Jenuh dan memang harus dilakoni terus hidup ini. Di tengah kejenuhan hidup, "hasrat" saya dalam belajar timbul kembali. Hingga kemudian mencoba masuk dan belajar secara otodidak dengan menekuni bidang ilmu yang dikaji selama kuliah di UIN Bandung.

Hidup ternyata dinamis. Kembali lagi persoalan hidup muncul dan kehidupan bergejolak terkait kebutuhan dasar manusia. Mulai dari soal ekonomi, pemikiran, dan pekerjaan yang menghasilkan upah yang tinggi yang mampu memenuhi kebutuhan berupa rumah tinggal dan barang lainnya. Lagi-lagi aspek duniawiah menjalari kehidupan dan ketenangan dalam belajar. Pasrah dan sabar. Ini jalan yang saya tempuh. Sambil terus ngorehan, kurah koreh, sugan jeung sugan aya rezeki kuring sakulawarga.

Dan sekarang ini masalah urusan dunia, tidak terlalu banyak yang saya lakukan. Senantiasa terasa “haus” kala mengejar urusan dunia. Yang perlu dipertahankan adalah adanya kebutuhan dasar hidup harian yang terpenuhi. Meski tutup gali lobang. Saya percaya rezeki dari Allah yang mengaturnya. Maka sebagaimana disebutkan dalam agama Islam bahwa yang terpenting akhirat sebagai kehidupan yang sebenarnya. Itulah yang dituju dan tidaklah mudah.

Walaupun begitu, saya berusaha untuk mentitinya dengan merujuk pada jalan yang telah ditempuh oleh Nabi Muhammad saw beserta Keluarganya yang suci. Dalam upaya itu tidak melupakan para ulama yang telah mewarisi ilmu kepada umat Islam sekarang, termasuk dari para guru saya yang hingga kini terus mencerahkan saya.

Saya percaya bahwa para guru saya ikhlas dalam menyampaikannya kepada saya. Saya percaya para guru itu jembatan yang mengantarkan kepada Haribaan Ilahi. Tinggal kehati-hatian dan kesabaran yang penuh dengan kepasrahan. Mungkin itu dasarnya. Insya Allah, saya menjalaninya sesuai dengan kemampuan.

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.

Mohon doa selalu untuk saya dan keluarga. Hatur nuhun. *** (Ahmad Sahidin)