Sabtu, 12 Oktober 2019

Konsepsi Politik dalam Sejarah Umat Islam

Sayyid Muhammad bin Abdullah pada usia 40 tahun adalah seorang Nabi dan Rasul Allah yang terakhir serta ajarannya berlaku sampai akhir zaman. Nabi Muhammad Saw melakukan dakwah sekira 13 tahun di Makkah. Nabi mendapat pengikut sekira 80-120 orang dari kalangan orang-orang miskin, dhuafa, budak belian (slave), dan keluarga terdekat Nabi Muhammad Saw.

Di antara pengikutnya pernah hijrah ke Etopia (Habasyah) dan bermukim cukup lama dipimpin oleh Jafar bin Abu Thalib karena situasi Makkah yang tidak nyaman bagi kaum Muslimin. Sedangkan Rasulullah Saw bersama keluarga dan sahabat dekatnya masih di Makkah bertahan dengan situasi penuh tekanan dari kaum musyrikin Makkah.

Dalam kondisi tidak nyaman pun Nabi terus dakwah sampai ke Thaif dan ditentang kaum Thaif. Nabi tetap gigih dakwah hingga bisa mengajak kaum Yathrib pada saat mereka ziarah tahunan ke Kabah. Tahun berikutnya ada rombongan Yathrib yang berbaiat setia memeluk agama Islam dan siap membela Rasulullah Saw. Saat perintah Allah datang untuk hijrah, maka selanjutnya Nabi pindah ke Yathrib (kemudian diubah nama menjadi Madinah).

Di Madinah ini Nabi disambut kaum Muslim yang dahulu menyatakan ikrar keislaman dan telah mendakwahkannya pada yang lain sehingga jumlahnya bertambah. Setelah mempersaudarakan orang-orang Islam dari Makkah yang hijrah (Muhajirin) dengan orang-orang Islam Madinah (Anshar), Nabi membentuk tatanan masyarakat yang menghargai perbedaan agama serta menanamkan kecintaan pada tanah air diikat dengan Piagam Madinah. Sedikitnya ada tiga agama, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Sedangkan bani (kelompok masyarakat) di Madinah antara lain Auf, Saidah, Al-Harts, Jusyam, An-Najjar, Amr bin Auf, Al-Nabit, Al-Aws, dan Khazraj. Dari dua bani terakhir ini banyak masuk agama Islam sehingga yang disebut kaum Anshar sebagian besar dari mereka. Di Madinah pun ada kaum Yahudi yang secara ekonomi kuat dan menguasai kehidupan masyarakat.

Namun, semua bani itu berada dalam naungan negeri Madinah yang diikat dengan kesepakatan bersama tertuang dalam Piagam Madinah untuk setia dan membela negeri Madinah. Piagam Madinah ini bisa disebut bentuk sikap cinta tanah air (nasionalisme) versi abad 7 Masehi di kawasan Arab. Karena gagasannya berasal dari Nabi dan orang-orang Islam banyak tergabung dalam bani-bani, sehingga Rasulullah saw secara tidak langsung menjadi tokoh yang menyatukan masyarakat Madinah.

Menurut Abdul Aziz bahwa Nabi Muhammad Saw saat itu menjadi chiefdom (mengkomandani) seluruh masyarakat Madinah. Dan negeri Madinah ini belum bisa disebut sebuah negara, tetapi masuk kategori pra-negara sehingga disebutnya Chiefdom Madinah. Tentang ini bisa membaca disertasi (sudah menjadi buku) berjudul Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam karya Dr Abdul Aziz MA, yang diterbitkan Alvabet Jakarta.

Di Madinah ini Nabi Muhammad Saw berperan sebagai pemimpin agama Islam sekaligus penguasa negeri yang memimpin masyarakat. Jabatan utama Sayyid Muhammad sebagai pembawa agama dan penjelas tentang ajaran Islam. Kepadanya orang-orang Islam di Madinah dan sekitarnya meminta pendapat, berdialog, dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Orang-orang non-Islam pun meminta solusi kepadanya terkait dengan kemasyarakatan dan hubungan dengan penguasa daerah lainnya di Jazirah Arabia. Sehingga bisa dikatakan Nabi di Madinah menjabat dua posisi, yaitu (1) sebagai Nabi dan Rasul Allah yang memerankan fungsinya sebagai marjaiyyah fiddin; (2) sebagai penguasa yang mengatur tatanan masyarakat Madinah dalam urusan perang, menangani konflik antarbani, dan memberikan sanksi bagi bani yang mengkhianati kesepakatan dalam Piagam Madinah yang disetujui masing-masing perwakilan tokohnya. Pernah kaum Yahudi berkhianat kemudian dihukum dengan aturan yang tercantum dalam Taurat sesuai kitab suci yang diyakininya. Bahkan ada yang diperangi oleh kaum Muslimin dengan bantuan bani lainnya.

Setelah Rasulullah Saw wafat maka jabatan Nubuwwah (Nabi dan Rasul) sudah berakhir. Tidak ada lagi Nabi setelahnya. Hanya saja fungsi dari kenabian berupa penyampai agama dan memecahkan persoalan kehidupan beragama tidak berakhir. Sebab orang-orang Islam masih ada dan membutuhkan rujukan dalam urusan agama Islam (marjaiyyah fiddin). Kepada siapa orang-orang Islam merujuk setelah Rasulullah wafat?

Dalam sejarah tentang ini terbagi dua: (1) ada umat Islam yang meyakini 'Ali bin Abu Thalib ra sebagai pelanjut marjaiyyah fiddin ditetapkan oleh Nabi melalui hadis tsaqalain dan peristiwa ghadir khum; (2) ada orang-orang yang meyakini Rasulullah Saw tidak menetapkan pelanjutnya, sehingga umat bisa menentukan sendiri siapa orang yang dirujuknya dalam urusan agama. Karena itu, 'Ali bin Abu Thalib ra, Aisyah binti Abubakar, Fathimah Azzahra, Abdullah bin Abbas, dan lainnya kadang diminta pendapat atau solusi ketika umat mengalami masalah dalam agama. Bahkan saat Abu Bakar dan Umar bin Khaththab menjabat khalifah di Madinah menjadikan 'Ali sebagai penasihatnya.

Kemudian untuk urusan politik dan pengaturan masyarakat Madinah (karena Sayyid Muhammad sudah wafat) maka ditentukan sendiri oleh umat. Sehingga saat wafat Nabi, ada orang-orang Islam yang melakukan suksesi kepemimpinan di Saqifah Bani Saidah dan terpilih Abu Bakar ra sebagai penguasa Madinah. Berturut-turut setelah Abu Bakar adalah Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan 'Ali bin Abu Thalib dengan pusat pemerintahan pindah ke Kufah, Irak. Inilah yang sering diuraikan dalam kajian sejarah umat Islam setelah Rasulullah Saw wafat terkait dengan politik umat Islam.

Konsepsi Politik
Dalam sejarah umat Islam setelah wafat Rasulullah saw bahwa konsepsi politik (Islam) yang muncul ada lima. 

Pertamabaiat yang dilakukan di Saqifah dalam pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pascawafat Rasulullah saw. Keduata’yin (penunjukan) dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bin Khaththab sebagai khalifah kedua melalui surat wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan. Ketigaahl al-hall wa al-‘aqd (dewan formatur) dalam memilih Utsman sebagai khalifah ketiga. Keempat, aklamasi (pemilihan langsung) oleh umat Islam secara terbuka dalam pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Kelima, tahkim atau syura yang dilakukan dalam pemilihan Muawiyah bin Abu Sufyan. Meski dalam hal ini, pihak Muawiyah melakukan tindakan amoral dan membuat umat Islam terpecah dalam firqah

Setelah wafat 'Ali bin Abi Thalib ra, bentuk kekuasaan berubah menjadi monarki heredetis (mamlakah) dengan pusat kekuasaan di Damaskus, Syam (Suriah) dipimpin oleh Muawiyah. Para penguasa menurunkan jabatan kepada anaknya dan kelak anaknya itu menurunkan jabatan kepada putranya (tanpa mempertimbangkan kecakapan atau kualitas akhlak). Tidak jarang terjadi konflik rebutan jabatan di antara keluarga istana sampai saling membunuh. Bahkan, istilah pemimpin dan jabatan berubah mulai dari khalifah, amirul mukminin, sulthan, dan malik.

Apabila dilihat dari model pemerintahan (dalam sejarah) bahwa umat Islam memiliki dua bentuk: khilafah dan kerajaan (mamlakah). Sahabat yang empat yang memimpin umat Islam disebut khalifah dengan pemerintahan model khilafah yang pelaksanaannya dibantu para penasihat dan gubernur pada setiap daerah.

Sementara bentuk kerajaan (monarki/mamlakah) diwujudkan masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan dinasti lainnya. Periode klasik Islam penguasa disebut amirul mukminin untuk penguasa Umayyah dan khalifah untuk penguasa Abbasiyah. Periode pertengahan Islam, gelar untuk penguasa menjadi sulthan seperti pada Dinasti Turki Utsmaniyah dan Mughal dengan pemerintahan berbentuk kerajaan. Pascakhalifah yang empat, jabatan kekuasaan diwariskan turun temurun. Perubahan terjadi ketika ada konflik internal atau penyerangan dari luar yang mengakibatkan terjadi pergeseran identitas dan orang yang berkuasa.

Tidak dipungkiri konsepsi pemikiran politik kaum Muslim pasca wafat Rasulullah saw tidak dirumuskan secara rinci sejak awal. Bisa dipahami (mungkin) kaum Muslim saat itu belum terpikirkan sehingga pola suksesi dan bentuk pemerintahan berubah-ubah serta mengikuti tampuk kekuasaan di negeri sekitarnya. Namun, secara praktik telah dijalankan dan terlihat dinamis dalam sejarah.

Hadis 
Berkaitan dengan konsepsi politik ini, ada hadis yang secara tidak langsung bisa dijadikan pedoman bahwa “… peganglah sunnahku dan sunnah khulafa rasyidun yang mendapat petunjuk.[1] 

Di antara para ulama sendiri terjadi perbedaan memahami makna khulafa rasyidun. Ada yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Juga ada yang menambahkan Al-Hasan bin Ali dan Umar bin Abdul Aziz. Kemudian jika dilihat dari sejarah sejak wafat Rasulullah saw hingga pemerintahan Turki Utsmani[2] ternyata jumlahnya lebih banyak. Hal ini tidak sesuai dengan hadis yang menyebutkan ada dua belas khalifah Islam (setelah Rasulullah) yang berasal dari Quraisy.[3] 

Namun, sejarah membuktikan para pemimpin dari dinasti-dinasti Islam yang berkuasa tidak semuanya berasal dari Quraisy. Di antara mereka ada yang berasal dari etnis Turki dan Persia. Bahkan masa kekuasaan abad pertengahan, Dinasti Ilhaniyah dan Timuriyah berasal dari orang-orang keturunan Mongol.

Pemikiran politik (Islam) berupa teori dari ulama baru muncul akhir periode klasik. Satu di antaranya dari Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 1111 M.) bahwa umat Islam wajib mengangkat seorang kepala negara untuk melindungi kepentingan umat dan membantu dalam urusan dunia dan akhirat.[4] Sehingga kaum Muslim di mana pun berada wajib taat kepada pemimpin negara dan melaksanakan semua perintahnya. Kepala negara atau raja yang diangkat harus didasarkan pada: aqil baligh, sehat jiwa dan jasmani, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, memiliki kekuasaan yang nyata, memiliki hidayah, memilki ilmu pengetahuan, dan bersikap wara.[5] 

Sekarang
Dalam perkembangannya sekarang ini konsepsi politik negeri kaum Muslim terbagi dalam tiga bentuk.

Pertama, menerima sistem demokrasi dengan bentuk pemerintahan republik (seperti Indonesia, Lebanon, Pakistan, dan lainnya) dan demokrasi dengan mempertahankan agama sebagai landasan dalam bernegara (seperti Iran dengan sistem wilayah al-faqih yang dicetuskan oleh Imam Khumaini, sebuah sistem demokrasi yang berada di bawah kendali seorang faqih/ulama dengan gelar rahbar).

Kedua, negeri kaum Muslim yang masih memertahankan monarki hereditis (mamlakah) dengan aturan dan sistem sudah menyesuaikan dengan konteks politik modern seperti Arab Saudi, Jordania, Brunei Darussalam, dan lainnya.

Ketiga, ada sekelompok orang yang masih berjuang untuk tegaknya Khilafah Islamiyyah dengan sistem dan pola pemerintahan yang bersifat global seperti masa Abbasiyyah di Irak sampai Utsmaniyyah di Turki. Mereka ini dikenal sebagai kaum Muslim yang menolak sistem dan pola demokrasi dalam pengaturan pemerintahan. Mereka ini melakukan kritik pada demokrasi dan mengajak umat Islam di berbagai negeri untuk mengganti sistem demokrasi dengan sistem khilafah. Namun, sampai kini belum terwujud bentuk negara khilafah yang diusung oleh kaum muslim dengan organisasi bernama Hizbut Tahrir (yang pusat gerakannya di London, Inggris). Kaum Hizbut Tahrir yang mengusung khilafah ini banyak ditolak oleh kaum Muslimin di beberapa negeri, termasuk di Indonesia. ***

AHMAD SAHIDIN, alumni Pascasarjana UIN SGD Bandung

Catatan
[1] Hadis ini dari Irbadh bin Sariyah dimuat dalam Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Pada kitab hadis yang utama, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, saya belum menemukannya.

[2] Berakhir tahun 1924.

[3] Muslim dalam Sahih Muslim (jilid II, halaman79) dari Jabir bin Samurah bahwa sesungguhnya dia berkata dia berkata: "Aku bersama bapakku berjumpa Nabi SAW, Maka aku mendengar Nabi SAW bersabda: "Urusan ini tidak akan selesai sehingga berlaku pada mereka dua belas khalifah." Dia berkata: Kemudian beliau berbicara dengan perlahan kepadaku. Akupun bertanya kepada ayahku apakah yang diucapkan oleh beliau? Dia menjawab :"Semuanya dari Quraisy."

[4] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993) halaman 76.

[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993) halaman 78.