Kamis, 03 Oktober 2019

Buku The Machine Stops, Post Human, dan Segenggam Zaman

Di sebuah kamar berbentuk segi enam. Mirip sebuah sel di dalam sebuah sarang tawon. Vashti adalah wanita yang tinggal disebuah bunker bawah tanah yang terhubung ke bungker lain melaui komputer yang lengkap untuk menjangkau dunia luar. Di kamar itu Vashti berbelanja atau memesan makanan tanpa harus pergi keluar. Bahkan dapat mengajar tanpa meninggalkan ruangan. Ia cukup menyalakan komputernya untuk melakukan pekerjaan itu. Ketika malam ia gelapkan ruangan dan pergi tidur. Seperti itulah hari-hari yang ia lakukannya.
Di dalam kamar bunker itu tiba-tiba muncul sesosok wajah di layar biru—mirip TV. Dialah Kuno, anak laki-laki pasti. Kuno menyapa, "bagaimana kabarnya, Bu?"

"Aku baik-baik saja, nak".

"Aku ingin Ibu datang kemari menjumpaiku".

"Bukankah Ibu sudah menjumpaimu".

"Saya memang dapat bersua dengan sesuatu yang menyerupai Ibu pada layar ini, datanglah kemari! Kita bisa bertatap muka dan berbincang-bincang tentang harapan yang ada dalam benakku," kata Kuno kepada ibunya.


Vashti pergi keluar dengan hati-hati. Ia pergi menjumpai Kuno, walau dalam perjalanan itu banyak hal yang mengerikan dari ulah-ulah manusia. Setelah bertatap muka dengan ibunya, Kuno berkata: 

"Kita selalu berkata bahwa ruang telah ditiadakan. Tetapi sebenarnya kita bukan meniadakan ruang. Yang kita tiadakan adalah persepsi tentang ruang. Kita telah kehilangan bagian dari diri kita. Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu. Kaki manusia menjadi ukuran jarak, tangan manusia adalah ukuran kepemilikan, tubuh manusia adalah ukuran dari segala kehendak cinta dan kekuatan. Saya sepertinya mendengar suara ruh dari semua generasi yang hidup di alam terbuka dan saat-saat ruh itu yang belum lahir. Dan semua tombol, tabung dan mesin tak dilahirkan bersama kita serta tidak menyertai kita apabila kelak mati." 

Mendengar itu Vashti tersentak dan cepat-cepat meninggalkan anaknya. Ia kembali ke kamar bunkernya untuk melanjutkan kehidupannya.

Itulah potongan singkat dari cerita pendek yang ditulis oleh E.M. Forster, tahun 1928, yang berjudul "The Machine Stops".

 Forster dengan kepekaan terhadap zaman mendapati getaran kerangkeng mesin-mesin yang memisahkan manusia dengan sesamanya. Vashti digambarkan sebagai tokoh yang menolak atau patologi sosial-dehumanis, tapi juga terperangkap dalam keterpisahan dari realitas empiris yang digantikan dengan realitas virtual. 

Dengan dunia virtual memang kita bisa mendapatkan kesenangan, kehebatan dan kepuasan yang lebih. Lalu bagaimana kita memandang sesuatu itu seandainya realitas yang sesungguhnya telah digantikan dengan realitas virtual?

Inilah awal dari proses pencarian yang akan terus berlanjut menuju kesempurnaan. Manusia sejak ribuan abad yangsilam telah mengenal bahasa. Karena ada keterbatasan diri untuk berkomunikasi atau untuk bisa menyebarkan ide-ide, maka diciptakanlah mesin cetak. Namun ada ketidakpuasan lagi sehingga menciptakan sarana komunikasi yang lebih cepat seperti telepon, telegraf , faxmile dan internet. Di kota-kota besar dapat kita lihat munculnya teknologi informasi ini.

Dengan internet kita bisa menyapa siapapun, kapanpun dan dimanapun. Kita tak perlu lagi kasak-kusuk di perpustakaan jika mencari atau ingin  mendapatkan sesuatu untuk tugas-tugas sekolah. Tapi cukup dengan meng-klik nama situs yang hendak dicari, maka dengan cepat mesin akan memberikannya.

Dan memang, dari tahun ke tahun barang elektronik akan banyak diproduksi. Sehingga dengan produksi yang semakin banyak maka orang-orang akan mudah untuk mendapatkannya. 

Sebagaimana hand-phone dan personal computer/leptop di Indonesia yang sudah banyak dimiliki kalangan menengah ke atas. Namun kita harus mempertanyakan bahwa dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi akan seperti apakah eksistensi manusia dengan dunia yang makin sempit tersebut?

Iskandar Alisyahbana, seorang mantan Rektor Insitut Teknologi Bandung (ITB) menuturkan, “kita selalu menyangka tahu akan pergi dan melangkah ke mana. Padahal tidak, penemuan apa pun, apalagi teknologi selalu ada side-effeknya sehingga menjadi persoalan yang besar. Akhirnya akan sampai lagi pada fenomena keterbatasan manusia yang merupakan konsep dasar dari global society”(Majalah Forum Keadilan,  No. 41, Edisi 23 Januari 2000, hal 22-23).

Fenomena keterbatasan ini setidaknya berawal sejak bergulirnya renaisance di Barat yang cenderung mengunggulkan kemampuan manusia. Pada waktu itu, nilai-nilai bertumpu pada manusia itu sendiri. Para ilmuwan pun muncul dengan pandangan sains, empirisme dan rasio, yang memang sebelumnya dikuasai pandangan dogma dan teologi dari kaum agamawan.

Pada konteks ini renaisance sering dikatakan sebagai gerakan humanisme—sebuah periode kebebasan berpikir yang tidak lagi terpasung atau terpenjara dengan teks-Suci atau Tuhan. Dari periode ke periode, para ilmuwan kemudian memunculkan penemuan-penemuan baru dan menciptakan teknologi baru.

 Contohnya, karena manusia tidak bisa terbang seperti burung maka ia menciptakan pesawat terbang; karena manusia tidak bisa berlari cepat maka menciptakan kereta api dan mobil, dan lain sebagainya yang memperlihatkan bahwa manusia dari zaman ke zaman bergerak secara dinamis dalam mencapai kemajuannya. Hal itu, tiada lain adalah hasil daya kreatif dan nalar yang terus dipacu untuk menolak keterbatasan yang ada pada manusia itu sendiri hingga lahir sains dan teknologi yang senantiasa baru.

 Seperti yang diinformasikan Koran Tempo (19 Mei 2002), keluarga Jacob Jefrey  48 tahun, Leslie  46 tahun, dan Derek, anaknya yang berusia 14 tahun menjadi  keluarga pertama yang mencangkokkan chip kira-kira seukuran butir beras ke dalam lengan mereka di Boca Raton, Florida, AS. 

Selanjutnya, dikatakan bahwa pertukaran antara chip dalam tubuh Jacob dan mesin komputer di luar tubuhnya niscaya akan berlangsung intensif. Chip tersebut merupakan jalan kecil informasi yang menghubungkan tubuh organis manusia ke prosthetik extension-nya. Informasi sebagai entitas yang menyatukan mengalir bolak-balik antara komponen elektronis berbasis silicon (chip). Protein dan silikon bekerja dalam sistem yang tunggal dan ketika chip dicangkokkan pada tubuh maka mereka sesungguhnya telah menjadi manusia yang berbeda.

Hans Moravec dengan menggunakan metafor Cartesian mengomentari, bahwa ketika pikiran memisahkan realitas literal dari tubuh dengan mengambil pikiran dari otak yang "ditransmigrasikan" ke peranti lunak komputer, organ manusia dan lapisan otak manusia yang tidak bermanfaat akan dibuang.

 Sedangkan kesadaran manusia akan download  ke dalam terminal-terminal komputer sehingga keterpisahan bukan lagi soal—karena dua realitas yang terpisah kini disatukan selamanya dalam wujud baru. Ahli sain Sherry Turkle yang dirujuk J.David Bolter menyebutnya sebagai "Manusia Turing".

Kemudian, seorang ilmuwan lainnya bernama Allan Turing mengembangkan wujud baru (manusia dan mesin) ini sebagai makhluk maujud yang hidup dalam dunia nyata dan maya (virtual).

Maka lahirnya wujud “manusia baru” ini, setidaknya memaksa kita untuk memikirkan kembali ihwal tubuh.  Bukankah menurut Michel Foucault bahwa tubuh adalah struktur kehidupan manusia? 

Jelasnya bahwa persepsi tubuh adalah efek dari jaringan struktur kekuasaan dan pengetahuan serta sebagai metafor tempat mewujudkan diri  dalam perubahan-perubahan budaya yang panjang. Sehingga kapitalisme membaca tubuh sebagai komoditas yang layak dijual melalui iklan-iklan seperti farfum, sabun mandi, kosmetika, operasi plastik dan pakaian, yang kemudian ditempatkan sebagai wahana hedonisme yang megejar citra ideal, kebugaran, vitalitas dan keindahan yang direkayasa agar memikat massa konsumen yang luas.

Fenomena ini pula yang disebut Theodor Adorno sebagai culture industry—yang dengan bahasa estetik berusaha menjadikan tubuh status komersialnya. Itulah sebabnya fenomena tubuh dalam kebudayaan massa telah menjajah pada hampir seluruh kehidupan masyarakat (seperti sensualitas ekonomi, sensualitas politik, dan sensualitas media) yang semuanya menggunakan citra tubuh sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan yang segera.

Inilah pengandaian situasi setelah manusia. Inilah era pos-human. Era manusia yang terus-menerus berpikir tentang keterbatasannya. Kemudian berupaya menemukan sesuatu yang baru, yang diperuntukkan sebagai pemecahan terhadap berbagai persoalan yang menghimpit manusia.

Maka keterbatasan tubuh manusia menjadi alasan untuk menciptakan hal-hal baru yang dapat memenuhi segala keterbatasannya. Di sini pos-human adalah gejala yang berangkat atas penolakan dari keterbatasan-keterbatasan yang ada pada manusia. Sebuah pengingkaran terhadap dirinya-sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Contoh kecilnya adalah kaca mata sebagai hasil usaha manusia dalam menanggulangi kerusakan atau keterbatasan penglihatan.

Saya tidak tahu apakah ini bentuk penolakan atau perlawanan terhadap hal-hal yang alamiah? Yakni manusia yang katanya makhluk terbatas, yang kemudian melakukan optimalisasi sedemikian rupa dengan memanfaatkan sarana teknologi.

Dengan kata lain, pos-human dibila dimaknai secara ekstrem, bisa dianggap semacam aksi untuk memperlihatkan ketidaktundukkannya pada takdir—sekaligus simbol dari keinginan menjadi "tuhan" di dunia ini. 

Artinya bahwa kebudayaan yang dikembangkan masyarakat "dunia kesatu" disa dikatakan timbul dari "dendam-kesumat" kalangan ilmuwan sekuler Barat—yang ketika di Abad Pertengahan tidak diberi ruang untuk mengekspresikan perspektif-perspektifnya; karena pada saat itu yang diakui hanyalah "kebenaran" yang berasal dari kalangan yang mengatasnamakan agama, teks-suci dan Tuhan.

Dengan demikian, hadirnya cyborg, virtual reality, robot, dan lain-lainnya di zaman sekarang ini merupakan kelanjutan proyek dari renaisance

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila manusia-manusia di masa mendatang menjadi semacam makhluk baru yang tidak bisa dikatakan manusia maupun robot. Ia bukan manusia dan bukan robot, tapi makhluk yang menggantikan periode manusia dan periode (teknologi) robot.

Jika ini benar menjadi makhluk baru di masa depan, maka mau tak mau harus diakui semua nilai-nilai moral, agama, dan keluhuran nurani manusia (yang berlaku sampai saat ini) tidak akan dibutuhkan lagi—dan kelak yang dipakai dan dibutuhkan adalah "tafsir-baru" tentang makhluk masa depan tersebut.

Inilah masalah kebudayaan (sains dan teknologi) yang semua itu saya anggap berpangkal dari fenomena kemanusiaan yang tidak pernah selesai.

Lalu, bagaimana mengantisipasinya jika sains dan teknologi tetap membawa petaka bagi kehidupan manusia? Seorang cendekiawan Muslim asal Iran, Ali Syari`ati (1933-1977) menuturkan: dunia sekarang telah menyadari bahwa kita harus menulis sejarah hari esok, atau setidak-tidaknya berpikir tentang hari esok. *** (ahmad sahidin)