Senin, 07 Oktober 2019

Membaca Arus (wacana) Cultural Studies

Kalau Anda membaca tentang Cultural Studies akan mengetahui bahwa dalam operasional untuk pengkajiannya tidak terpaku pada satu pendekatan, tetapi interdisipliner dan multi-metodologi. Bahkan saking multi-nya para tokoh Cultural Studies sendiri menganggap dirinya anti-disiplin. 

Lantas apa itu Cultural Studies? Tentang ini bisa dibaca buku Cultural Studies for Beginners (Penerbit Mizan Bandung). Mengenai ranah Cultural Studies ini bisa dibagi pada dua wilayah. 

Kesatu adalah wilayah teoritis-metodologis yang meliputi hakikat, faktor-faktor, sifat-sifat, konsep-konsep (diaspora, mimikri, counter culture, local wisdom, hegemoni, dominasi, minoritas, mayoritas, resistensi dan anti-resistensi, kontestasi) dan aliran-aliran pendekatan (metodologis) seperti emic-etic (Clifford Geertz), strukturalisme (Ferdinand de Saussure, Claude Levi Strauss), etnometodologi (PP. Broca dari Perancis, R. Virchov dari Jerman, G. Sergi dari Italia, EB. Tylor dari Inggris) dan lainnya.

Kedua adalah subject-matter budaya yang di dalamnya  terdapat sub-sub atau unsur-unsur yang meliputi benda material; sistem sosial society ; sistem religi; bahasa; kesenian; mata pencaharian; dan ilmu pengetahuan. Atau bisa dikatakan membahas pelbagai hal yang berkaitan dengan fenomena manusia seperti kreatifitas, praktik-praktik budaya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang ada, baik di masa lalu, masa kini maupun perencanaan-perencanaan kebudayaan baru. 

Dan memang cultural studies pada awalnya ditandai dengan maraknya pembebasan masyarakat kulit hitam dan emigran yang termarjinalkan (cross cultural society) oleh dominasi masyarakat kulit putih.

Inilah salah satu alasan lahirnya cultural studies yaitu pada tahun 1964 dengan nama Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Bermingham, Inggris. Adapun pendirinya antara lain Richard Hoggard, John Stuart Hall dan Raymond Williams, yang ketiganya merupakan intelektual yang berasal dari kelas bawah. Mereka berupaya mengangkat kebudayaannya (yang sering dianggap rendah) dengan meminjam pelbagai teori dan metodologi cabang-cabang studi humaniora.

Cultural Studies memang punya kehendak untuk melawan diskriminasi, penindasan dan mengungkap pelbagai ideologi sekaligus merekonstruksi dan mengubah struktur dominan dalam masyarakat. 

Menurut Antonius Sumarwan (dosen STF Driyarkara, Jakarta) bahwa Cultural Studies ini telah mengambil inspirasi dari marxisme, yang mengasumsikan bahwa masyarakat industri kapitalis terbagi secara tidak seimbang menurut garis kelas, gender dan etnik. Sehingga pada tahun 1970-an, Cultural Studies tertarik untuk mencermati life style kalangan hitam seperti mods, rocker, rap dan punk; yang tingkah lakunya dianggap simbol perlawanan terhadap budaya dominan.

Kemudian di tahun 1980-an, Cultural Studies memperluas kajiannya pada isu-isu gender, perbedaan ras, identitas dan pengalaman kolonialisme dan bahkan cultural studies telah meluaskan pengaruhnya di berbagai dunia. 

Di Canada, Cultural Studies menggali konsep-konsep praktik kebangsaan. Di Australia, Cultural Studies menjadi sarana untuk membebaskan Australia dari pengaruh superioritas budaya Inggris. Di Perancis, Cultural Studies berbicara pada persoalan identitas kaum imigran dari daerah bekas jajahan.

Begitu pun di India, Cultural Studies mengelola persoalan transformasi masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern dengan menggunakan cerita-cerita dari kelompok petani dan pemberontak yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Inggris.

Dan memang Cultural Studies membahas persoalan seperti post-kolonial, multikulturalisme, ras dan identitas, ruang diaspora, gender, mitos dan lainnya; sehingga yang menjadi lahan kajiannya adalah segala bentuk representasi budaya seperti koran, majalah, televisi, tradisi, karya sastra dan segala bentuk praktik kebudayaan yang terjadi.

Namun jika ditilik-tilik mengenai hadirnya cultural studies memang dapat membawa angin segar dalam membaca atau mengkaji kebudayaan lokal di masyarakat (seperti yang saya lakukan pada mitos Mundinglaya).

Dibalik kegembiraan itu saya curiga bahwa Cultural Studies akan memunculkan bibit-bibit (ideologi) rasisme dan memecahkan integrasi-nasionalisme (Indonesia) dengan timbulnya rasa chauvinisme yang berlebihan. Yang sekaligus menina-bobokan persoalan besar, seperti neo-colonialism bergaya isu teroris dan free market dengan mengalihkan pada etnisitas dan lokalitas serta "narasi-narasi kecil" yang sesungguhnya sudah mandiri dalam keberadaannya.

Proyek ini seiring juga dengan hadirnya the chaos theory dan  post-modernism yang mengacak-acak tatanan  "narasi-besar" dan membiarkan terserak begitu saja menjadi "narasi-narasi kecil" dengan ketidakteraturannya kembali ke zaman sofis. Bukankah cabang pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, komunikasi, filsafat, teologi dll menjadi produk masa silam dan sekaligus kini kita hanya menjadi pemelihara "museum-museum" ilmu pengetahuan an-sich. *** (Ahmad Sahidin)