Kalau
Anda membaca tentang Cultural Studies akan mengetahui bahwa dalam operasional untuk pengkajiannya tidak terpaku pada satu pendekatan, tetapi interdisipliner dan multi-metodologi. Bahkan
saking multi-nya para tokoh Cultural Studies sendiri menganggap dirinya anti-disiplin.
Lantas apa itu Cultural Studies? Tentang ini bisa dibaca buku Cultural Studies for Beginners (Penerbit Mizan Bandung). Mengenai ranah Cultural Studies ini bisa dibagi pada dua wilayah.
Kesatu adalah wilayah teoritis-metodologis yang meliputi hakikat, faktor-faktor, sifat-sifat, konsep-konsep (diaspora, mimikri, counter culture, local wisdom, hegemoni, dominasi, minoritas, mayoritas, resistensi dan anti-resistensi, kontestasi) dan aliran-aliran pendekatan (metodologis) seperti emic-etic (Clifford Geertz), strukturalisme (Ferdinand de Saussure, Claude Levi Strauss), etnometodologi (PP. Broca dari Perancis, R. Virchov dari Jerman, G. Sergi dari Italia, EB. Tylor dari Inggris) dan lainnya.
Lantas apa itu Cultural Studies? Tentang ini bisa dibaca buku Cultural Studies for Beginners (Penerbit Mizan Bandung). Mengenai ranah Cultural Studies ini bisa dibagi pada dua wilayah.
Kesatu adalah wilayah teoritis-metodologis yang meliputi hakikat, faktor-faktor, sifat-sifat, konsep-konsep (diaspora, mimikri, counter culture, local wisdom, hegemoni, dominasi, minoritas, mayoritas, resistensi dan anti-resistensi, kontestasi) dan aliran-aliran pendekatan (metodologis) seperti emic-etic (Clifford Geertz), strukturalisme (Ferdinand de Saussure, Claude Levi Strauss), etnometodologi (PP. Broca dari Perancis, R. Virchov dari Jerman, G. Sergi dari Italia, EB. Tylor dari Inggris) dan lainnya.
Kedua adalah subject-matter budaya yang di dalamnya terdapat sub-sub atau unsur-unsur yang
meliputi benda material; sistem sosial society ; sistem religi; bahasa;
kesenian; mata pencaharian; dan ilmu pengetahuan. Atau bisa dikatakan membahas
pelbagai hal yang berkaitan dengan fenomena manusia seperti kreatifitas,
praktik-praktik budaya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang ada, baik di masa lalu,
masa kini maupun perencanaan-perencanaan kebudayaan baru.
Dan memang cultural
studies pada awalnya ditandai dengan maraknya pembebasan masyarakat kulit hitam
dan emigran yang termarjinalkan (cross cultural society) oleh dominasi
masyarakat kulit putih.
Inilah salah satu alasan lahirnya cultural
studies yaitu pada tahun 1964 dengan nama Centre for Contemporary Cultural
Studies (CCCS) di Universitas Bermingham, Inggris. Adapun pendirinya antara
lain Richard Hoggard, John Stuart Hall dan Raymond Williams, yang ketiganya
merupakan intelektual yang berasal dari kelas bawah. Mereka berupaya mengangkat
kebudayaannya (yang sering dianggap rendah) dengan meminjam pelbagai teori dan
metodologi cabang-cabang studi humaniora.
Cultural Studies memang punya kehendak untuk
melawan diskriminasi, penindasan dan mengungkap pelbagai ideologi sekaligus
merekonstruksi dan mengubah struktur dominan dalam masyarakat.
Menurut Antonius Sumarwan (dosen STF Driyarkara, Jakarta) bahwa Cultural Studies ini telah mengambil inspirasi dari marxisme, yang mengasumsikan bahwa masyarakat industri kapitalis terbagi secara tidak seimbang menurut garis kelas, gender dan etnik. Sehingga pada tahun 1970-an, Cultural Studies tertarik untuk mencermati life style kalangan hitam seperti mods, rocker, rap dan punk; yang tingkah lakunya dianggap simbol perlawanan terhadap budaya dominan.
Menurut Antonius Sumarwan (dosen STF Driyarkara, Jakarta) bahwa Cultural Studies ini telah mengambil inspirasi dari marxisme, yang mengasumsikan bahwa masyarakat industri kapitalis terbagi secara tidak seimbang menurut garis kelas, gender dan etnik. Sehingga pada tahun 1970-an, Cultural Studies tertarik untuk mencermati life style kalangan hitam seperti mods, rocker, rap dan punk; yang tingkah lakunya dianggap simbol perlawanan terhadap budaya dominan.
Kemudian di tahun 1980-an, Cultural Studies
memperluas kajiannya pada isu-isu gender, perbedaan ras, identitas dan
pengalaman kolonialisme dan bahkan cultural studies telah meluaskan pengaruhnya
di berbagai dunia.
Di Canada, Cultural Studies menggali konsep-konsep praktik kebangsaan. Di Australia, Cultural Studies menjadi sarana untuk membebaskan Australia dari pengaruh superioritas budaya Inggris. Di Perancis, Cultural Studies berbicara pada persoalan identitas kaum imigran dari daerah bekas jajahan.
Di Canada, Cultural Studies menggali konsep-konsep praktik kebangsaan. Di Australia, Cultural Studies menjadi sarana untuk membebaskan Australia dari pengaruh superioritas budaya Inggris. Di Perancis, Cultural Studies berbicara pada persoalan identitas kaum imigran dari daerah bekas jajahan.
Begitu pun di India, Cultural Studies mengelola persoalan
transformasi masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern dengan menggunakan cerita-cerita dari kelompok petani dan
pemberontak yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Inggris.
Dan memang Cultural Studies membahas
persoalan seperti post-kolonial, multikulturalisme, ras dan identitas, ruang
diaspora, gender, mitos dan lainnya; sehingga yang menjadi lahan kajiannya adalah
segala bentuk representasi budaya seperti koran, majalah, televisi, tradisi,
karya sastra dan segala bentuk praktik kebudayaan yang terjadi.
Namun jika ditilik-tilik mengenai hadirnya
cultural studies memang dapat membawa angin segar dalam membaca atau mengkaji
kebudayaan lokal di masyarakat (seperti yang saya lakukan pada mitos
Mundinglaya).
Dibalik kegembiraan itu saya curiga bahwa Cultural Studies akan memunculkan bibit-bibit (ideologi) rasisme dan
memecahkan integrasi-nasionalisme (Indonesia) dengan timbulnya rasa chauvinisme
yang berlebihan. Yang sekaligus
menina-bobokan persoalan besar, seperti
neo-colonialism bergaya isu teroris dan free market dengan mengalihkan pada etnisitas dan lokalitas serta
"narasi-narasi kecil" yang sesungguhnya sudah mandiri dalam
keberadaannya.
Proyek ini seiring juga dengan hadirnya the
chaos theory dan post-modernism yang
mengacak-acak tatanan
"narasi-besar" dan membiarkan terserak begitu saja menjadi
"narasi-narasi kecil" dengan ketidakteraturannya kembali ke zaman
sofis. Bukankah cabang pengetahuan seperti antropologi, sosiologi, komunikasi,
filsafat, teologi dll menjadi produk masa silam dan sekaligus kini kita hanya
menjadi pemelihara "museum-museum" ilmu pengetahuan an-sich. *** (Ahmad Sahidin)