Senin, 9 Maret
2009, saya menghadiri sebuah acara Maulid Nabi Muhammad saw di sebuah pertokoan
Muslim di kawasan BKR Lingkar Selatan Bandung. Pada hari libur itu saya
mendapatkan wawasan luar biasa mengenai sejarah Islam, khususnya pemahaman
tentang Rasulullah saw, dari seorang ustadz muda lulusan dari Iran yang bernama
Miftah Fauzi Rakhmat.
Ustadz Miftah
memulai kajiannya dengan melemparkan tiga pertanyaan kepada jamaah. Setiap
jamaah yang bisa menjawabnya mendapatkan buku yang dibawanya, yang berjudul
“Al-Musthafa”.
Pertanyaan pertama yang dilontarkannya adalah: di daerah manakah Rasulullah saw lahir? Sebutkan lima silsilah Nabi saw lima ke atas dan lima ke bawah? Dan siapa yang paling duluan datang ke majelis tersebut?
Pertanyaan pertama yang dilontarkannya adalah: di daerah manakah Rasulullah saw lahir? Sebutkan lima silsilah Nabi saw lima ke atas dan lima ke bawah? Dan siapa yang paling duluan datang ke majelis tersebut?
Jawaban yang
ketiga diketahui melalui daftar hadir. Untuk jawaban pertama dan kedua
tampaknya sangat sulit bagi jamaah yang hadir. Meski agak lama, tapi ternyata
ada juga yang bisa menjawabnya. Yakni bahwa Rasulullah saw lahir di kaki gunung
Qubaisyi, kampung Suqullail, Makkah. Kini rumah tempat kelahirannya itu menjadi
perpustakaan umum yang tidak pernah dibuka. Perpustakaan tersebut, menurut
Ustadz Miftah, setiap kali datang ke sana selalu dalam keadaan tutup.
Kondisinya pun cukup memperihatinkan karena berada di belakang lokasi tempat
kelahiran Rasulullah saw terdapat terminal yang kebersihannya tidak terjaga.
Menurut Ustadz Miftah, perhatian umat Islam—dalam hal ini diwakili pemerintah Arab Saudi—terhadap warisan sejarah, khususnya rumah tempat kelahiran Nabi saw sangat kurang. Berbeda dengan kaum Nasrani (Kristen) yang hingga kini lokasi tempat lahirnya Yesus Kristus atau Nabi Isa as di Bathlehem, sangat terpelihara dan dirawat dengan baik.
Menurut Ustadz Miftah, perhatian umat Islam—dalam hal ini diwakili pemerintah Arab Saudi—terhadap warisan sejarah, khususnya rumah tempat kelahiran Nabi saw sangat kurang. Berbeda dengan kaum Nasrani (Kristen) yang hingga kini lokasi tempat lahirnya Yesus Kristus atau Nabi Isa as di Bathlehem, sangat terpelihara dan dirawat dengan baik.
Jawaban yang
kedua bahwa silsilah Nabi Muhammad saw ke atas adalah Ibnu Abdullah (wafat
sebelum 571 Masehi), Ibnu Abdul Muthalib (500-580 Masehi), Ibnu Hasyim, Ibnu
Abdul Manaf, Ibnu Qusayy, Ibnu Kilab, Ibnu Murrah, Ibnu Ka`ab, Ibnu Lu`ay, Ibnu
Galib, Ibnu Fihr (Al-Quraisy), Ibnu Malik, Ibnu An-Nadr, Ibnu Kinanah, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Mudrikah, Ibnu Ilyas, Ibnu Mudar, Ibnu Nizar, Ibnu Ma`add, Ibnu
Adnan, Ibnu Udad, Ibnu Muqawwam, Ibnu Nahur, Ibnu Tairah, Ibnu Ya`rub, Ibnu
Yasyjub, Ibnu Nabit, Ibnu Ismail, Ibnu Ibrahim, Ibnu Tarih (Azar), Ibnu Nahur,
Ibnu Sarug, Ibnu Ra`u, Ibnu Falikh, Ibnu Aibar, Ibnu Syalikh, Ibnu Arfakhsyaz,
Ibnu Sam, Ibnu Nuh, Ibnu Lamk, Ibnu Mattusyalakh, Ibnu Akhnukh (Idris), Ibnu
Yard, Ibnu Mahlil, Ibnu Qainan, Ibnu Yanis, Ibnu Syith, Ibnu Adam (nabi
pertama). Sedangkan silsilah Nabi Muhammad saw ke bawah adalah Fatimah Az-Zahra
(wafat 632), Hasan Al-Mujtaba (625–669), Husain Asy-Syahidusyuhada (626–680),
Ali Zainal Abidin (658–713), Muhammad Al-Baqir (676–743), Jafar Ash-Shadiq
(703–765), Musa Al-Kazhim (745–799), Ali Ar-Ridha (765–818), Muhammad Al-Jawad
(810–835), Ali Al-Hadi (827–868), Hasan Al-Askari (846–874), Muhammad Al-Mahdi
Al-Muntazhar yang mengalami kegaiban pada 874.
Menurut Ustadz
Miftah, bagaimana bisa dikatakan mencintai Rasulullah saw jika tidak mengetahui
semua yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw, termasuk keluarga dan tempat
tanggal lahirnya. Mengenai lahirnya Nabi Muhammad saw ada dua versi: 12 Rabiul
Awwal dan 17 Rabiul Awwal tahun Gajah.
Memang ada
sebagian umat Islam yang memandang peringatan Maulid Nabi Muhammad saw sebagai
perbuatan bid`ah. Tapi apabila ditelusuri dari dimensi hakikat, justru itu
merupakan bentuk kecintaan atas lahirnya Rasulullah saw ke dunia ini. “Nikmat
iman dan nikmat Islam itu secara lahiriah berasal dari Rasulullah saw,”
katanya.
Ustadz Miftah
juga mengulas tentang betapa banyak umat Islam yang salah paham dalam memahami
Rasulullah saw. Salah satunya adalah tentang pernikahan dini Rasulullah saw
dengan Aisyah binti Abu Bakar. Umat Islam hingga kini masih percaya bahwa Nabi
menikahinya saat usia 6 atau 9 tahun. Yang benar adalah usia 17-19 an dan
dicampuri pada usia 21 tahun. Juga tentang istri pertama Nabi saw, Khadijah,
bahwa usianya tidak terlalu jauh dari usia Rasulullah saw dan bukan seorang
janda.
Begitu pula
tentang Nabi saw yang tidak bisa baca tulis. Menurutnya, kata “ummi” yang
biasanya diartikan tidak bisa baca tulis adalah salah karena arti “ummi” di
sana merujuk pada asal kota kelahirannya.
Makkah pada
masa itu disebut ummul qurra, dan orang-orang menyebut mereka yang berasal dari
Makkah dengan sebutan ‘ummi’. Karena Rasulullah saw berasal dari Makkah maka
disebut ‘ummi’. Ini pendapat Dr.Muhammad Iqbal.
“Dalam sejarah
disebutkan bahwa Nabi saw juga banyak melakukan aktivitas perdagangan dan
banyak mengutang. Dan dalam Al-Quran sendiri masalah utang atau perjanjian
diperintahkan oleh Allah untuk menuliskannya. Seperti ayat ini, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menulisnya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Allahnya,
dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu
orang yang lemah akalnya dan lemah (keadaannya) atau ia sendiri tidak mampu
mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antara
kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki atau
seorang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian
itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu, (tulislah mu`amalah itu), kecuali
mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila
kamu jual-beli. Dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan
yang demikian, maka hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarimu dan Allah mengetahui segala sesuatu. Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Allahnya, dan janganlah kamu para saksi
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan (QS al-Baqarah [2]: 282-283). Bahkan, saat akan
menghembuskan nafas terakhir Nabi saw meminta kertas dan pena. Bukankah Nabi
saw itu sempurna. Sangat tidak mungkin manusia sempurna tidak mengerti urusan
baca tulis,” tegasnya.
Mengenai
riwayat Nabi Muhammad saw meminta kertas dan pena terdapat dalam hadits riwayat
Muslim (book 013, number 4016): Ibn Abbas reported: When Allah’s Messenger (may
peace be upon him) was about to leave this world, there were persons (around
him) in his house, ‘Umar b. al-Khattab being one of them. Allah’s Apostle (may
peace be upon him) said: Come, I may write for you a document; you would not go
astray after that. Thereupon Umar said: Verily Allah’s Messenger (may peace be
upon him) is deeply has lost his consciousness. You have the Qur’an with you.
The Book of Allah is sufficient for us. Those who were present in the house
differed. Some of them said: Bring him (the writing material) so that Allah’s
Messenger (may peace be upon him) may write a document for you and you would
never go astray after him And some among them said what ‘Umar had (already)
said. When they indulged in nonsense and began to dispute in the presence of
Allah’s Messenger (may peace be upon him), he said: Get up (and go away)
‘Ubaidullah said: Ibn Abbas used to say: There was a heavy loss, indeed a heavy
loss, that, due to their dispute and noise. Allah’s Messenger (may peace be
upon him) could not write (or dictate) the document for them. (lihat
http://www.usc. edu/schools/ college/crcc/ engagement/ resources/ texts/muslim/
hadith/muslim/ 013.smt.html).
Hal lainnya
yang dibahas adalah tentang perbedaan Ahlu Sunnah (Sunni) dan Ahlu Bait
(Syiah), dan masalah kawin kontrak (muth`ah). Mengenai yang terakhir ini,
Ustadz Miftah mengatakan, “Pernikahan di Indonesia yang resmi itu sebenarnya
nikah kontrak atau muth`ah, karena setelah ijab-qabul ada pembacaan sighah
talaq. Dan saya juga baca itu waktu nikah. Di Iran, nikah da`im dan muth`ah itu
sama-sama dicatat. Bedanya, yang satu tidak menggunakan syarat dalam akad dan
satunya lagi menggunakan syarat.”
Karena waktu
sudah masuk dzuhur, walaupun banyak pertanyaan dari jamaah yang belum dijawab,
akhirnya peringatan Maulid Nabi Muhammad saw yang mencerahkan itu berakhir.
Dan, saya pun lantas pulang bersama istri tercinta. Subhanallah, liburan yang
mencerahkan.