Kamis, 13 Agustus 2015

Review Tesis, Membaca Sejarah Kota dengan Ilmu Sosial

SAYA sadar dengan kemampuan yang minim dalam ilmu-ilmu sosial humaniora. Penguasaan dan pemahaman teori cukup berat dikuasai selama satu semester. Apalagi perkembangan dan perubahan khazanah ilmu pengetahuan begitu cepat sehingga tidak mudah untuk memahaminya dengan benar.
Sesuai dengan pendapat almarhum Prof Kuntowijoyo bahwa ilmu-ilmu sosial yang bersifat sinkronis diperlukan dalam memahami ruang peristiwa secara komprehensif dalam kajian peristiwa-peristiwa sejarah. Rangkaian perjalanan sejarah yang diakronis akan terasa kering kalau hanya sekadar merunut dari awal hingga akhir. Agar tidak terasa kering maka peran ilmu sosial diperlukan memberi penjelasan atas setiap peristiwa sejarah.

Meski sekadar alat bantu dalam menjelaskan peristiwa sejarah, tetapi dengan ilmu sosial seakan-akan ada upaya “menciptakan” sejarah di atas realitas sejarah. Peristiwa yang terjadi dengan apa adanya, sesuai realitas, oleh peneliti sejarah diungkap dengan ragam teori. Tidak jarang karya penelitian sejarah lebih mendekati karya sosiologi atau antropologi. Hal ini yang saya temukan pada tesis karya almarhumah Eva Rufaidah yang berjudul: Perkembangan Kehidupan Keagamaan Masyarakat Muslim Perkotaan Bandung 1906-1930-an.
Memang tidak setiap ilmu sosial humaniora bisa digunakan dalam memahami sejarah. Bergantung subjek dan fokus kajian. Karena bisa saja nanti ketika menguraikan suatu peristiwa sejarah tidak memerlukan ilmu sosial humaniora. Seperti untuk penelitian sejarah kenabian Muhammad Rasulullah saw tidak bisa sekadar mengandalkan ilmu-ilmu sosial humaniora, tetapi memerlukan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran dan Al-Hadis untuk melacak sumber-sumbernya. Karena itu, ilmu sosial humaniora tetap diposisikan alat baca dan bukan menjadi penentu dari kebenaran realitas sejarah.
Dinamika Sejarah Kota Bandung
Tesis karya Eva Rufaidah berjudul Perkembangan Kehidupan Keagamaan Masyarakat Muslim Perkotaan Bandung 1906-1930-an. Tesis ini sudah dipertahankan dalam sidang yang diuji tiga orang: Prof Joko Suryo, Prof Suhartono, dan Prof Pujo Semedi. Selama proses pengerjaan tesis dibimbing oleh Dr Bambang Purwanto, tokoh ternama dalam kajian sejarah kritis dan posmodernisme. Tentu saja tesis Eva Rufaidah (selanjutnya disingkat ER) ini hasilnya mesti luar biasa.
Penelusuran tesis ER akan saya mulai dari judul. Melihat judul tesis mengingatkan saya kepada Prof Dr Kuntowijoyo. Sebagai pakar sejarah, Kuntowijoyo setiap kali menerangkan tentang penelitian sejarah (baik dalam buku-buku daras ilmu sejarah) maupun buku bacaan keislaman yang ditulisnya senantiasa menyertakan angka sesudah judul atau bab. Bahkan, dalam buku daras yang ditulisnya menyontohkan sejumlah judul atau topik penelitian sejarah dengan angka. Sebagai contoh dalam desertasinya yang berjudul Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Angka yang dilekatkan sesudah judul menandakan perubahan dan perkembangan, yang berarti berada dalam ranah kajian sejarah.
Mungkin karena Universitas Gadjah Mada merupakan “rumah” Kuntowiyojo sehingga model penelitian sejarah pun disesuaikan. Sesuatu yang wajar dan menunjukan ada pengaruh “mazhab” Kuntowijoyo yang cukup kuat pada karya ER. Tidak salah dan memang demikian bahwa kajian ilmiah senantiasa berdiri di atas “pundak raksasa” intelektual sebelumnya. Meski jiwa zaman dan perkembangan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat yang berkembang sudah bukan lagi yang diusung kaum positivis.
Tesis ER yang berjumlah sekira 400 halaman ini selesai Oktober 2003. Tesis ini terdiri dari enam bab. Sebagaimana karya ilmiah lainnya, untuk bab satu diisi dengan pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan penelitian yang telah dilakukan, kerangka konseptual, sumber penulisan, dan sistematika penulisan. Bagian satu ini bisa disebut akar atau dasar dari uraian selanjutnya sehingga kekuatan nalar peneliti akan terlihat diawal. Dari awal ini segalanya dimulai hingga menuju akhir (simpulan).
Pada bab satu ini, ER mengawali bahasan dengan menyebutkan Bandung menjadi gemeente pada 1906, sebuah kota kolonial (Belanda). Bandung sejak menjadi kota kolonial mengalami perubahan dari tradisional menuju modern. Dalam pendidikan lahir sekolah-sekolah yang didirikan kolonial kemudian lembaga pendidikan dari masyarakat pribumi. Perubahan ekonomi terlihat dari munculnya bank, pasar, pertokoan, pembangunan jalan raya, kendaraan, dan lainnya. Kemudian dalam pemahaman keagamaan Islam pun terjadi perubahan, terutama dengan lahirnya ormas Persatuan Islam (Persis) yang meramaikan wacana Islam di Bandung pada abad modern. Persinggungan kaum Persis dengan khazanah lokal Islam Sunda yang dipegang masyarakat Islam pun disebut oleh ER dianggap agen dari perubahan di Bandung.
Berdasarkan rumusan masalah, ER membatasi kajian dan memfokuskan pada: ekspresi beragama orang-orang Islam kota Bandung, perubahan dan perbedaan antara sebelum menjadi gemeente dan sesudahnya, dan persoalan yang muncul dan respons kalangan muslim kota berkenaan dengan gagasan modern.
ER menyebutkan dalam kerangka konseptual bahwa penelitiannya masuk dalam kategori penelitian sejarah kota, yang mengambil gagasan sejarah kota dari Eric Lampard bahwa urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan. ER menguraikan proses kemasyarakatan Bandung sebagai kota berkaitan dengan agama Islam dan budaya. Penelusuruan sejumlah sumber pun dilakukan dengan membuka arsip-arsip kolonial yang tercantum dalam daftar pustaka, buku dan majalah, dan melalukan wawancara dengan sejumlah narasumber dan tokoh dari kalangan budayawan dan sesepuh pesantren (yang ada pada zaman kolonial) di Bandung. Janten mun ditinggal tina sumber mah kalebet mundel eusi tesis ieu. Namung mun ditalungtik dugi kalebet mah teu sapertos anu disangki diawal.
Bab dua menguraikan Bandung sebagai kota kolonial yang tumbuh dari perkampungan Sunda. Dalam perkembangannya karena pengaruh kolonial mengalami perubahan dan melahirkan tunas-tunas pergerakan dan muncul sekolah-sekolah untuk kaum pribumi. Kemudian aspek infrastruktur Bandung diuraikan beserta peranan kolonial dalam pembangunan kota Bandung seperti membuat jalan braga, jalan raya pos, dan perkantoran. Disebutkan pula tentang pemukiman bangsa asing dengan perilaku hidupnya, pakaian yang dikenakan sehari-hari, hidup, hiburan, hotel, dan tempat peribadatan. Interaksi dan perkembangan Bandung sebagai kawasan bisnis di Bragaweg juga tidak luput dipaparkan.
Selanjutnya dipaparkan lahirnya sekolah buatan kolonial di Bandung seperti HBS, MULO, ELS, HCS, Volkschool, Inlandsche Meisjesschool, dan lainnya. Pada masa itu sekolah kaum pribumi pun muncul seperti Sakola Kaoetamaan Istri yang berubah menjadi Sakola Raden Dewi, Kadjatnikaan Istri, dan lainnya. Lahir juga organisasi Pagoeyoeban Pasoendan, Vereeniging Himpoenan Soedara, dan studieclub yang digerakan kaum pribumi terdidik yang kemudian mendapat respons dari kalangan Islam, khususnya dari Persis.
Bab tiga, berkaitan dengan Islam tradisi di Bandung. Bahasan yang dikupas lebih banyak menguraikan soal pendidikan keagamaan seperti ngaji, pesantren, dan kesusastraan Sunda yang dipengaruhi Sunda. Tradisi hataman, nyepitan (khitan), dan tokoh Sunda dari kalangan menak yang bersentuhan dengan pesantren diulas oleh ER. Termasuk sejumlah pesantren yang heubeul yang berada di kawasan Bandung disebutkan seperti Mahmoed, Seokapakir, Sindang Sari, Al-Ittifaq, Sukamiskin, Cigondewah, Hegarmanah, Margasari Cijawura, dan lainnya. Juga menyebutkan para tokoh Islam di Bandung yang menjadi sesepuh pesantren seperti Ajengan Maftuh, Ajengan Faqih, Ajengan Dimyati, Ajengan Sulaeman, Ajengan Ahmad Siradj, Ajengan Haji Sujai, Ajengan Raden Haji Muhammad bin Alqo, Ajengan Ubaidilah, Ajengan Burhan, Ajengan Jumhur, Ajengan Haji Uyeh Balukiyah Sakir, dan lainnya. Termasuk menyebutkan kitab kuning yang dipakai ketika pembelajaran di pesantren. Kemudian masih pada bab tiga, menerangkan sastra Sunda yang bercorak Islam seperti pupujian kepada Nabi Muhammad saw dijelaskan oleh ER sebagai bentuk ekspresi kalangan masyarakat Sunda yang seringkali dikumandangkan di masjid-masjid.
Dalam bab tiga ini, uraian berkaitan dengan budaya lokal tidak fokus di Bandung. Malah menyebutkan sejumlah tradisi petani di luar Bandung yang ketika akan tatanen, melak pare, dan dibuat (memanen) melakukan praktik budaya yang oleh ER dianggap belum Islami karena meski menyebut nama Allah tetapi masih menyandarkan pada sosok Sunan Ambu, Dwi Sri, dan nenek moyang Sunda. Tampaknya ER pada bab tiga ini terlalu bersemangat sehingga keluar dari lingkup Bandung. Hal yang sama ditemukan pada bab lima yang melebar pada wilayah luar Bandung saat menguraikan konflik keagamaan tentang ikhtilaf fikih di antara tokoh Islam.
Bab empat menguraikan perkembangan kota Bandung sebagai tempat tinggal, kaum luar Bandung yang bermukim yang kemudian orang-orang luar memiliki pengaruh dan secara tidak langsung membentuk komunitas tersendiri yang dikenali dengan daerah asalnya. Seperti babakan Ciamis, Taragong, Sumedang, Surabaya, dan lainnya. Ada pula nama daerah yang dikenali dengan nama orang yang tinggal, seperti Asep Berlian di Cicadas, adalah bermula dari orang Palembang yang tinggal dan menetap menjadi warga Bandung.
Selain muncul tempat tinggal dengan penyesuaian daerah asal, pada 1926 muncul perkumpulan keluarga seperti Koempoelan Wargi Soekapoera, Koempoelan Wargi Bandung yang khusus untuk kaum menak dengan sesepuh Bupati Bandung yang bernama Raden Adipati Aria Wiranatakusumah V (Dalem Haji).
Kemudian sedikit diuraikan kebiasaan masyarakat Islam Bandung ketika menjelang bulan puasa dan tradisi ngabuburit di Masjid Alun-Alun Bandung, keberadaan dan peranan penghulu Bandung, dan institusi madrasah yang dipelopori organisasi Permoepakatan Islam (PI) sebagai perkembangan pendidikan Islam sebelumnya, yaitu pesantren. Hal ini untuk mengimbangi maraknya sekolah umum yang kurang memerhatikan pelajaran agama. Pembelajarannya dilakukan sore hingga malam hari.
Pada 1927, Persis mendirikan madrasah untuk anak-anak dan kursus agama untuk orang dewasa. Dengan pengajar tokoh Persis seperti A. Hassan, Haji Zamzam, dan M. Natsir. Dari madrasah ini berlanjut dengan pendirian perguruan tinggi dan melancarkan gerakan pembaruan Islam dengan menerbitkan buku-buku yang mengoreksi ajaran Islam yang berkembang di masyarakat. Ada sekira 112 buku ajaran Islam versi Persis yang disebarkan pada waktu itu. Tentu saja gerakan frontal Persis, yang menuduh bid’ah pada ibadah yang dilakukan masyarakat, mendapat reaksi keras sehingga terjadi benturan pemahaman Islam antara Persis dengan umat Islam mayoritas. Tidak hanya menerbitkan buku, Persis membuat majalah Pembela Islam, Al-Lisaan, Al-Fatwa, dan At-Taqwa. Isinya tidak jauh dengan buku yang diterbitkan: hendak mengubah ajaran dan pemahaman Islam masyarakat Bandung dengan Islam ala Persis. Kemudian muncul Al-Moechtar, surat kabar yang kantornya di Tasikmalaya, dan majalah Kaboedayaan Oerang sebagai reaksi dari Persis.
Bab lima tentang pembaruan konsep komunitas. Hampir seluruh bagian ini diisi dengan pembahasan gerakan dakwah organisasi Persis dengan tokoh utama A. Hassan. Persis termasuk yang menghidupkan wacana keagamaan dengan berani menyerang kelompok Islam yang berbeda keyakinan dan pemahaman agama. Berbagai pertemuan yang diisi dengan debat antara Persis dengan tokoh Islam lainnya adalah dinamika keagamaan yang terjadi di Bandung pada saat itu.
Sepak terjang A.Hassan tidak hanya dalam melawan Muslimin tradisional. A.Hassan pula berupaya mempengaruhi Soekarno dengan memberikan buku-buku setiap kali kunjungan ke penjara Sukamiskin di Bandung. Bukannya menjadi seorang Persis, Soekarno malah semakin mantap dalam nasionalis dan perkembangan berikutnya menggabungkan agama dengan nasionalis dan komunis. Sebab nasionalis dan ajaran sosialisme telah tertanam dahulu sebelum ke Bandung karena sempat menjadi murid HOS Cokroaminoto di Yogyakarta.
Masih pada bab lima, A.Hassan terlibat “debat” dalam bentuk karya tulis dengan Hamka, tokoh Muhammadiyah yang nasionalis. A.Hassan menyerang pemikiran nasionalis Soekarno dalam majalah Persis, Pembela Islam. Tokoh Persis ini menyerang secara pemikiran karena mereka masuk dalam organisasi nasional tidak berdasarkan agama. Sesuatu yang wajar dan memang pilihan bahwa seseorang tidak bisa dihalangi dalam berkarya dalam bidang apa pun.
Bab enam, kesimpulan. Dalam bagian ini kiranya perlu dikutip simpulan ER di akhir sebagai penutup, “Perjalanan menjadi gemeente bagi Bandung ternyata telah membawa masuk perubahan yang bukan hanya menyentuh tataran fisik atau administratif kota melainkan lebih jauh lagi, melahirkan sejumlah respons kreatif masyarakat muslim perkotaan dengan ciri-ciri kekotaannya yang khas” (halaman 337).
Konfirmasi Metodologi Sejarah
Sekadar mengulang referensi pada kerangka konseptual (bab satu) Eric Lampard yang dikutip dari Kuntowijoyo dalam buku: Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994; halaman 55). Kuntowijoyo menyebut sejarah kota termasuk jarang diteliti oleh sejarawan. Karya ilmiah S1 dan S2 lebih banyak diisi dengan sejarah tokoh dan insitusi seperti pesantren, tarekat, madrasah, dan organisasi. Sedangkan mobilitas sosial dan sistem sosial masyarakat perkotaan tidak banyak disentuh. Hal ini karena masih ada anggapan yang disebut sejarah adalah peristiwa besar dan orang besar. Belum membidik kota dalam melihat sejarah perkembangan masyarakat Indonesia. Padahal, kota merupakan ruang pergerakan dan perubahan sejarah karena dari kota bisa melihat perbedaan dan kemajuan pada sebuah tempat. Kuntowijoyo dalam buku Metodologi Sejarah, halaman 53-54, menyebutkan ciri kota antara lain: administratif dan terdapat pejabat yang mengatur/memimpin, kemajuan sosio kultural, dan kelas-kelas sosial di masyarakat.
Masih dalam buku Metodologi Sejarah (halaman 55-62), Kuntowijoyo juga menyebutkan penelitian sejarah kota melingkupi lima kajian. Pertama, perkembangan ekologi kota dan interaksi manusia dengan alamnya. Kedua, transformasi sosial ekonomi. Ketiga, sistem sosial berupa kegiatan masyarakat mencakup domestik, agama, rekreasi, politik, kultural, hubungan warga dengan lembaga, status, kelas dan interaksi personal. Keempat, problem sosial; mulai dari kependudukan, konflik kelas, dan persoalan kelompok atau identitas. Kelima, mobilitas sosial berupa kemajuan masyarakat dan gerakan masyarakat.
Kembali pada tesis, apakah sudah memenuhi yang disebutkan Kuntowijoyo? ER dalam tesisnya menguraikan kehidupan keagamaan di masyarakat perkotaan Bandung adalah pengajian, pesantren, madrasah, organisasi, tradisi Sunda bercorak Islam, gerakan dakwah Persis, dan respons intelektual dalam bentuk perang wacana di media dalam persoalan keagamaan.
Dalam tesisnya, ER terlalu fokus dengan Persis dengan gerakannya. Seakan-akan yang disebut Islam di Bandung adalah Persis. Padahal, sebelumnya ada Permoepakatan Islam dan Syarikat Islam yang muncul di Bandung 1913 tidak diuraikan dengan mendalam.
Kemudian respons pesantren dan ulama tradisional atas gerakan Persis tidak dilihat dan tidak diuraikan. Banyak ajengan di sejumlah pesantren di kota Bandung ini memiliki memori kolektif dan kisah perjuangan sesepuhnya diwariskan turun temurun dengan bahasa lisan mulai dari rintisan pesantren, pengajaran, dan dialog-dialog keagamaan dengan kalangan Persis. Hanya sosok Hamka dan Soekarno yang disebutkan merespons Persis.
Hal lain yang tidak dibahas adalah perubahan mendasar di Bandung dari pra-kota hingga menjadi kota. Tidak menguraikan tentang interaksi masyarakat pribumi dengan warga asing Eropa yang menghuni Bandung: mulai dari gaya hidup, konflik antara warga Cina dan Eropa, dan masalah sosial lainnya. Yang disebutkan itu berdasarkan pendapat Kuntowijoyo masuk dalam lingkup penelitian sejarah kota.
Mengapa abai dengannya? Tampaknya karena merasa cukup dengan yang mudah dan dekat secara intelektual atau emosional. Kalau sekadar itu maka yang muncul adalah representasi kelompok dan identitas atau memunculkan prasangka subjektif dari pembaca awam seperti saya ini.
Terakhir, berkaitan dengan teknis menulis. Ketika membuka halaman demi halaman dan membacanya, sering ditemukan kalimat dan kosa yang tidak lengkap. Kemudian ditemukan, terutama pada bab lima bahwa antara judul di dalam tesis dengan daftar isi ternyata berbeda. Tampaknya masalah mekanikal editing ini abai karena ER diburu-buru agar cepat selesai sehingga tidak sempat memeriksanya. Dan, sering pula ditemukan pada karya desertasi atau jurnal ilmiah.
Demikian yang bisa saya sampaikan dalam review ini. Besar harapan ada koreksi dan perbaikan untuk perkembangan intelektual saya, yang hingga kini terus diasah dan up-grade.
Bandung, 16 November 2012
AHMAD SAHIDIN adalah Mahasiswa S2 Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, angkatan 2014.
(Naskah ini merupakan tugas mata kuliah Ilmu Sosial Humaniora di Prodi Sejarah Kebudayaan Islam Pascasrjana UIN SGD Bandung. Terima kasih kepada Dr Djodjo Soekarjo Sudana, Dr Setia Gumilar, dan Dr Wibisono, selaku dosen yang membimbing kami dalam kajian ilmu-ilmu sosial secara kritis dan praktis)