Senin, 10 Agustus 2015

Membaca Buku The Venture of Islam

Salam. Sampurasun.... Ini saya anggap, mungkin bisa sedikit untuk memahami atau, pengantar untuk memahami Islam yang bercorak budaya. Kini sedang marak wacana Islam Nusantara. Saya kira lebih konteksual dengan kondisi sekarang adalah Islam Indonesia. Sekarang ini negeri kita bukan lagi Nusantara berdasarkan administratif. Secara historis memang Nusantara. Islam Nusantara dalam sejarah berkaitan dengan kerajaan-kerajaan Islam di masa lalu. Dahulu memang banyak kerajaan Islam tersebar di berbagai nusa atau pulau-pulau yang kini masuk kawasan NKRI.

Meski berbeda, kerajaan tersebut memiliki kesamaan satu sama lain dalam agama yang dipegang: agama Islam. Dari sana muncul ragam Islam dari berbagai pulau atau daerah dengan kekhasannya. Mungkin dari berbagai ragam wajah Islam yang muncul dari berbagai kerajaan (sebelum kolonial Hindia Belanda dan kemerdekaan Indonesia) wajah Islam yang beragam bisa dimaknai sebagai Islam Nusantara. Secara historis ragam pemahaman Islam ini lahir dari penyesuaian dengan budaya dan sosial masyarakat di mana umat Islam berpijak. Sehingga corak Islam yang muncul berbeda dengan Timur Tengah dan Eropa. Saya memahami demikian berdasarkan pemnacaan dari buku The Venture of Islam.

Islamic, Islamicate, Islamdom
Saya membaca dalam buku The Venture of Islam karya Marshal GS Hodgson; yang diterjemahkan Dr.Mulyadhi Kartanegara; bahwa Islam dalam konteks sejarah tidak pernah tercatat menghilangkan budaya lokal. Islam hadir memberi warna baru dan mengisinya dengan nilai atau ajaran yang lebih universal dan bernuansa spiritualitas. Nabi Muhammad saw di Arab mengganti tradisi haji yang berbau jahiliah dengan ajaran Islam. Bahkan, mengubah perilaku buruk yang membudaya di Makkah dan Madinah menjadi sebaliknya.

Begitu juga dengan mereka yang biasanya berperang antarsuku disatukan dalam satu komunitas: umat Islam. Mereka yang menganggap anak perempuan sebagai beban ekonomi keluarga diberi pencerahan bahwa anak (baik laki-laki atau perempuan) merupakan anugerah dan amanah dari Allah serta menjadi kekayaan yang berharga bagi keluarga. Pernikahan ubah sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga unsur penindasan dan menganggap istri sekadar pemuas seks dihapuskan. Pernikahan diatur secara syariah sehingga bernilai sakral dan kaum lelaki-lelaki tidak lagi seenaknya dalam memperlakukan istri dan anak-anaknya. Kebiasaan menindas terhadap kaum dhuafa dihilangkan dengan mengangkat kaum dhuafa setara atau sederajat dengan masyarakat lainnya.

Harus diakui Sang Nabi (Muhammad bin Abdullah) merupakan orang Arab. Yang keberadaannya terikat dengan budaya dan karakter masyarakat Arab. Misalnya kita mengenal pakaian Arab berkurung seperti pakaian perempuan. Memakai serban yang menutup kepala. Pakaian tersebut tidak hanya dipakai oleh Sang Nabi, tetapi juga oleh masyarakat Arab lain yang tidak beragama Islam. Pakaian tersebut pula yang dipakai dalam kegiatan ibadah. Dan agama Islam tidak mengubah bentuk dan model pakaian yang dipakai orang Arab saat itu. Hanya ditegaskan dalam nash/kitab suci adalah bersih dan menutup aurat. Inilah ajaran agama tentang aurat dan pakaian. Sedangkan bentuk pakaiannya bagian dari pemahaman atau karya kreatif masyarakat yang memenuhi syarat dengan ajaran Islam (doktrin agama).

Kemudian contoh tentang nikah poligami. Dahulu tidak ada batasan dan menjadi budaya masyarakat Arab. Sang Nabi melalui ajaran Islam (berupa ayat-ayat Quran) menegaskan poligami hanya disahkan empat wanita dan dilakukan dengan pernikahan yang sesuai ajaran agama Islam. Contoh lainnya, dalam masyarakat Arab yang menjadi otoritas dalam keluarga adalah laki-laki. Yakni ayah dan anak laki-laki pertama. Sehingga seseorang yang berkuasa adalah harus laki-laki dan anak mempunyai otoritas seperti ayahnya jika kelak ayahnya wafat. Ajaran agama mengaturnya dalam bentuk pewarisan yang syariah. Otoritas kekuasaan ditentukan secara musyawarah meski ada pula budaya turun temurun (kekuasaan) yang masih dipegang oleh masyarakat Arab. Dalam mazhab Syiah diyakini bahwa geneologi sebagai otoritas dalam kepemimpinan agama Islam mazhab Syiah. Yang sebetulnya sistem turun temurun ini bagian dari budaya Arab terdahulu, bahkan dalam silsilah para Nabi pun ada ketentuan secara genetis, yang secara historis merupakan tradisi masyarakat Arab. Bukan hanya Arab, bahkan di Asia Tenggara pun ada tradisi turun temurun otoritas. Tradisi tersebut kemudian dilegitimasi dengan nash sehingga menjadi bagian dari doktrin. Misalnya dalam mazhab Syiah mesti laki-laki yang menjadi Imam dan dari keturunan Sayidah Fathimah bin (Nabi) Muhammad saw. Meski diketahui bahwa keturunan dari Rasulullah bukan hanya dari jalur Sayidah Fathimah, tetapi ada pula anak Rasulullah saw yang lainnya: Zainab, Ruqayyah, dan lainnya. Hanya saja dalam sejarah informasinya tidak lengkap sehingga perlu diteliti tentang anak-anak dari selain Sayidah Fathimah.  

Kemudian bentuk bangunan masjid. Lihat di Arab bentuknya kubah pada bagian atas. Bangunan dengan dinding dan tanah. Ketika agama Islam masuk ke India, bentuk masjid lebih bagus dan indah dari masjid yang di Mekkah dan Madinah. Arsitektur dan lukisan yang menarik. Tengok lagi di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Masjid bentuknya tidak seperti gaya Arab dan India, tetapi mirip dengan Pura (yang merupakan tempat ibadah Hindu). Masjid bisa dipahami sebagai ajaran agama Islam yang memerintahkan di dalamnya sebagai tempat shalat dan ibadah. Namun, bentuk masjid yang aneka ragam bagian dari pemahaman agama dari umat Islam yang mendirikan masjid. Tentu dalam hal ini ada unsur lokal yang memengaruhi munculnya masjid dengan gaya dan bentuk yang tidak sama dengan masjid di Arab.

Begitu juga ketika Islam masuk ke Tatar Sunda. Budaya Sunda dan Islam bisa berdampingan dan saling mengkuatkan. Misalnya dalam acara adat pernikahan dan seni rudat dalam sunatan/khitanan, khazanah tersebut diisi ajaran-ajaran Islam.

Karena itu, budaya yang diisi ajaran-ajaran Islam tersebut menjadi bentukan baru antara Sunda (tarian) dan Islam (babacaan dan kawihnya) dan seni rudat mereplace acara Sunda sebelumnya yang berbau Hindu. Hal itu terjadi karena suatu ajaran/nilai yang datang ke suatu bangsa/kawasan pasti akan mengalami pengkayaan akibat pengaruh budaya yang dibawa pada kawasan tersebut. Pengkayaan budaya inilah yang menjadi khas Islam-Sunda yang sangat berbeda dengan Islam Jawa, Islam Arab, Islam Eropa, dan lainnya.

Marshall GS.Hodgson menyebut “Islamicate“ pada realitas budaya yang bercorak Islam. Hodgson dalam studi peradaban Islam menganjurkan dalam melihat realitas Islam di dunia harus bisa membedakan antara Islam sebagai doktrin (Islamic) dan fenomena ketika doktrin itu masuk dan berproses dalam sebuah masyarakat-kultural yang disebut “Islamicate”. Kemudian juga harus melihat konteks sosial dan kesejarahan, khususnya saat Islam menjadi sebuah fenomena “dunia Islam” yang politis dalam kenegaraan yang disebut dengan “Islamdom”.

Apabila membaca kawasan Islam atau peradaban Islam dengan kacamata Hodgson maka akan jelas terlihat bagaimana beragamnya Islam ketika hadir dalam kawasan lainnya. Meskipun jauh dari tempat lahirnya Islam, komunitas Islam di kawasan-kawasan tertentu tidak jauh beda dalam pelaksanaan keislamannya dan tidak ada istilah yang paling asli dan tidak asli. Karena yang menilai keislaman bukan manusia. *** (ahmad sahidin)