Jumat, 21 Agustus 2015

Resensi buku Tadarus Cinta Buya Pujangga

Membaca novel buat saya bagian dari hiburan. Karena memang novel bukan sesuatu yang sakral dan pelajaran yang tertuang dalam novel bisa multitafsir. Tidak ada ketentuan dalam masalah tersebut.
Untuk buku yang berbau agama dan keagamaan, baru ada nuansa sakral dan nilai-nilai penting bagi umat manusia. Kadang untuk mempertahankan sakralitas itu orang-orang yang menjabat selaku pemegang otoritas agama terjun dalam menilai dan menyampaikan kepada publik.

Untuk novel memang ada juga yang kena semprot otoritas agama. Saya kira itu bagian dari jiwa liar dan tidak terkontrol dalam proses menulisnya. Namanya juga novel, pasti tidak benar-benar berasal dari fakta. Dominan imajinasi yang tertuang. Karena itu, sumber daya kreatif dan tujuan sang penulis dalam menulis novel harusnya dipertanyakan sebelum meluncurnya karya di tengah masyarakat.

Nah novel: Tadarus Cinta Buya Pujangga karya Akmal N.Basral bukan termasuk yang sakral. Karena itu, saya ingin memberikan catatan. Ini sih dari ketidaktahuan saya yang awam dalam sastra dan dunia penerbitan.

Novel yang tebalnya 375 halaman ini diterbitkan Salamadani Grafindo. Berdasarkan pembacaan saya, setidaknya ada beberapa catatan.

Pertama, kavernya bagus dan menggambarkan suasana masa lalu Minangkabau. Hanya saja kalau menilik isi novel yang mengisahkan kehidupan Hamka, tampaknya kurang mengena dan tidak memilki daya tarik. Pembeli buku yang melihat di toko tidak akan mengenal kalau itu novel tentang
kehidupan Hamka. Apalagi dengan judul Buya Pujangga. Pasti kurang dikenali. Hanya orang yang gaul dengan sastra yang kenal.

Kedua adalah alur cerita linier dengan intrik keluarga dan adat istiadat menjadi bumbu dari isi novel. Ketiga tentang pengambaran suasana alam Minangkabau dan kehidupan masyarakatnya yang seakan-akan terpampang di depan mata.

Keempat, mengisahkan perjuangan seorang anak ulama yang menjadi tokoh Islam Indonesia, masa pergerakan organisasi Islam, dan tumbuhnya rasa kebangsaan dari tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terdahulu.

Kelima, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Keluarga ulama melahirkan ulama. Sisi genetis ini tidak dilabrak dan saya kira penulis sedang mempertahankannya. Dalam kehidupan sekarang ini saya kira yang demikian sedikit. Banyak putra ulama yang menjadi orang bejad moral. Bahkan, orang-orang yang disebut ulama sendiri berperilaku yang bertentangan dengan agama.

Enam, ini sebuah pertanyaan: mengapa sosok pujangga yang dimunculkan menjadi judul? Bukankah Hamka itu lebih populer dan dominan dalam hidupnya dengan sosok ulama atau aktivitas keagamaan?

Ketujuh, aaya masih menemukan ketidaksesuaian standar editologi dalam novel tersebut. Mungkin itu hal teknis dari pekerja buku yang perlu disempurkan melalui edukasi publishing. Padahal, di penerbit tersebut menerbitkan buku panduan untuk editor dari master penerbitan. Kenapa
tidak dijadikan acuan. Tapi biarlah itu hal teknis.

Nah itu catatan saya. Mungkin ada yang berminat share bagi yang sudah baca novel Tadarus Cinta Buya Pujangga.