Membaca novel
buat saya bagian dari hiburan. Karena memang novel bukan
sesuatu yang sakral dan pelajaran yang tertuang dalam novel bisa multitafsir. Tidak ada ketentuan dalam masalah tersebut.
Untuk buku
yang berbau agama dan keagamaan, baru ada nuansa sakral dan
nilai-nilai penting bagi umat manusia. Kadang untuk mempertahankan
sakralitas itu orang-orang yang menjabat selaku pemegang otoritas
agama terjun dalam menilai dan menyampaikan kepada publik.
Untuk novel
memang ada juga yang kena semprot otoritas agama. Saya
kira itu bagian dari jiwa liar dan tidak terkontrol dalam proses
menulisnya. Namanya juga novel, pasti tidak benar-benar berasal dari
fakta. Dominan imajinasi yang tertuang. Karena itu, sumber daya
kreatif dan tujuan sang penulis dalam menulis novel harusnya
dipertanyakan sebelum meluncurnya karya di tengah masyarakat.
Nah novel:
Tadarus Cinta Buya Pujangga karya Akmal N.Basral bukan
termasuk yang sakral. Karena itu, saya ingin memberikan catatan. Ini
sih dari ketidaktahuan saya yang awam dalam sastra dan dunia
penerbitan.
Novel yang
tebalnya 375 halaman ini diterbitkan Salamadani Grafindo. Berdasarkan pembacaan saya, setidaknya ada beberapa catatan.
Pertama, kavernya
bagus dan menggambarkan suasana masa lalu Minangkabau.
Hanya saja kalau menilik isi novel yang mengisahkan kehidupan Hamka,
tampaknya kurang mengena dan tidak memilki daya tarik. Pembeli buku
yang melihat di toko tidak akan mengenal kalau itu novel tentang
kehidupan Hamka. Apalagi dengan judul Buya Pujangga. Pasti kurang dikenali. Hanya orang yang gaul dengan sastra yang kenal.
kehidupan Hamka. Apalagi dengan judul Buya Pujangga. Pasti kurang dikenali. Hanya orang yang gaul dengan sastra yang kenal.
Kedua adalah alur cerita
linier dengan intrik keluarga dan adat istiadat menjadi
bumbu dari isi novel. Ketiga tentang pengambaran
suasana alam Minangkabau dan kehidupan masyarakatnya
yang seakan-akan terpampang di depan mata.
Keempat, mengisahkan
perjuangan seorang anak ulama yang menjadi tokoh Islam
Indonesia, masa pergerakan organisasi Islam, dan tumbuhnya rasa
kebangsaan dari tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terdahulu.
Kelima, buah jatuh
tidak jauh dari pohonnya. Keluarga ulama melahirkan
ulama. Sisi genetis ini tidak dilabrak dan saya kira penulis sedang
mempertahankannya. Dalam kehidupan sekarang ini saya kira yang
demikian sedikit. Banyak putra ulama yang menjadi orang bejad moral.
Bahkan, orang-orang yang disebut ulama sendiri berperilaku yang
bertentangan dengan agama.
Enam, ini sebuah pertanyaan: mengapa sosok
pujangga yang dimunculkan menjadi judul? Bukankah Hamka itu lebih
populer dan dominan dalam hidupnya dengan sosok ulama atau aktivitas
keagamaan?
Ketujuh, aaya masih
menemukan ketidaksesuaian standar editologi dalam novel
tersebut. Mungkin itu hal teknis dari pekerja buku yang perlu
disempurkan melalui edukasi publishing. Padahal, di penerbit tersebut
menerbitkan buku panduan untuk editor dari master penerbitan. Kenapa
tidak dijadikan acuan. Tapi biarlah itu hal teknis.
tidak dijadikan acuan. Tapi biarlah itu hal teknis.
Nah itu
catatan saya. Mungkin ada yang berminat share bagi yang sudah
baca novel Tadarus Cinta Buya Pujangga.