Sabtu, 22 Agustus 2015

Resensi buku Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan

Baru saja saya selesai membaca buku Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan. Buku ini diterbitkan Serambi, 2006. Ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat atau yang biasa disapa Kang Jalal.

Buku Islam dan Pluralisme ini tidak tebal, hanya berjumlah 292 halaman. Termasuk buku saku sehingga mudah dibawa-bawa. Dari segi bahasa, ditulis dengan bahasa yang mengalir dan dan pilihan kosa kata yang pas sehingga mudah dicerna.


Memang ada istilah Arab dan Inggris, tetapi ada penjelasan harfiah dan jika membacanya secara perlahan bagian yang dibahas akan diketahui maknanya.

Buku ini termasuk buku lama. Mungkin sudah tidak ada di toko buku. Cobalah bermain ke penerbitnya barangkali masih ada stock, atau kunjungilah perpustakaan-perpustakaan kampus.

Kesan saya terhadap buku Kang Jalal ini, meski sudah terbit lama, membuat pikiran saya tertata kembali. Khususnya berkaitan dengan makna Islam dan agama yang dibahas Kang Jalal berdasarkan Tafsir Min Wahyu Al-Quran karya almarhum Sayid Muhammad Husein Fadhlullah.

Salah satu simpulan yang ditemukan Kang Jalal bahwa Islam berarti kepasrahan total dan agama merupakan institusi yang setiap zaman bisa berubah. Namun, hakikat dari ajaran agama setiap zamannya sama. Itulah makna Islam yang hakiki. Namun, Islam yang sekarang ini lebih dimaknai sebagai institusi formal sehingga kaum Muslim tertentu menganggap orang yang berbeda institusi agama (atau yang bukan beragama Islam) sebagai salah dan menyimpang sehingga mesti diajak untuk masuk Islam.

Padahal, dalam al-Quran (sebagaimana dikutip Kang Jalal dari Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah) bahwa Al-Baqarah ayat 62, Al-Maidah ayat 69, dan Al-Hajj ayat 17: “menegaskan keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh” (halaman 23).

Rasulullah saw pun membiarkan kaum Yahudi dan Nasrani terdahulu yang ada di Madinah menjalankan agamanya. Tidak dipaksa masuk Islam. Hanya dikenakan aturan bayar pajak untuk kepentingan Pemerintahan Madinah. Bahkan diikat dengan aturan bersama yang disebut Piagam Madinah; karena Madinah merupakan kawasan yang plural dengan agama. 

Tidak ada paksaan dari Nabi agar mereka berpindah agama. Hal ini jelas menunjukkan, secara tidak langsung, bahwa syariat agama mereka masih diakui kebenarannya oleh Rasulullah saw. Dapat dipahami bahwa Nabi mementingkan kebersamaan dan perdamaian di Madinah merupakan hal yang esensial ketimbang mengurus perbedaan agama.

Juga dengan kaum Anshar dan Muhajirin, meski beda kultur dan karakter, diikat berdasarkan kesamaan agama yang dipeluk menjadi satu umat. Meski kemudian pasca wafat Nabi kembali umat Islam memisahkan diri dan menjadi aliran Islam tersendiri. Tentu hal ini karena ada faktor-faktor dan kepentingan manusia yang bersifat pribadi.

Ikatan agama dan kebebasan beragama merupakan hak setiap umat manusia. Bahkan, Allah sendiri menyatakan orang diperbolehkan untuk taat atau tidak kepada Allah. Diberi pilihan dan kelak akan dapat risikonya. Pilihan dan kebebasan ini sampai sekarang hilang dari umat Islam. Mentang-mentang orang Islam memimpin kemudian yang beda mazhab dengannya dianggap sesat dan dibiarkan orang-orang untuk mengganggunya. Mentang-mentang mayoritas Islam berkuasa, sejumlah Gereja dan tempat ibadah agama lain dipersulit izinnya.

Kembali pada buku Islam dan Pluralisme. Buku ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama tentang landasan pluralisme dalam Islam berdasarkan kajian tafsir dan riwayat. Kedua adalah memahami iman dan ketuhanan sehingga orang-orang beriman dengan lebih otentik dan sadar dengan hakikat beragama di tengah masyarakat. Ketiga membahas masalah-masalah yang menghambat terwujudnya masyarakat yang tenteram dalam beragama dan berkehidupan. Doktrin amar ma’ruf nahi munkar yang kerap disalahpahami dikupas secara historis oleh Kang Jalal berdasarkan data sejarah. Sosok Abu Dzar, Ammar bin Yassir, Malik Asytar, dan Imam Ali dikupas dengan jernih dan dijadikan contoh penegak kebenaran di tengah masyarakat.

Juga berkaitan dengan hubungan antara agama dan negara, penegakan negara Islam, hak-hak rakyat, jaminan kebebasan beragama, dan nilai-nilai seorang pemimpin dikupas secara gamblang berdasarkan Quran dan riwayat Rasulullah saw serta catatan sejarah yang lengkap.    

Tidak hanya itu, gerakan fundamentalisme dan gejala ateisme yang menjadi masalah pada abad modern ini dipaparkan asal-usulnya dengan merujuk pada kasus Barat dan Dunia Islam.

Bagi mereka yang terbiasa membaca khazanah filsafat sosial Barat dan sejarah Islam akan mudah memahami alur pemikiran Kang Jalal yang ditulis dalam buku ini. Namun, jangan khawatir tidak paham karena yang berkaitan dengan nuansa akademis hanya sedikit. Kalah banyak uraian dalam buku ini dengan yang mudah dicerna. Apalagi yang terbiasa mengkaji pemikiran Islam akan merasakan pengayaan pemahaman agama Islam dan masalah-masalah pluralisme.

Demikian gambaran umum buku Islam dan Pluralisme, yang saya pahami dari hasil membacanya. Mungkin akan lain hasilnya kalau Anda yang langsung membacanya.

Sekadar menutup catatan ini, saya kutipkan pernyataan Kang Jalal (halaman 216) yang mudah-mudahan Anda dapat memahami maksudnya: 

“Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia.” 

Tah geuning ngan kenging sakitu. Sugan jeung sugan isuk jaganing geto tiasa diteraskeun seratanna. *** (Ahmad Sahidin)