Buku Islam dan Pluralisme ini tidak tebal, hanya berjumlah 292 halaman. Termasuk buku
saku sehingga mudah dibawa-bawa. Dari segi bahasa, ditulis dengan bahasa yang
mengalir dan dan pilihan kosa kata yang pas sehingga mudah dicerna.
Memang ada istilah Arab dan Inggris, tetapi ada penjelasan harfiah dan jika membacanya secara perlahan bagian yang dibahas akan diketahui maknanya.
Memang ada istilah Arab dan Inggris, tetapi ada penjelasan harfiah dan jika membacanya secara perlahan bagian yang dibahas akan diketahui maknanya.
Buku ini termasuk buku lama. Mungkin
sudah tidak ada di toko buku. Cobalah bermain ke penerbitnya barangkali masih
ada stock, atau kunjungilah perpustakaan-perpustakaan kampus.
Kesan saya terhadap buku Kang Jalal ini,
meski sudah terbit lama, membuat pikiran saya tertata kembali. Khususnya
berkaitan dengan makna Islam dan agama yang dibahas Kang Jalal berdasarkan Tafsir
Min Wahyu Al-Quran karya almarhum Sayid Muhammad Husein Fadhlullah.
Salah satu simpulan yang ditemukan Kang
Jalal bahwa Islam berarti kepasrahan total dan agama merupakan institusi yang
setiap zaman bisa berubah. Namun, hakikat dari ajaran agama setiap zamannya
sama. Itulah makna Islam yang hakiki. Namun, Islam yang sekarang ini lebih
dimaknai sebagai institusi formal sehingga kaum Muslim tertentu menganggap
orang yang berbeda institusi agama (atau yang bukan beragama Islam) sebagai
salah dan menyimpang sehingga mesti diajak untuk masuk Islam.
Padahal, dalam al-Quran (sebagaimana
dikutip Kang Jalal dari Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah) bahwa Al-Baqarah ayat 62, Al-Maidah
ayat 69, dan Al-Hajj ayat 17: “menegaskan keselamatan pada hari akhirat akan
dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan
pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat:
memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal saleh” (halaman 23).
Rasulullah saw pun membiarkan kaum
Yahudi dan Nasrani terdahulu yang ada di Madinah menjalankan agamanya. Tidak
dipaksa masuk Islam. Hanya dikenakan aturan bayar pajak untuk kepentingan
Pemerintahan Madinah. Bahkan diikat dengan aturan bersama yang disebut Piagam
Madinah; karena Madinah merupakan kawasan yang plural dengan agama.
Tidak ada
paksaan dari Nabi agar mereka berpindah agama. Hal ini jelas menunjukkan,
secara tidak langsung, bahwa syariat agama mereka masih diakui kebenarannya
oleh Rasulullah saw. Dapat dipahami bahwa Nabi mementingkan kebersamaan dan
perdamaian di Madinah merupakan hal yang esensial ketimbang mengurus perbedaan
agama.
Juga dengan kaum Anshar dan Muhajirin,
meski beda kultur dan karakter, diikat berdasarkan kesamaan agama yang dipeluk
menjadi satu umat. Meski kemudian pasca wafat Nabi kembali umat Islam memisahkan
diri dan menjadi aliran Islam tersendiri. Tentu hal ini karena ada
faktor-faktor dan kepentingan manusia yang bersifat pribadi.
Ikatan agama dan kebebasan beragama
merupakan hak setiap umat manusia. Bahkan, Allah sendiri menyatakan orang
diperbolehkan untuk taat atau tidak kepada Allah. Diberi pilihan dan kelak akan
dapat risikonya. Pilihan dan kebebasan ini sampai sekarang hilang dari umat
Islam. Mentang-mentang orang Islam memimpin kemudian yang beda mazhab dengannya
dianggap sesat dan dibiarkan orang-orang untuk mengganggunya. Mentang-mentang
mayoritas Islam berkuasa, sejumlah Gereja dan tempat ibadah agama lain
dipersulit izinnya.
Kembali pada buku Islam dan
Pluralisme. Buku ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama tentang
landasan pluralisme dalam Islam berdasarkan kajian tafsir dan riwayat. Kedua
adalah memahami iman dan ketuhanan sehingga orang-orang beriman dengan lebih
otentik dan sadar dengan hakikat beragama di tengah masyarakat. Ketiga membahas
masalah-masalah yang menghambat terwujudnya masyarakat yang tenteram dalam
beragama dan berkehidupan. Doktrin amar ma’ruf nahi munkar yang kerap
disalahpahami dikupas secara historis oleh Kang Jalal berdasarkan data sejarah.
Sosok Abu Dzar, Ammar bin Yassir, Malik Asytar, dan Imam Ali dikupas dengan
jernih dan dijadikan contoh penegak kebenaran di tengah masyarakat.
Juga berkaitan dengan hubungan antara
agama dan negara, penegakan negara Islam, hak-hak rakyat, jaminan kebebasan
beragama, dan nilai-nilai seorang pemimpin dikupas secara gamblang berdasarkan
Quran dan riwayat Rasulullah saw serta catatan sejarah yang lengkap.
Tidak hanya itu, gerakan fundamentalisme
dan gejala ateisme yang menjadi masalah pada abad modern ini dipaparkan
asal-usulnya dengan merujuk pada kasus Barat dan Dunia Islam.
Bagi mereka yang terbiasa membaca
khazanah filsafat sosial Barat dan sejarah Islam akan mudah memahami alur
pemikiran Kang Jalal yang ditulis dalam buku ini. Namun, jangan khawatir tidak
paham karena yang berkaitan dengan nuansa akademis hanya sedikit. Kalah banyak
uraian dalam buku ini dengan yang mudah dicerna. Apalagi yang terbiasa mengkaji
pemikiran Islam akan merasakan pengayaan pemahaman agama Islam dan masalah-masalah
pluralisme.
Demikian gambaran umum buku Islam dan
Pluralisme, yang saya pahami dari hasil membacanya. Mungkin akan lain
hasilnya kalau Anda yang langsung membacanya.
Sekadar menutup catatan ini, saya
kutipkan pernyataan Kang Jalal (halaman 216) yang mudah-mudahan Anda dapat
memahami maksudnya:
“Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia.”
“Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia.”
Tah geuning ngan kenging sakitu. Sugan jeung sugan isuk jaganing geto tiasa diteraskeun seratanna. *** (Ahmad Sahidin)