Jumat, 22 Agustus 2025

Refleksi Hari Kemerdekaan: Antara Keceriaan dan Keteladanan dalam Pendidikan Bangsa

Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia larut dalam euforia perayaan hari kemerdekaan. Dari gang-gang sempit hingga alun-alun kota atau sekolah-sekolah pun perayaan dipenuhi dengan berbagai kegiatan yang meriah—lomba-lomba, parade budaya, pentas seni, dan pesta tawa bersama warga. Ini adalah ekspresi yang wajar. Ulang tahun—baik individu maupun bangsa—memang identik dengan keceriaan. Namun, apakah euforia ini sudah mencerminkan makna terdalam dari kemerdekaan?

Kemerdekaan Bukan Sekadar Kegembiraan

Peringatan hari kemerdekaan seharusnya tidak berhenti pada perayaan seremonial. Kita perlu menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hadir sebagai hadiah, tetapi merupakan hasil perjuangan berdarah-darah. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para tokoh bangsa lainnya, bukan hanya memproklamasikan kemerdekaan, tetapi mewakili semangat pengorbanan, keberanian, dan tanggung jawab moral untuk membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan.

Spirit perjuangan inilah yang mulai tergerus oleh rutinitas perayaan tahunan yang cenderung dangkal dan repetitif. Dalam konteks ini, peringatan kemerdekaan perlu direposisi: dari sekadar ajang hiburan menjadi momentum pendidikan karakter dan keteladanan.

Momentum Pendidikan Nilai-nilai Kebangsaan

Pendidikan sejati adalah yang menyentuh hati dan menggugah kesadaran. Dalam peringatan kemerdekaan, seharusnya ada ruang untuk mengenalkan kembali nilai-nilai perjuangan kepada generasi muda. Salah satunya melalui pengenalan figur-figur pejuang bangsa—bukan hanya secara simbolik di dalam buku sejarah, tetapi melalui narasi hidup yang nyata dan relevan.

Menghadirkan cerita para veteran, menyimak kesaksian mereka tentang pahit-manisnya masa perjuangan, merupakan bentuk pendidikan yang kontekstual. Dari sana, anak-anak bangsa bisa belajar arti keberanian, kejujuran, solidaritas, dan pengorbanan. Nilai-nilai ini jauh lebih penting dan relevan untuk membentuk karakter generasi masa kini yang mulai tergerus oleh pragmatisme dan individualisme.

Keteladanan sebagai Pilar Pendidikan Bangsa

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Mengisi kemerdekaan dengan ziarah ke makam para pahlawan atau mengunjungi situs-situs sejarah perjuangan bukan sekadar kegiatan simbolik. Itu adalah bentuk penghormatan dan peneguhan ingatan kolektif. Di sana, anak-anak dan remaja bisa menyentuh langsung jejak-jejak sejarah dan merasakan aura perjuangan yang nyata.

Keteladanan tidak bisa diajarkan hanya lewat teori. Ia perlu ditunjukkan, diperlihatkan, dan dihidupkan. Maka, mengenalkan kembali keteladanan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Cut Nyak Dien, dan lainnya adalah bentuk pendidikan karakter yang substansial.

Menata Ulang Cara Merayakan Kemerdekaan

Perayaan tidak harus dihapus. Keceriaan adalah bagian dari rasa syukur. Namun, perlu ada keseimbangan antara perayaan dan refleksi. Selain lomba panjat pinang dan tarik tambang, mengapa tidak mengadakan kegiatan seperti 

(1) diskusi sejarah kemerdekaan di balai RW atau sekolah bersama veteran atau sejarawan lokal; 

(2) lomba membuat biografi tokoh bangsa untuk anak-anak dan melakukan story telling; 

(3) kunjungan edukatif ke museum atau situs perjuangan dan makam para pahlawan atau tokoh bangsa Indonesia; 

(4) bentuk teater atau drama perjuangan yang melibatkan warga atau anak-anak sekolah untuk di lembaga pendidikan; dan

 (5) khusus untuk kaum Muslimin bisa melakukan ziarah dan pembacaan tahlil (haul) untuk para pejuang Indonesia atau bentuk sedekah atas nama para tokoh bangsa.

Dengan begitu, peringatan 17 Agustus menjadi bukan hanya momen bersuka cita, tapi juga ruang pembelajaran dan penyemaian nilai-nilai luhur kebangsaan.

Dari Euforia menuju Edukasi dan Teladan

Indonesia telah merdeka secara fisik, tetapi perjuangan membangun karakter bangsa terus berlanjut. Kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan, tetapi juga tentang menjadi manusia Indonesia yang bermartabat, berkarakter, dan berkontribusi untuk kemajuan bangsa.

Momentum 17 Agustus bukan hanya milik masa lalu, tetapi harus menjadi cermin untuk menatap masa depan. Dari perayaan menuju perenungan. Dari euforia menuju edukasi. Dari seremonial menuju keteladanan. Karena sejatinya, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang tidak lupa belajar dari sejarah dan meneladani pahlawannya. *** 

(ahmad sahidin, alumni prodi sejarah dan peradaban Islam pascasarjana uin sgd bandung)

SUMBER BACAAN 

Kusumawardani, E., Suryani, N., & Sumarno, R. A. (2021). Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila melalui keteladanan dan pembiasaan di sekolah dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, 12(1), 15–27. [https://journal.umpo.ac.id/index.php/JPK/article/view/2823]

Mansyur, R., Prasetyo, H., & Wahyuni, S. (2025). Nilai-nilai keteladanan Pangeran Hidayatullah untuk penguatan karakter mahasiswa. Jurnal Manajemen Karakter, 8(2), 101–115. [https://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JMK/article/view/11535]

Wahyuni, D. (2023). Nilai keteladanan pahlawan A.A. Gde Anom Mudita dalam pembelajaran sejarah. Jurnal Civic Indonesia, 5(2), 89–100. [https://www.bajangjournal.com/index.php/JCI/article/view/3762]

Rahmawati, E. (2022). Pendidikan Pancasila sebagai landasan pembentukan karakter bangsa (Ide Ki Hadjar Dewantara). Jurnal Khazanah Pendidikan, 16(1), 22–35. [https://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/khazanah/article/view/25434]

Sihombing, M. A. (2023). Revolusi pendidikan karakter di Indonesia dari era proklamasi hingga reformasi. Jurnal Akademika, 14(3), 44–59. [https://ejournal.stkipbudidaya.ac.id/index.php/ja/article/view/1436]

Nugraha, A., & Lestari, I. (2024). Analisis keteladanan tokoh pahlawan melalui model role-playing dalam pembelajaran sejarah. Jurnal Sejarah dan Budaya, 9(1), 67–80. [https://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/56944]

Hidayat, T. (2022). Keteladanan sebagai metode pendidikan karakter. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, 10(2), 134–146. [https://riset-iaid.net/index.php/jppi/article/view/363]

Yuliana, A. R. (2023). Penanaman nilai nasionalisme dalam pendidikan karakter melalui gerakan penguatan pendidikan karakter (PPK). Jurnal Pendidikan Bangsa dan Negara, 6(1), 40–52. [https://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/jpbn/article/view/9635]