Jumat, 20 Mei 2022

Reaksi Umat Islam di Jawa Barat terhadap Kolonialisme dan Masa Kemerdekaan Indonesia

Perilaku kolonialis terhadap umat Islam di Nusantara, terutama Jawa Barat, menimbulkan reaksi berupa perlawanan dalam bentuk perang. Di antara peristiwa yang terkenal sebagai bentuk perlawanan umat Islam di Jawa Barat adalah peristiwa Kedondong, Sukamanah, Cimareme, dan Kaplongan. 

Kehidupan agama Islam di masyarakat Jawa Barat pada masa pergerakan nasional atau periode revolusi Indonesia tidak seperti periode awal penyebaran agama Islam yang menghadapi tantangan dari setempat dan kerajaan. Masa menjelang revolusi yang dihadapi umat Islam terdiri dari dua: kolonial Belanda dan kelompok nasionalis beserta kalangan sosialis yang tidak simpati dengan gerakan politik umat Islam. 

Sebagaimana diketahui bahwa pengamalan beragama masyarakat Jawa Barat dekat dengan budaya dan seni serta memandang penting figur ketokohan seperti Sunan Gunung Jati, penghulu, bupati, dan kiai. Beberapa bupati terlibat dalam pengembangan agama Islam dengan memberi bantuan untuk sarana pendidikan berupa tanah wakaf yang diperuntukan sebagai pesantren. 

Dalem Haji (R.A.A Wiranatakusumah V) cukup berperan dalam menyebarkan agama Islam dengan karya tulis yang berjudul Lalampahan Keur di Makkah, Riwajat Kangjeng Nabi Muhammad saw, Tafsir surah Al-Baqarah, dan lainnya. Penghulu Haji Hasan Moestapa menulis syair atau danding-danding yang bertemakan ajaran-ajaran agama Islam dan menulis tafsir surah Al-Baqarah dalam bahasa Sunda. Karena itu, sebelum masa pergerakan nasional, corak agama Islam yang berkembang di masyarakat Jawa Barat berbentuk Islam kultural, yang menyatu dengan kebudayaan lokal Sunda. 

Perlu diketahui bahwa di Jawa Barat pun gerakan politik dan organisasi sosial mulai tumbuh dari organisasi yang bersifat kedaerahan seperti Paguyuban Pasundan hingga sosial keagamaan seperti Syarikat Islam (SI). Syarikat Islam (SI) sebelumnya bernama Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1911 di Surakarta dan berganti nama menjadi Syarikat Islam pada tahun 1913. SI termasuk berhasil dalam merekrut massa yang berasal dari para pedagang sehingga para anggota dan pengurusnya adalah orang-orang yang terlibat dalam perdagangan. SI bergerak mendirikan toko-toko dan koperasi di banyak kota. Karena bergerak dalam bidang ekonomi, sehingga SI menjadi pesaing dari orang-orang Cina yang juga berkiprah dalam perdagangan. Gerakan SI memiliki daya tarik bagi wong cilik dikarenakan persamaan sosial yang digalakan dalam organisasi SI. Selain kalangan wong cilik, juga santri dan priyayi tergabung dalam gerakan SI  (Kuntowijoyo, 1999: 87). 

Dalam setiap perkumpulan yang diadakan, pengurus SI mengingatkan untuk saling tolong dengan sesama anggota, terutama dengan saudara Muslim, dan bergerak mengurangi laju perekonomian orang-orang Cina. Orang-orang yang tergabung dengan SI terdiri dari wong cilik yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang kopi, buruh batik, kasir, juru tulis, petani, guru, dan lainnya. Daya tarik SI bagi masyarakat adanya perasaan anti Cina yang dianggap sebagai pesaing utama dalam bisnis. Persaingan bisnis ini menggerakkan pengusaha prbumi dalam tubuh organisasi SI untuk bersatu dalam gerakan bersama menentang kapitalisme yang diperankan oleh orang-orang Cina. Apalagi kedudukan Cina ini oleh kolonial Belanda diistimewakan sebagai kelas kedua setelah bangsa asing dan penjajah. Derajat orang Cina yang ditempatkan di atas orang pribumi ini menjadi alasan untuk menyamakan Cina dengan penjajah. Terjadilah aksi boikot terhadap usaha orang-orang Cina di berbagai daerah, khususnya Jawa dan Madura. Tahun 1913 terjadi gerakan anti Cina di Tangerang, Lasem, Rembang, Tuban, Surabaya, dan Pasuruan (Kuntowijoyo, 1999: 88). 

Pascarevolusi Cina tahun 1911 dianggap faktor yang membuat orang-orang Cina merasa angkuh dan memandang rendah orang-orang pribumi yang statusnya dijajah. Ini juga yang membangkitkan orang-orang pribumi untuk melawan orang Cina hingga terjadi perkelahian di Surakarta tahun 1913. Pada tahun 1916, kongres SI di Bandung menyatakan pentingnya ketahanan dan pertahanan dimiliki oleh bangsa Indonesia serta bercita-cita ingin mendirikan sekolah untuk guru-guru Islam. Meski berada dalam pantauan kolonial, SI tetap bergerak sebagai organisasi anti Cina sekaligus menentang penjajah yang menyokong orang Cina dengan berbagai bantuannya dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan orang Cina (Noer, 1980: 132-142).  

Kebijakan yang memihak orang-orang Cina ini menimbulkan gejolak orang-orang pribumi yang secara ekonomi tersingkir. Timbul berbagai perlawanan di berbagai daerah. Perlawanan yang sengit terjadi tahun 1918 di Kudus yang menelan korban jiwa dan 50 rumah terbakar serta 2.000 orang Cina menyelamatkan diri ke Semarang. Pemerintah kolonial Belanda menangkap orang-orang yang menjadi pemicu konflik, yang ternyata anggota dan pengurus SI (Kuntowijoyo, 1999: 89). Terjadi pula di Jawa Barat, terutama di Majalaya dan Garut yang menentang orang-orang Cina yang memperlakukan pribumi sewenang-wenang. Sekaligus terjadi penyerangan kepada pejabat setempat yang akan bergabung dengan organisasi SI kemudian tidak memenuhi janjinya. Meski sasarannya kepada orang-orang Cina, sebenarnya gerakan orang-orang SI ini merupakan bentuk penentangan kepada kolonial Belanda yang telah menjadi pelindung orang-orang Cina. Pemerintah kolonial Belanda menyadari situasi ini sehingga tahun 1919 di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Bandung, menyita berbagai senjata (Kuntowijoyo, 1999: 90). 

Bisa dipahami bahwa pada masa pergerakan nasional, kehidupan agama Islam di Jawa Barat terpengaruh semangat kebangsaan sehingga muncul organisasi seperti Persatuan Islam tahun 1923. Organisasi ini didirikan oleh Haji Zamzam, Ahmad Hasan, dan Muhammad Yunus di Bandung. Ketiganya bukan pituin urang Sunda, tetapi berasal dari luar Jawa yang tinggal lama di Bandung. Sebelumnya, SI sudah beroperasi di Bandung sejak tahun 1913 dan kongres SI pertama tahun 1916 diselenggarakan di Bandung (Noer, 1980: 95-104). 

Pada tanggal 20 Juli 1913, orang Sunda yang belajar di STOVIA mengadakan musyawarah hingga terbentuk organisasi Paguyuban Pasundan. Meski berbentuk organisasi kedaerahan (etnis), tetapi para pengurusnya sebagian besar beragama Islam. Pada masa ini pula beberapa umat Islam yang berasal dari kalangan menak (bangsawan) belajar dan mengenal tradisi Barat melalui sekolah yang didirikan Belanda. Muncul pula lembaga pendidikan Sekolah Rakyat untuk masyarakat. 

Meski kolonial Belanda memberikan sarana pendidikan, tetapi pengawasan atas kegiatan keagamaan dan tokoh-tokoh pro kemerdekaan cukup ketat. Atas sikap yang tidak memihak umat Islam dan semangat bebas dari penjajahan, terjadi perlawanan menentang kezaliman pernah terjadi di Lebak yang dilakukan santri-santri menyerang bupati yang menjadi kepanjangan tangan dari penjajah Belanda. Bupati Lebak R. Hardiwinangun dibunuh dan digantikan oleh K.H.Hasan. Termasuk Bupati Pandeglang Djoehana melarikan diri karena diserang orang-orang Islam (Mulyana, 2015: 64).  

Memang tidak dipungkiri terdapat orang-orang di Jawa Barat yang berkedudukan sebagai bupati, tidak senang dengan gerakan nasional. Bupati yang anti ini berkedudukan di Garut dengan nama R.T. Soeria Kartalegawa. Bupati ini sendiri aktif di PEB (Politiek Economische Bond) yang menentang pergerakan nasional (Mulyana, 2015: 54-55). Besar kemungkinan bupati ini merasa khawatir kehilangan jabatan dan ingin mendapatkan kekuasaan penuh dari kolonial Belanda sehingga melakukan kegiatan yang mendukung penjajah. Terbukti tahun 1946 memproklamirkan Partai Rakyat Pasundan yang hendak mengisi pemerintahan di Jawa Barat menjadi sebuah negara/pemerintahan tersendiri (Mulyana, 2015: 64-72). 

Di Jawa Barat pada masa pergerakan nasional lahir organisasi Islam seperti Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Muhammadiyah, Al-Irsyad, Mathla’ul Anwar, dan lainnya. Di Bandung, bupati Wiranata Kusumah (Dalem Haji) mempelopori organisasi Permoepakatan Islam (PI) sebagai rintisan pendidikan Islam untuk mengimbangi maraknya sekolah umum yang kurang memerhatikan pelajaran agama. 

Tahun 1927, Persis mendirikan madrasah untuk anak-anak dan kursus agama untuk orang dewasa. Dengan pengajar tokoh Persis seperti A. Hassan, Haji Zamzam, dan M. Natsir. Dari madrasah ini berlanjut dengan pendirian perguruan tinggi dan melancarkan gerakan pembaruan Islam dengan menerbitkan buku-buku yang mengoreksi ajaran Islam yang berkembang di masyarakat. Ada sekira 112 buku ajaran Islam versi Persis yang disebarkan pada waktu itu. Tentu saja gerakan frontal Persis, yang menuduh bid’ah pada ibadah yang dilakukan masyarakat, mendapat reaksi keras sehingga terjadi benturan pemahaman Islam antara Persis dengan umat Islam mayoritas. Tidak hanya menerbitkan buku, Persis membuat majalah Pembela Islam, Al-Lisaan, Al-Fatwa, dan At-Taqwa. Isinya tidak jauh dengan buku yang diterbitkan hendak mengubah ajaran dan pemahaman Islam masyarakat Bandung dengan Islam ala Persis. Kemudian muncul Al-Moechtar, surat kabar yang kantornya di Tasikmalaya, dan majalah Kaboedayaan Oerang sebagai reaksi dari Persis. 

A. Hassan sebagai tokoh Persis, tidak hanya dalam berdebat dengan Muslim tradisional, juga berupaya mempengaruhi Soekarno dengan memberikan buku-buku setiap kali kunjungan ke penjara Sukamiskin di Bandung. Bukannya menjadi seorang Persis, Soekarno malah semakin mantap dalam nasionalis dan perkembangan berikutnya menggabungkan agama dengan nasionalis dan komunis. Gagasan nasionalis dan sosialisme pada diri Soekarno telah tertanam ketika dahulu menjadi murid HOS Cokroaminoto di Yogyakarta (Rufaidah, 2003). 

Berdasarkan perjalanan sejarah bahwa kehidupan agama Islam di masyarakat Jawa Barat pada masa pergerakan nasional mengalami perubahan dengan munculnya gerakan organisasi Islam, berupaya untuk bebas dari kezaliman atau penjajah, dan berorientasi untuk meraih kemerdekaan sehingga terwujud pada 17 Agustus 1945. *** (ahmad sahidin)