Minggu, 01 Mei 2022

Otoritas Keagamaan Islam versi Mazhab Syiah Imamiyah

Dalam sejarah diketahui bahwa ketika ada Nabi Muhammad saw, umat Islam merujuk kepadanya dalam urusan agama dan kehidupan. Setiap persoalan diajukan kepadanya dan dijawab langsung. Pascawafat Nabi Muhammad saw, kaum Muslim Syiah meyakini bahwa otoritas agama Islam berada pada Imam-imam dari Ahlulbait. Mereka meyakini bahwa Nabi menetapkan Imam Ali bin Abi Thalib ra sebagai washi, maula, dan khalifah setelah Rasulullah saw berdasarkan hadis ghadir khum dan hadis tsaqalain yang menyebutkan pentingnya merujuk kepada Al-Quran dan Ahlulbait. 

Meski kekuasaan dipegang oleh sahabat (Abubakar dan Umar bin khaththab) dalam ketetapan sidang terbatas di Saqifah Bani Saidah, tetapi hal ihwal agama yang dijadikan rujukan adalah Ahlulbait. Dalam hal ini Imam Ali bin Abi Thalib ra sering diminta pendapat dan dirujuk dalam urusan agama Islam. Jabatan Imam Ali dikala berada pada masa khalifah Abubakar dan Umar bin khaththab diposisikan sebagai penasihat. 


Setelah khalifah ketiga, Utsman bin Affan, wafat akibat penyerangan orang-orang Islam yang tidak setuju dengan tindakan nepotisme dengan mengangkat pejabat dari keluarga Utsman seperti Marwan, Muawiyah, dan lainnya. Imam Ali dan kedua putranya turut mencegah gerak amuk massa, tetapi tidak terbendung hingga berakhir dengan kematian Utsman di tangan perusuh. Muawiyah dan Marwan selaku pejabat tidak memberikan bantuan ketika Utsman diserang dan dikepung. Namun kemudian, setelah wafat Utsman mempersoalkan pembunuh hingga berontak kepada Imam Ali yang terpilih sebagai khalifah keempat. 


Selain karena ingin menuntut balas atas kematian Utsman, Muawiyah yang saat itu menjadi Gubernur Damaskus tidak mau diganti posisinya. Sebab semua pejabat yang ditetap oleh Utsman diganti dengan pejabat baru oleh khalifah keempat. Maka tindakan menuntut balas menjadi momentum yang tepat dalam rangka berontak kepada khalifah yang sah yang berkedudukan di Madinah.   


Atas situasi yang tidak kondusif, Imam Ali sebagai khalifah keempat memindahkan pusat pemerintahan Islam ke Kufah, Irak. Sebab di kota Madinah dan Makkah masih terdapat orang-orang yang mendukung Muawiyah. Mungkin untuk kenyamanan dalam menjalankan pemerintahan maka Kufah dipilih menjadi kota sebuah negeri Islam. Alasan lainnya karena di Kufah, Imam Ali memiliki pengikut yang loyal. 

Pemerintahan imam Ali tidak mulus. Dirongrong pemberontakan di daerah-daerah yang disokong kekuatan dan pengikut Muawiyah. Hingga terjadilah perang Shiffin, Nahrawan, dan Jamal. Tiga perang besar ini terjadi di antara sesama umat Islam, yang sebagian besar adalah sahabat Nabi. Dalam Perang Nahrawan, pasukan Ali melawan kelompok Islam yang menentangnya dan menentang Muawiyah. Yang juga diperangi oleh Muawiyah. 


Dalam Perang Jamal, khalifah Ali melawan kelompok Islam yang menggugat jabatannya sebagai khalifah. Kelompok penggugat ini dipelopori oleh Aisyah (istri Nabi) yang mengendarai unta (jamal), Thalhah dan Zubair, yang keduanya sahabat Nabi. Dalam perang, pasukan Aisyah kalah. Tetapi kemudian dibebaskan oleh khalifah Ali dan Aisyah menetap di Makkah.    


Dalam Perang Shiffin, pasukan khalifah Ali melawan Muawiyah dan tentaranya yang berakhir dengan tahkim. Dalam tahkim wakil dari Ali dan Muawiyah sepakat untuk memilih kembali khalifah. Lalu, diturunkan Ali sebagai khalifah. Namun, pihak wakil Muawiyah yang diwakili Amr bin Ash menyalahi kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah. Umat Islam terbagi antara yang pro dan menolak.


Imam Ali dan pengikut setia, yang disebut Syiah Ali, berdiam atas persoalan tersebut. Kelompok Islam yang menolak, yang disebut Khawarij, melakukan penyerangan dan sabotase. Jumlah mereka kecil sehingga bisa dipadamkan. Mereka melakukan serangan kepada tokoh yang terlibat dalam tahkim: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Amr bin Ash. Dari ketiganya, hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam At-Tamimi, pada malam 19 Ramadhan dan tanggal 21 Ramadhan Ali bin Abi Thalib wafat. 


Pasca khalifah Ali bin Abi Thalib, kekuasaan berada pada Dinasti Umayyah yang dipimpin Muawiyah di Damaskus dan umat Islam terbagi dalam tiga kelompok: Syiah Ali, Khawarij, dan pendukung Muawiyah. Dengan kekuasaan, Muawiyah menetapkan khalifah selanjutnya adalah putra yang diturunkan secara turun temurun. Bentuk pemerintahan bukan lagi seperti khalifah rasyidun, tetapi monarki (kerajaan) mirip dengan kerajaan Kisra. 


Meski berada dalam kekuasaan Umayyah, kelompok Syiah Ali tetap mengikuti Imam Ahlulbait: Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan Muhammad Al-Baqir. Pascakematian Husain dibantai di Karbala oleh pasukan Umayyah atas perintah Raja Yazid putra Muawiyah, Syiah Ali terbagi dalam dua: pengikut Zaid bin Ali (yang disebut Zaidiyah) dan pengikut Muhammad Albaqir bin Ali. 


Dari Zaidiyah muncul golongan Rafidhah yang menentang keputusan Zaid bin Ali. Sedangkan dari Muhammad Albaqir lahir Imam Jafar Shadiq sebagai imam yang disebut Syiah Jafari. Dari tokoh Imam Jafar ini lahir Ismail dan Musa. Ismail menjadi imam Syiah ismailiyah dan Musa menjadi imam ketujuh dari Syiah Itsna Asyariah (Imamiyah) yang berlanjut kepada Imam Al-Mahdi. 


Perlu diketahui bahwa kekuasaan Dinasti Umayyah berakhir pada tahun 750 M. setelah diruntuhkan dan direbut oleh keturunan Abbas melalui penyerangan berdarah yang dibantu kaum Syiah. Masa kekuasaan Dinasti Umayyah ini empat Imam Syiah wafat: Imam Hasan diracun. Imam Husein diperangi hingga dipenggal kepalanya, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad dan Imam Muhammad Baqir diracun.


Selain kaum Muslim Syiah, kaum Khawarij, dan kelompok Umayyah, pada abad delapan Masehi muncul pula gerakan dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib dari putranya Abdullah bin Abbas. Keturunan Abdullah bin Abbas ini yang menentang Umayyah adalah Abbas Assafah. Bersama Abu Muslim Khurasani, Assafah mempelopori lahirnya kerajaan baru Abbasiyah pada tahun 750, setelah runtuh dinasti umayyah melalui penyerangan kaum Abbasi.


Pendirian dinasti Abbasiyah awalnya dibantu kaum Syiah dari kelompok At-Tawabin pimpinan Mukhtar Assaqofi yang sama-sama memiliki musuh bersama: Umayyah. Mulanya kaum syiah diapresiasi. Lalu diawasi gerakannya. Bahkan oleh para raja Abbasiyah, para Imam Syiah Imamiyah dari yang enam hingga sebelas dibunuh dengan racun dan ada yang dipenjara disertai dengan siksaan hingga wafat. 


Dinasti Abbasiyah secara mazhab negara berganti-ganti dari Asyariah, Mutazilah (seiring ganti kekuasaan) dan mendukung Ahlulhadis dari kelompok Ahmad bin Hanbal. Periode ini mazhab Maturidiyah dan Asyariah bertahan sebagai aliran Islam karena mendapat dukungan dari dinasti Abbasiyah, yang selanjutnya menjadi aliran Islam itu menjadi Ahlussunnah untuk membedakan dengan gerakan sufi dan pemikiran rasional dari pendukung filsafat. Kemudian kaum sufi dan filosof pun secara aliran akidah mendukung pada Ahlussunnah. Masa Abbasiyah ini aliran akidah secara umum terbagi dalam dua: syiah dengan beragama alirannya dan sunni (ahlusunnah) dengan beragam alirannya. 


Abbasiyah berakhir tahun 1258 akibat diserang pasukan Khulagu khan dari Mongol. Pasca Abbasiyah pemikiran filsafat beserta budaya atau seni-seni bercorak Islam berkembang. Hingga mendirikan pusat penelitian yang bernama Baitul Hikmah di Irak. 


Sekadar diketahui bahwa Imam Syiah yang keenam hingga imam dua belas berada dalam masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pasca wafat Imam Hasan Askari, yang sejaman dengan ahli hadis Bukhari, maka Imam Mahdi menjadi otoritas agama sebagai imam kedua belas. 


Dinasti Abbasiyah yang merasa khawatir dengan kaum Syiah yang semakin hari berkembang sehingga diancam dan dietapkan sebagai buruan. Termasuk para imam Syiah pun berada dalam kondisi tekanan, bahkan dibunuh dengan cara diracun dan dipenjara. Karena situasi itu, imam yang keduabelas ghaib dari pengikutnya. Imam Mahdi yang gaib ini hanya bisa ditemui oleh empat naibul imam. Setelah wafat yang empat, maka hubungan Imam Mahdi dan kaum syiah terputus sehingga kaum syiah merujuk kepada ulama (maraji). 


Dalam buku Teladan Abadi Imam Mahdi (penerbit alhuda jakarta) disebutkan bahwa Imam Mahdi lahir 15 syaban 255 H/29 juli 870 M. Pada tahun 260 H./873 M. ayahnya (Imam Hasan Askari) wafat dan Imam Mahdi menjadi pemimpin Syiah saat usia 5 tahun. Kemudian Gaib sughra hingga 329 H./939 M. (selama 69 tahun) ditandai wafatnya naibul imam yang keempat dan terjadilah gaib kubra hingga nanti Mahdi hadir sebelum kiamat terjadi. 


Pada masa Ghaib kubra ini kaum Syiah imamiyah atau pengikut duabelas imam, terbagi dalam dua kelompok: akbariyah dan ushuliyah. Akbariyah cukup dengan rujukan hadis dari para Imam syiah tanpa perlu penalaran. Langsung terima apa adanya sesuai hadis yang berasal dari Imam syiah yang duabelas. Mereka tidak melakukan studi kritis hadis dan tidak merujuk ulama dalam amaliah beragama. 


Sementara ushuliyah, meski merujuk pada hadis imam dan Rasulullah saw, juga menggunakan nalar dan ijtihad dalam urusan beragama. Dari kaum ushuliyah ini terbentuk institusi hawzah dan marjaiyah; yang setiap kaum syiah agar merujuk kepada marja taqlid. Yakni otoritas agama di bawah kendali ulama mujtahid, yang terbentuk di Iran pasca kekuasaan Syah Pahlevi hingga lahir pemerintahan Iran tahun 1979 dengan azas wilayah faqih. 


Kalau dihitung jarak dari masa ghaib hingga terbentuk institusi marjaiyah ulama mujtahid sekira 1040 tahun. Selama masa itu kaum syiah merujuk pada hadis dan mengacu kepada ulama-ulama yang tidak ditetapkan melalui hawzah/institusi formal. Sedangkan pasca rezim Pahlevi, ulama syiah di Iran membentuk institusi marjaiyah dan lembaga pendidikan berupa hawzah.


Dari institusi yang resmi ini ditetapkan bahwa ulama yang boleh dirujuk atau diambil fatwa dalam agama adalah mujtahid dan lulusan dari hawzah. Mereka yang disebut marja taqlid yang harus diambil fatwanya. Sedangkan yang bukan lulusan hawzah, apalagi bukan mujtahid, dianggap tidak valid dalam mengeluarkan pendapat atau fatwa terkait dengan agama. Menariknya, di antara sesama marja taqlid pun terjadi silang pendapat meski sama-sama kaum ushuliyah. 


Meski sekarang ini kaum Syiah duabelas Imam didominasi oleh kaum ushuliyah, yang merujuk kepada marja taqlid dalam urusan agama, tetapi masih ada pula yang mengikuti golongan akhbariyah. Di luar Akhbariyah dan Ushuliyah, juga ada gerakan syiah yang secara ajaran bertentangan dengan pendapat ulama syiah yang muktabaroh. Tentu yang non mainstream ini layak dipertanyakan akurasi ajaran dan praktik beragamanya. *** (Ahmad Sahidin)