Dalam sejarah diketahui bahwa ketika ada Nabi Muhammad saw, umat Islam merujuk kepadanya dalam urusan agama dan kehidupan. Setiap persoalan diajukan kepadanya dan dijawab langsung. Pascawafat Nabi Muhammad saw, kaum Muslim Syiah meyakini bahwa otoritas agama Islam berada pada Imam-imam dari Ahlulbait. Mereka meyakini bahwa Nabi menetapkan Imam Ali bin Abi Thalib ra sebagai washi, maula, dan khalifah setelah Rasulullah saw berdasarkan hadis ghadir khum dan hadis tsaqalain yang menyebutkan pentingnya merujuk kepada Al-Quran dan Ahlulbait.
Meski kekuasaan dipegang oleh
sahabat (Abubakar dan Umar bin khaththab) dalam ketetapan sidang terbatas di
Saqifah Bani Saidah, tetapi hal ihwal agama yang dijadikan rujukan adalah
Ahlulbait. Dalam hal ini Imam Ali bin Abi Thalib ra sering diminta pendapat dan
dirujuk dalam urusan agama Islam. Jabatan Imam Ali dikala berada pada masa
khalifah Abubakar dan Umar bin khaththab diposisikan sebagai penasihat.
Setelah khalifah ketiga, Utsman
bin Affan, wafat akibat penyerangan orang-orang Islam yang tidak setuju dengan
tindakan nepotisme dengan mengangkat pejabat dari keluarga Utsman seperti
Marwan, Muawiyah, dan lainnya. Imam Ali dan kedua putranya turut mencegah gerak
amuk massa, tetapi tidak terbendung hingga berakhir dengan kematian Utsman di
tangan perusuh. Muawiyah dan Marwan selaku pejabat tidak memberikan bantuan
ketika Utsman diserang dan dikepung. Namun kemudian, setelah wafat Utsman
mempersoalkan pembunuh hingga berontak kepada Imam Ali yang terpilih sebagai
khalifah keempat.
Selain karena ingin menuntut
balas atas kematian Utsman, Muawiyah yang saat itu menjadi Gubernur Damaskus
tidak mau diganti posisinya. Sebab semua pejabat yang ditetap oleh Utsman
diganti dengan pejabat baru oleh khalifah keempat. Maka tindakan menuntut balas
menjadi momentum yang tepat dalam rangka berontak kepada khalifah yang sah yang
berkedudukan di Madinah.
Atas situasi yang tidak kondusif,
Imam Ali sebagai khalifah keempat memindahkan pusat pemerintahan Islam ke
Kufah, Irak. Sebab di kota Madinah dan Makkah masih terdapat orang-orang yang
mendukung Muawiyah. Mungkin untuk kenyamanan dalam menjalankan pemerintahan
maka Kufah dipilih menjadi kota sebuah negeri Islam. Alasan lainnya karena di
Kufah, Imam Ali memiliki pengikut yang loyal.
Pemerintahan imam Ali tidak
mulus. Dirongrong pemberontakan di daerah-daerah yang disokong kekuatan dan
pengikut Muawiyah. Hingga terjadilah perang Shiffin, Nahrawan, dan Jamal. Tiga
perang besar ini terjadi di antara sesama umat Islam, yang sebagian besar
adalah sahabat Nabi. Dalam Perang Nahrawan, pasukan Ali melawan kelompok Islam
yang menentangnya dan menentang Muawiyah. Yang juga diperangi oleh
Muawiyah.
Dalam Perang Jamal, khalifah Ali
melawan kelompok Islam yang menggugat jabatannya sebagai khalifah. Kelompok
penggugat ini dipelopori oleh Aisyah (istri Nabi) yang mengendarai unta
(jamal), Thalhah dan Zubair, yang keduanya sahabat Nabi. Dalam perang, pasukan
Aisyah kalah. Tetapi kemudian dibebaskan oleh khalifah Ali dan Aisyah menetap
di Makkah.
Dalam Perang Shiffin, pasukan
khalifah Ali melawan Muawiyah dan tentaranya yang berakhir dengan tahkim. Dalam
tahkim wakil dari Ali dan Muawiyah sepakat untuk memilih kembali khalifah. Lalu,
diturunkan Ali sebagai khalifah. Namun, pihak wakil Muawiyah yang diwakili Amr
bin Ash menyalahi kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah. Umat
Islam terbagi antara yang pro dan menolak.
Imam Ali dan pengikut setia, yang
disebut Syiah Ali, berdiam atas persoalan tersebut. Kelompok Islam yang
menolak, yang disebut Khawarij, melakukan penyerangan dan sabotase. Jumlah
mereka kecil sehingga bisa dipadamkan. Mereka melakukan serangan kepada tokoh
yang terlibat dalam tahkim: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan
Amr bin Ash. Dari ketiganya, hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman
bin Muljam At-Tamimi, pada malam 19 Ramadhan dan tanggal 21 Ramadhan Ali bin
Abi Thalib wafat.
Pasca khalifah Ali bin Abi
Thalib, kekuasaan berada pada Dinasti Umayyah yang dipimpin Muawiyah di
Damaskus dan umat Islam terbagi dalam tiga kelompok: Syiah Ali, Khawarij, dan
pendukung Muawiyah. Dengan kekuasaan, Muawiyah menetapkan khalifah selanjutnya
adalah putra yang diturunkan secara turun temurun. Bentuk pemerintahan bukan
lagi seperti khalifah rasyidun, tetapi monarki (kerajaan) mirip dengan kerajaan
Kisra.
Meski berada dalam kekuasaan
Umayyah, kelompok Syiah Ali tetap mengikuti Imam Ahlulbait: Hasan bin Ali,
Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan Muhammad Al-Baqir. Pascakematian Husain
dibantai di Karbala oleh pasukan Umayyah atas perintah Raja Yazid putra
Muawiyah, Syiah Ali terbagi dalam dua: pengikut Zaid bin Ali (yang disebut
Zaidiyah) dan pengikut Muhammad Albaqir bin Ali.
Dari Zaidiyah muncul golongan Rafidhah yang menentang keputusan Zaid bin Ali. Sedangkan dari Muhammad Albaqir lahir Imam Jafar Shadiq sebagai imam yang disebut Syiah Jafari. Dari tokoh Imam Jafar ini lahir Ismail dan Musa. Ismail menjadi imam Syiah ismailiyah dan Musa menjadi imam ketujuh dari Syiah Itsna Asyariah (Imamiyah) yang berlanjut kepada Imam Al-Mahdi.
Perlu diketahui bahwa kekuasaan Dinasti Umayyah berakhir pada tahun 750 M.
setelah diruntuhkan dan direbut oleh keturunan Abbas melalui penyerangan
berdarah yang dibantu kaum Syiah. Masa kekuasaan Dinasti Umayyah ini empat Imam
Syiah wafat: Imam Hasan diracun. Imam Husein diperangi hingga dipenggal
kepalanya, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad dan Imam Muhammad Baqir diracun.
Selain kaum Muslim Syiah, kaum Khawarij, dan kelompok Umayyah, pada abad delapan Masehi muncul
pula gerakan dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib dari putranya Abdullah bin
Abbas. Keturunan Abdullah bin Abbas ini yang menentang Umayyah adalah Abbas
Assafah. Bersama Abu Muslim Khurasani, Assafah mempelopori lahirnya kerajaan
baru Abbasiyah pada tahun 750, setelah runtuh dinasti umayyah melalui
penyerangan kaum Abbasi.
Pendirian dinasti Abbasiyah
awalnya dibantu kaum Syiah dari kelompok At-Tawabin pimpinan Mukhtar Assaqofi
yang sama-sama memiliki musuh bersama: Umayyah. Mulanya kaum syiah diapresiasi.
Lalu diawasi gerakannya. Bahkan oleh para raja Abbasiyah, para Imam Syiah
Imamiyah dari yang enam hingga sebelas dibunuh dengan racun dan ada yang
dipenjara disertai dengan siksaan hingga wafat.
Dinasti Abbasiyah secara mazhab
negara berganti-ganti dari Asyariah, Mutazilah (seiring ganti kekuasaan) dan
mendukung Ahlulhadis dari kelompok Ahmad bin Hanbal. Periode ini mazhab
Maturidiyah dan Asyariah bertahan sebagai aliran Islam karena mendapat dukungan
dari dinasti Abbasiyah, yang selanjutnya menjadi aliran Islam itu menjadi
Ahlussunnah untuk membedakan dengan gerakan sufi dan pemikiran rasional dari
pendukung filsafat. Kemudian kaum sufi dan filosof pun secara aliran akidah
mendukung pada Ahlussunnah. Masa Abbasiyah ini aliran akidah secara umum
terbagi dalam dua: syiah dengan beragama alirannya dan sunni (ahlusunnah)
dengan beragam alirannya.
Abbasiyah berakhir tahun 1258
akibat diserang pasukan Khulagu khan dari Mongol. Pasca Abbasiyah pemikiran
filsafat beserta budaya atau seni-seni bercorak Islam berkembang. Hingga
mendirikan pusat penelitian yang bernama Baitul Hikmah di Irak.
Sekadar diketahui bahwa Imam
Syiah yang keenam hingga imam dua belas berada dalam masa kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Pasca wafat Imam Hasan Askari, yang sejaman dengan ahli hadis
Bukhari, maka Imam Mahdi menjadi otoritas agama sebagai imam kedua belas.
Dinasti Abbasiyah yang merasa
khawatir dengan kaum Syiah yang semakin hari berkembang sehingga diancam dan
dietapkan sebagai buruan. Termasuk para imam Syiah pun berada dalam kondisi
tekanan, bahkan dibunuh dengan cara diracun dan dipenjara. Karena situasi itu,
imam yang keduabelas ghaib dari pengikutnya. Imam Mahdi yang gaib ini hanya
bisa ditemui oleh empat naibul imam. Setelah wafat yang empat, maka hubungan
Imam Mahdi dan kaum syiah terputus sehingga kaum syiah merujuk kepada ulama
(maraji).
Dalam buku Teladan Abadi Imam Mahdi (penerbit alhuda jakarta) disebutkan
bahwa Imam Mahdi lahir 15 syaban 255 H/29 juli 870 M. Pada tahun 260 H./873 M.
ayahnya (Imam Hasan Askari) wafat dan Imam Mahdi menjadi pemimpin Syiah saat
usia 5 tahun. Kemudian Gaib sughra hingga 329 H./939 M. (selama 69 tahun)
ditandai wafatnya naibul imam yang keempat dan terjadilah gaib kubra hingga
nanti Mahdi hadir sebelum kiamat terjadi.
Pada masa Ghaib kubra ini kaum
Syiah imamiyah atau pengikut duabelas imam, terbagi dalam dua kelompok:
akbariyah dan ushuliyah. Akbariyah cukup dengan rujukan hadis dari para Imam
syiah tanpa perlu penalaran. Langsung terima apa adanya sesuai hadis yang
berasal dari Imam syiah yang duabelas. Mereka tidak melakukan studi kritis
hadis dan tidak merujuk ulama dalam amaliah beragama.
Sementara ushuliyah, meski
merujuk pada hadis imam dan Rasulullah saw, juga menggunakan nalar dan ijtihad
dalam urusan beragama. Dari kaum ushuliyah ini terbentuk institusi hawzah dan
marjaiyah; yang setiap kaum syiah agar merujuk kepada marja taqlid. Yakni
otoritas agama di bawah kendali ulama mujtahid, yang terbentuk di Iran pasca
kekuasaan Syah Pahlevi hingga lahir pemerintahan Iran tahun 1979 dengan azas
wilayah faqih.
Kalau dihitung jarak dari masa
ghaib hingga terbentuk institusi marjaiyah ulama mujtahid sekira 1040 tahun. Selama
masa itu kaum syiah merujuk pada hadis dan mengacu kepada ulama-ulama yang
tidak ditetapkan melalui hawzah/institusi formal. Sedangkan pasca rezim
Pahlevi, ulama syiah di Iran membentuk institusi marjaiyah dan lembaga
pendidikan berupa hawzah.
Dari institusi yang resmi ini
ditetapkan bahwa ulama yang boleh dirujuk atau diambil fatwa dalam agama adalah
mujtahid dan lulusan dari hawzah. Mereka yang disebut marja taqlid yang harus
diambil fatwanya. Sedangkan yang bukan lulusan hawzah, apalagi bukan mujtahid,
dianggap tidak valid dalam mengeluarkan pendapat atau fatwa terkait dengan
agama. Menariknya, di antara sesama marja taqlid pun terjadi silang pendapat
meski sama-sama kaum ushuliyah.
Meski sekarang ini kaum Syiah
duabelas Imam didominasi oleh kaum ushuliyah, yang merujuk kepada marja taqlid dalam
urusan agama, tetapi masih ada pula yang mengikuti golongan akhbariyah. Di luar
Akhbariyah dan Ushuliyah, juga ada gerakan syiah yang secara ajaran
bertentangan dengan pendapat ulama syiah yang muktabaroh. Tentu yang non
mainstream ini layak dipertanyakan akurasi ajaran dan praktik beragamanya. *** (Ahmad Sahidin)