Selasa, 24 Mei 2022

Akhir Kebudayaan Manusia: Hegel, Huntington, Fukuyama dan Foucault

KEMARIN saya sempat membaca buku Studi Budaya Dasar karya MAW. Brouwer, yang diterbitkan Penerbit Alumni, tahun 1984. Meskipun buku tersebut “jadoel”, tapi isinya telah menggoda saya untuk ikut masuk ke dalam rentetan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi pararagraf, sub demi sub, bab demi bab, dan akhirnya saya menemukan bahwa "gerak" yang melandasi adanya kebudayaan. 

Brouwer menerangkan bahwa kebudayaan-kebudayaan yang mentas di panggung sejarah adalah ciptaan para ilmuwan maupun para ahli budaya, yang disesuaikan dengan kerangka teroritis yang dimunculkannya. Sebut saja filsuf sejarah Arnold Toynbee dengan teori challange and response, menafsirkan perkembangan kebudayaan sebagai produk kalangan "minoritas-kreatif", yang berusaha untuk keluar dari keterdesakkan dan bergerak ke depan. Toynbee berkesimpulan bahwa dengan banyak tantangan, suatu bangsa akan maju pada titik yang dituju. 

Hegel, Huntington, dan Fukuyama

Brouwer juga menerangkan sedikit tentang GWF. Hegel. Menurutnya, Hegel menerangkan bahwa sejarah dan kebudayaan akan mencapai klimaksnya pada suatu momen absolut. Hegel yakin bahwa gagasan atau ide-ide manusia yang mewujud dalam ruang dan waktu kemudian bergerak ke arah perubahan kebudayaan hingga mencapai puncaknya. Karena itu, menurut Hegel, manusia adalah alat untuk memenuhi tujuan dari proses kesadaran yang menyadari asal-usulnya, mengatasi rintangan dan hambatan, serta merefleksikannya untuk menjadi kesadaran yang lebih tinggi. Wujud praktisnya adalah bangsa bertanding dengan bangsa lain, kebudayaan satu melawan kebudayaan lain (tesis-antitesis) sebagai proses menuju sintesis. 

Pandangan Hegel inilah yang menjadi dasar dari teori clash of civilization yang dikemukakan Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama yang mengakhiri pertarungan (dialektika historis) dengan menggulirkan teori the end of history, yang menganggap Demokrasi-Liberal dan Kapitalisme Global sebagai pemenang sejarah. 

Menurut Fukuyama, setelah abad enam belas dan tujuh belas masehi proses penciptaan ide dalam sejarah telah berakhir. Selanjutnya tidak akan ada ide-ide baru, tak ada lagi peristiwa-peristiwa dan kemajuan-kemajuan besar lain di dunia ini yang  patut  dicatat dalam sejarah. Sebab dalam paham negara bahwa Demokrasi Liberal akan  dijadikan panutan oleh negara-negara di dunia ini; dan konflik yang terjadi  antara individu dan sosial akan berakhir karena kebebasan (bagi) setiap warga  telah dijamin oleh negara dengan Demokrasi (dan Hak-hak Asasi Manusia). 

Itu sebabnya nanti tidak ada lagi perjuangan untuk  mendapatkan pengakuan identitas, altruisme, perjuangan ideology dan semangat  patriotisme; karena semuanya akan tergantung dengan perhitungan dan pertimbangan ekonomi dan rasa-pemuasan konsumen yang bercita rasa tinggi serta masalah-masalah teknis yang tak habis-habisnya. Karena itu, pada periode "akhir sejarah" tidak akan ada lagi seni dan filsafat (baru) dan yang ada hanya pemeliharaan "meseum-meseum " ilmu pengetahuan manusia yang  berkelanjutan. Maka hal ini bisa dimaknai sebagai masa yang diprediksikan bahwa pikiran–pikiran manusia akan terperangkap dalam satu paket besar. Apalagi  ketika setiap manusia atau masyarakat telah mensakralkannya; maka tidak akan berdaya untuk keluar darinya karena yang ada hanya peristiwa-peristiwa yang para pelakunya  mengatasnamakan penghargaan terhadap demokrasi. 

Narasi Besar

Bukankah gaung "narasi-besar" seperti sosialisme-komunisme telah dijadikan contoh tentang gagalnya sejarah manusia dan tatanan dunia yang dibangunnya. Maka dari itu Fukuyama menawarkan Demokrasi Liberal dan Kapitalisme Global sebagai akhir dari sebuah "sejarah"—dengan istilah menamatkannya. Lalu apa yang ada di akhir?

Inilah yang dipertanyakan tokoh posmoderisme seperti Jean Baudrillard. Ia dalam konteks ini berpandangan bahwa yang disebut dengan "akhir" adalah terdapatnya kenyataaan virtual yang terprogram di mana semua fungsi secara bertahap menjadi tidak bergerak karena semangat menuju telah berakhir. Maka semua manusia yang menjalani waktu dan sejarah hakikatnya sedang menjalani situasi pingsan masa silam. Inilah yang menyebabkan berbagai krisis tanpa akhir karena bukan masa depan yang disambut, akan tetapi sebuah kemustahilan untuk  mengakhiri semuanya di saat akhir. 

Oleh sebab itu, dengan kenangan masa silamlah segalanya dapat dilihat; dan hal-hal lain yang tidak mungkin bisa dilihat sebelumnya akan tampak jelas sebab tidak ada yang dapat diramalkannya lagi. 

Begitu juga dengan filsuf Hannah Arendt dan Peter  L. Berger  tidak ketinggalan berkeoar dengan mengatakan bahwa, yang paling mendasar dalam kebudayaan dan perubahannya adalah dikarenakan proses "hidup" manusia yang berada di dalam ruang dan waktu. Secara tidak langsung, Peter Berger menganggap proses hidup merupakan sebuah "keterpaksaan" untuk membuka rahasia agar berada dalam kosmos (teratur). Kemudian untuk berada dalam kosmos manusia harus mengintegrasikan secara total dengan "bahasa" yang menyatukannya dalam kebudayaan dan sejarah. Akhirnya, akan muncul tafsir-tafsir kebudayaan atau "penciptaan-realitas" di atas kebudayaan yang sesungguhnya. 

Dalam hal ini, Rolland Barthes menyebut kebudayaan sebagai "bahasa", "teks" atau "tanda" yang berbicara sendiri. Jelasnya, sebuah kebudayaan terlahir dari "bahasa" yang dihubung-hubungkan pada suatu tempat/posisi, yang bukan oleh budaya itu sendiri, tetapi oleh para pembaca kebudayaan. Karena dengan adanya pembaca inilah maksud-tujuan "bahasa-kebudayaan" berada di tangannya, yang dengan itu Barthes berteriak, "bahwa kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian sang pengarang" (baca : masyarakat pencipta kebudayaan). 

Menurut Jean Paul Sartre, bahwa sepanjang pembaca itu merasakam emosi yang meledak-ledak, hasrat yang mengebu-gebu dan getaran (yang ada dalam kebudayaan) sehingga tergerak untuk menangkap dan mengungkap "kearifan" di dalamnya, maka "pengarang" atau pencipta kebudayaan itu masih hidup. 

Beda dengan Michel Foucault tidak begitu saja menerima pandangan mereka. Menurutnya, persoalan "bahasa-kebudayaan" tidak bisa serampangan disebut "otonom" dari wewenang dan otoritas pemiliknya (yang diungkapkan Barthes) atau berada dalam keadaan "hidup" di zamannya (yang dikatakan Sartre). Namun, harus dilihat dari aspek yang memproduksi atau kekuatan yang mendasar dari hadirnya kebudayaan tersebut. Artinya, kita harus mempertanyakan kembali kehadirannya dalam rangka apa dan hal apakah yang menjadi dasar dari kebudayaan itu sendiri. Sebab dengan hal-hal yang mendasar itulah kita akan menangkap realitas yang ada di dalam "bahasa-kebudayaan" tersebut. 

Persoalan inilah yang semestinya disikapi agar tidak terjebak pada masalah yang perlu dipecahkan dan dicarikan alternatif  lain dalam rangka mengungkap "hal-hal" yang berkaitan dengan kebudayaan—yang nantinya mudah-mudahan tidak digiring dan dimanfaatkan segelintir manusia punya kehendak tertentu. 

Seperti hadirnya iklan motor di layar TV yang diperankan bintang-bintang film ternama; yang menggambarkan dua karakter budaya antara Sunda dan Batak. Si Batak digambarkan orang yang bisa menerima motor, yang sekaligus sebagai simbol hidup orang maju (high) dan si Sunda yang kurang respect dianggap, seakan-akan tidak maju (low). Dari sini kemudian akan muncul citra dan persepsi bahwa "orang-maju" adalah yang memiliki motor, atau yang bisa mengkonsumsi barang-barang dari luar. 

Artinya, telah nampak pada iklan tersebut bagaimana budaya dikaji dan ditelaah serta dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomis; yang secara tidak sadar/langsung telah menciptakan bentuk (contruction) kebudayaan baru dengan menyisihkan (eclution) kebudayaan lama. Inilah cara Kapitalisme menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas dan cara agar bisa menguasai dunia. Yang memang harus diakui bahwa Barat telah melahirkan kemajuan yang spektakuler dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya sehingga punya kecendrungan untuk menata dunia. Akan tetapi jika terlalu percaya bahwa umat manusia akan mengikuti dan mempraktekkan nilai-nilai yang ditawarkannya, maka setiap penerimaan yang diterima secara terbuka dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan, adalah bentuk neo-colonialism. 

Saya yakin bahwa tidak setiap bangsa-negara ingin mendapatkan paket-paket yang diarahkan sesuai dengan kehendak mereka; bukankah setiap bangsa dan negara sebenarnya ditegakkan oleh masyarakatnya sendiri sekaligus yang menentukan keberadaan yang sesungguhnya? 

Oleh karena itu paket-paket dari negeri asing adalah salah satu tipu-muslihat Barat yang sedang mencoba bergerak dari arah lain, seperti isu terorisme yang digembor-gemborkan merupakan strategi untuk menata dunia sesuai dengan agenda besarnya yang berkesinambungan dari  sang Adi-kuasa. Sebab pengakuanlah yang mereka butuhkan dalam rangka menunjukkan bahwa dirinya sebagai super-power sekaligus penentu dunia dan kehidupan manusia. 

Karena itu, patut untuk curiga tentang gerak kebudayaan dan peradaban manusia yang berganti rupa atau dinamis itu, sebenarnya tak terlepas dari proyek-proyek ideologi. Kemudian dijejalkan dalam pelbagai bentuk paket dan kemasan yang menggiurkan dan tanpa sadar membungkam dunia dengan nama ”akhir sejarah”. 

Hanya dengan kesadaran yang luas dan senantiasa bersikap kritis, kita akan segera bisa terbebas dan keluar dari "jejaring-lingkaran" tersebut yang kini sedang mengepung. Karena dengan sikap demikianlah kita dapat menunjukkan sebuah bukti tentang adanya nilai, kekuatan dan kesadaran terhadap keberadaan identitas budaya yang sesungguhnya. 

Saya kira fenomena segala bentuk tindakan Israel, Amerika, dan kelompok manusia yang menjadi kaki tangan mereka, sangat berkaitan dengan proyek akhir sejarah. *** (AHMAD SAHIDIN, pekerja buku)