Selasa, 17 Mei 2022

Proses Islamisasi di Jawa Barat

Islamisasi di Jawa Barat lebih dominan dalam bentuk kultural dan institusional. Di Cirebon perkembangan agama Islam tumbuh bersamaan dengan terbentuknya “pesantren” yang diasuh oleh Syekh Nurjati kemudian diperkuat dengan kekuasaan yang dipegang oleh Sunan Gunung Jati sekaligus pimpinan agama. Karena itu, poisi Sunan Gunung Jati pada saat itu disebut  Pandita Ratu (Raja sekaligus pemimpin Agama). 

Dalam sejarah Sunda bisa dirunut dari masa Kerajaan Sunda bahwa raja yang berkuasa adalah seorang tokoh agama Hindu atau Budha. Raja yang menjadi penyelenggara sekaligus memimpin kegiatan agama bagi seluruh masyarakat. Meski terdapat Bikhu atau Bante, tetapi penyelenggaraan keagamaan di Kerajaan Sunda melibatkan raja dan pejabat kerajaan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pemerintahan dan agama, yang sekaligus agama menjadi legitimasi sakral untuk sebuah kekuasaan. Melihat dari sejarah maka tidak aneh jika seorang raja dianggap sebagai titisan dewa sehingga pembangkangan terhadap titah raja bisa dianggap bentuk tidak taat kepada dewa. Dari hal ini sabda raja sama dengan hukum.  Juga terlihat dari stratifikasi sosial yang menunjukkan tingkatan yang berbeda antara rakyat dan keluarga raja. Bentuknya terlihat dari penghormatan yang harus menunduk atau duduk di bawah, sedangkan raja duduk di atas kursi. 

Berkaitan dengan Sunan Gunung Jati yang menjadi wali, bahkan menjadi pemimpin Wali Sanga setelah wafat Sunan Ampel, menjadikan posisinya sebagai panutan dalam agama Islam. Apalagi Sunan Gunung Jati ini keturunan dari Sri Baduga Maharaja Ratu Pajajaran maka posisinya menjadi kuat. Dalam memegang kekuasaan di Cirebon, Sunan Gunung Djati dengan dua “otoritas” tersebut dipandang sosok yang luarbiasa di hadapan rakyatnya. Dalam hal ini Pandita Ratu yang dijabat oleh Sunan Gunung Jati bermakna ulama yang menjadi raja karena sebelum menjadi penguasa telah menjadi tokoh Islam (Tjandrasasmita, 2009: 160-161 & 165). 

Sunan Gunung Jati dalam konteks ini tampil sebagai kepala negara sekaligus pemimpin agama Islam sehingga kebijakan mengenai pemerintahan dilandasai oleh kaidah Islam. Sunan Gunung Jati dalam kebijakannya memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah seperti membangun masjid agung dan masjid-masjid jami di wilayah bawahan Cirebon. Tidak hanya itu, juga membangun keraton (kerajaan), sarana transportasi melalui jalur laut, sungai, jalan darat, dan membentuk pasukan keamanan (jagabaya). Sebagai kepala negara, Sunan Gunung Jati pula menetapkan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disesuaikan dengan kemampuan rakyat, yang sebelumnya kerajaan Pajajaran mengambilnya dari rakyat. Setelah lepas dan menjadi kerajaan yang mandiri, Sunan Gunung Jati memiliki otoritas penuh dalam mengatur kerajaan, rakyat, tradisi, dan kehidupan beragama (Wildan, 2002: 298). 

Posisi Sunan Gunung Jati ini berbeda dengan para wali lainnya. Jika Sunan Gunung Jati menyatukan agama dan politik kemudian menempatkan dua institusi itu dalam satu sosok yang disebut Pandita Ratu, sedangkan Sunan Giri hanya mengembangkan pendidikan agama berupa mendirikan pesantren Giri. Para wali, selain Sunan Gunung Jati, tidak berkiprah dalam politik, tetapi menyerahkan urusan politik kepada raja. Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga tidak menjadi raja atau memegang kekuasaan, tetapi hanya berperan membantu Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram (Ambary, 2001: 106-107). 

Perkembangan agama Islam masa kekuasaan Sunan Gunung Jati terlihat pada pembangunan sarana ibadah, bendera yang bertuliskan kalimat tauhid, dan menyelenggarakan tradisi keagamaan seperti Panjang Jimat (Maulid) di Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan makam Sunan Gunung Jati. Tradisi Panjang Jimat ini diawali dengan Sembilan kali bunyi lonceng Gajah Mungkur yang berada di depan keraton. Sultan dari keraton keluar mengenakan jubah kebesaran dan warga beriringan di belakang sultan menuju Masjid Agung sambil melantukan shalawat. Memasuki masjid dan membaca kitab Al-Barzanji, ceramah, doa bersama, dan diakhiri dengan makan bersama. Selesai acara para sultan kembali ke keraton yang diiringi pengawalnya dan masyarakat (Setiawati, 2012). 

Sementara di Banten, kekuasaan terbentuk melalui peran Fatahillah, panglima perang Demak, yang menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya. Dalam perjalanan, Fatahillah singgah di Cirebon menemui Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Kemudian bergabung pasukan Demak dan pasukan Cirebon menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang. 

Di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Dengan bantuan pasukan Demak dan Cirebon, maka tahun 1526 Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran. Selanjutnya memindahkan pusat pemerintahan yang semula di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, yang dekat dengan pantai. Tentu dipahami pemindahan pusat pemerintahan dalam rangka memudahkan hubungan antara pesisir Sumatera sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Pedagang-pedagang yang tidak mau berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda sehingga Banten menjadi ramai dengan para pedagang dari luar Nusantara. Kota Surosowan didirikan menjadi ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kemudian menjadi sultan Banten pertama pada tahun 1552 hingga 1570 Masehi. Sultan Maulana Hasanuddin telah berkontribusi dalam khazanah Islam Jawa Barat sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. 

Selama berkuasa, Sultan Maulana Hasanudin membangun sarana peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan Islam seperti pesantren serta mengirim mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha penyebarluasan agama Islam dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten mengalami kehancuran akibat ulah anak kandungnya sendiri, yaitu Sultan Haji, yang bekerjasama dengan kompeni Belanda. Karena dianggap telah menyalahi amanah maka terjadi perang antara Banten dan kompeni Belanda yang berakhir dengan kehancuran Keraton Surosowan.  

Sultan Ageng Tirtayasa sendiri memimpin perang gerilya melawan kompeni bersama anaknya, Pangeran Purbaya, dan Syekh Yusuf, seorang menantunya. Kesultanan Banten terus melalukan perang kompeni hingga akhirnya Keraton Surosowan hancur lagi pada masa Sultan Aliuddin II (1803-1808 Masehi). Pada masa inilah disebut masa berakhirnya kekuasaan Kesultanan Banten. 

Kontribusi Kesultanan Banten dalam peradaban Islam di Jawa Barat salah satunya dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan  Sultan Maulana Hasanuddin. Bentuk bangunannya berdenah segi empat, antik dan unik. Arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan Jawa, yang tampak dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah; mimbar kuno yang berukir indah; atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Masa Kesultanan Banten, gedung Tiamah digunakan sebagai majelis untuk pertemuan para ulama dan pemerintah Banten untuuk membahas kebijakan yang terkait dengan agama. Sekarang gedung digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala (Ensiklopedi Islam I, 2003: 236-239). 

Sama seperti di Cirebon, tradisi yang berkembang di masyarakat yang masih tetap dipelihara adalah perayaan Maulid. Di Banten pada masa kekuasaan Sultan Abd Al-Qadir (tahun 1037-1063 H./1626-1651 M.) merayakan Maulid Nabi dengan mengarak bendera dan pakaian suci yang dipercaya sebagai jejak Rasulullah yang diberi dari penguasa Haramayn, Syarif Makkah (Azra, 1999: 55-56). Sampai sekarang setiap bulan Rabiul Awwal masyarakat umat Islam Banten merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. 

Proses Islamisasi yang pertama di pesisir pantai bergerak ke pedalaman dan daerah-daerah yang tersebar di Jawa Barat. Bermula dari arah Cirebon yang masuk melalui Ciamis, Majalengka, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Purwakarta, Subang, Bekasi, dan Bogor. Dari arah Banten pun sama bergerak masuk pada daerah tersebut. Sehingga daerah-daerah pedalaman di Jawa Barat mengalami proses Islamisasi dari dua jalur (Timur dan Barat).   

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa daerah-daerah di Jawa Barat yang diislamkan oleh Sunan Gunung Jati, selain yang telah disebutkan di atas (Cirebon, Banten, Kalapa), adalah Kuningan, Sindangkasih, Talaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung Bantar, Pagadingan, Indralaya, Batulayang, dan Imbanganten. Daerah Priangan Selatan diislamkan oleh Haji Abdullah Iman, uwanya Sunan Gunung Jati. Pangeran Makhdum mengislamkan daerah Pasir Luhur. Galuh dan Sumedang diislamkan oleh Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati. Sedangkan daerah Kuningan, Talaga, Galuh, dan daerah-daerah sekitarnya pengislamannya terjadi pada tahun 1530 Masehi. Adapun daerah Rajagaluh diislamkan tahun 1528 Masehi dan Talaga tahun 1530 Masehi. 

Menurut sumber dari Talaga, penguasa Talaga yang pertama masuk Islam adalah Rangga Mantri. Ia masih punya darah Pajajaran. Kemudian ia nikah dengan Ratu Parung, puteri penguasa Talaga. Setelah masuk Islam Rangga Mantri diangkat menjadi bupati Talaga. 

Akan tetapi menurut keterangan lain, penguasa Talaga yang pertama kali masuk Islam adalah Aria Wangsa Goparana. Ia adalah putera Sunan Ciburang, cucu Sunan Wanaperih, cicit Sunan Parung Gangsa. Daerah Talaga menjadi daerah bawahan Cirebon sejak pemerintahan Sunan Wanaperih (Hageman, 1876: 146-247). 

Menurut cerita rakyat di Majalengka, Sindangkasih (Majalengka) diislamkan oleh utusan Cirebon di bawah pimpinan Pangeran Muhammad dan Siti Armilah. Ratu Sindang Kasih yang bernama Nyai Rambutkasih menolak diislamkan tapi memberikan kebebasan kepada kepada rakyatnya yang mau masuk Islam. 

Di pekuburan Girilawungan (Majalengka) terdapat sebuah makam Dalem Panungtung. Ia adalah murid Sunan Gunung Jati. Disebut Dalem Panungtung karena dialah yang mengakhiri riwayat penganut agama Budha/Hindu di situ. 

Berita dari kelenteng Talang Cirebon mengatakan bahwa Maulana Ifdil Hanafi atau Haji Tan Eng Hoat pada 1513 sampai 1564 menjadi bawahan Sultan Cirebon dengan gelar Pangeran Wirasenjaya dan berkedudukan di Kadipaten Majalengka. Ia aktif mengembangkan Islam ke pedalaman Priangan Timur sampai ke Galuh (Parlindungan, 1965: 669). 

Besar kemungkinan Maulana Ifdil Hanafi atau Haji Tan Eng Hoat itu adalah nama lain untuk tokoh Raden Walangsungsang atau Haji Abdullah Iman atau Kean Santang atau Sunan Rahmat atau Sunan Godog. Dugaan ini didasarkan pada kesamaan jalan cerita dan peranan tokoh yang hampir sama. 

Dalam berbagai sumber tradisi dari Cirebon dikatakan bahwa Pangeran Walangsungsang adalah putera raja Pajajaran (Prabu Siliwangi). Sebelum menetap di Cirebon ia terlebih dahulu menetap di berkelana di daerah pedalaman Priangan Timur. Kemudian Walangsungsang merintis membangun kota Cirebon yang berlandasakan Islam. 

Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Walangsungsang pada masa akhir hidupnya mengembangkan Islam di daerah Priangan Selatan. Menurut sumber tradisi di Garut, Kean Santang sebagai putera raja Pajajaran (Prabu Siliwangi). Ia berselisih paham dengan ayahnya, tetapi akhirnya disepakati Kean Santang diberi keleluasaan menyebarkan Islam di seluruh Kerajaan Sunda. Petilasan Kean Santang ada di Godog berupa makam dan di Gunung Nagara berupa bekas pertahanan. 

Di Cangkuang Garut terdapat dua makam tokoh penyebar Islam, yaitu makam Sembah Dalem Pangadegan dan Pangeran Arif Muhammad. Kedua tokoh itu mempunyai hubungan dengan Cirebon. 

Berdasarkan sumber tradisi dari Ciamis, masuknya Islam ke daerah Galuh (Ciamis) dihubungkan dengan tokoh Apun Di Anjung atau Pangeran Mahadikusumah atau Maharaja Kawali. Pangeran Mahadikusumah terkenal sebagai ulama yang sangat dipercayai Cirebon. Petilasan berupa umpak batu yang mungkin bekas bangunan masjid di Pulau Danau Panjalu (Ciamis) menunjukkan permulaan Islam di daerah itu. 

Islam masuk ke daerah Sumedang melalui cara perkawinan. Pangeran Santri dikenal sebagai penguasa daerah (Bupati) Sumedang pertama yang beragama Islam. Pangeran Santri dari pihak ibu adalah keturunan raja Pajajaran dan dari pihak ayah keturunan Sunan Gunung Jati. 

Menurut cerita rakyat Cianjur, Aria Wangsa Goparana berasal dari daerah Talaga, kemudian ia pindah ke Sagalaherang (Subang). Salah seorang puteranya pindah ke Cianjur, kemudian menurunkan bupati-bupati Cianjur dan Limbangan. 

Sebuah dokumen tertulis dari Cianjur yang berangka tahun 1855 menyebutkan bahwa Aria Wangsa Goparana memiliki putera bernama Aria Wiratanudatar I yang berkuasa di Cikundul. Aria Wiratanudatar I berputera Aria Wiratanudatar II yang mendirikan pemerintahan di Cianjur lama (Ciranjang). Aria Wiratanudatar II berputera Aria Wiratanudatar III yang mendapat julukan Dalem Condre. Ia pernah berkuasa di Cikondang dan dialah yang dianggap sebagai pendiri kota Cianjur sekarang. 

Masa hidup Aria Wangsa Goparana pada sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi, sebab cucunya Aria Wiratanudatar II diangkat oleh Sultan Agung, penguasa Mataram (1613-1645). 

Dengan demikian, perkembangan Islam di daerah Sagalaherang dan Cianjur merupakan pengaruh dari Talaga dan Cirebon. Karena tokoh Aria Wangsa Goparana adalah tokoh penganut Islam, maka mungkin sekali dialah yang membawa Islam ke Sagalaherang (Subang) dan puteranya (Aria Wiratanudatar) membawa Islam ke Cianjur pada sekitar abad ke-16 dan 17 Masehi. 

Penyebaran agama Islam ke daerah pedalaman Banten (Banten Selatan) dilakukan pada waktu Pangeran Hasanudin memegang kekuasaan di daerah itu, yaitu tahun 1526-1552 sebagai bupati Banten, dan pada tahun 1552-1570 sebagai Sultan Banten. Maulana Yusuf, putera Pangeran Hasanudin yang menggantikan kedudukan ayahnya (1570-1580), melanjutkan usaha Pangeran Hasanudin menyebarkan Islam di pedalaman Banten. 

Dengan proses Islamisasi yang masuk pada daerah-daerah di Jawa Barat maka sejak tahun 1527 ibukota Kerajaan Sunda menjadi terkurung dan terpencil di daerah pedalaman sehingga tidak dapat berhubungan dengan kota-kota pelabuhan yang penduduknya sudah beragama Islam. Selanjutnya pada tahun 1579, ibukota Kerajaan Sunda dapat direbut oleh tentara Banten. *** (ahmad sahidin)