Rabu, 18 Mei 2022

Kekuasaan Mataram dan Pengaruhnya di Jawa Barat

Pasca berakhirnya kekuasaan Islam di Demak, muncul kerajaan Islam Mataram yang juga menguasai daerah-daerah Jawa Barat sebelum kaum penjajah asing merebut kemudian menguasai Jawa Barat. Pengaruh kerajaan Mataram terlihat pada para bupati yang memegang jabatan tertinggi dalam struktur kekuasaan di kabupaten-kabupaten. Para bupati menjadi pejabat tingkat menengah Mataram. Faktor jarak yang jauh dari Mataram membuat para bupati seperti raja-raja kecil yang merdeka atau miniatur-miniatur Mataram yang berada di daerah masing-masing (Iskandar, 2001: 65; Hardjasaputra, 2000: 116). 

Dalam hubungannya dengan masalah keagamaan, para bupati merupakan wakil raja. Para bupati menganggap dirinya sebagai imam atau khalifah pengganti kedudukan raja. Para bupati mendapat penghasilan dari bidang sosial keagamaan berupa zakat fitrah. Bupati juga memiliki kewenangan menetapkan tokoh agama atau pada masa penajajahan disebut penghulu. Selanjutnya ketika kolonialisme bercokol di Jawa Barat, para bupati menjadi kaki tangan penjajah dalam mengontrol kegiatan masyarakat. Para bupati ini diatur sehingga terkesan tidak memiliki kebebasan dan ekspresi keagamaan dari seorang bupati pun tercekal. Dalam situasi seperti itu, beberapa bupati masih sempat melaksanakan ibadah haji. Beberapa orang menak bawahan dan kerabat bupati juga melaksanakan rukun Islam kelima sepanjang abad ke-19 (Lubis, 1998: 253). 

Dalam kedudukannya sebagai kepala agama Islam di kabupaten, para bupati menyelenggarakan berbagai acara ritual dan seremonial, khususnya pada hari-hari besar Islam. Pada hari raya, mereka memakai baju gamis. Pada praktiknya, penampilan lahir belum tentu memperlihatkan penghayatan mereka akan nilai-nilai keagamaan. Sebagai contoh, dalam perkawinan sering terjadi kesewenang-wenangan dalam menceraikan istri. Perseliran tanpa pernikahan yang jumlahnya mencapai puluhan, bahkan ratusan. Meski bupati menampilkan diri sebagai muslim yang taat, tetapi dari sisi yang lain terdapat perilaku individual yang tidak berkesesuaian dengan nilai-nilai agama, seperti berganti-ganti istri dan mengikuti tradisi atau berperilaku hidup seperti kaum penjajah (Lubis, 1998: 254). *** (ahmad sahidin)